CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #28: Kaulinan Barudak, Media Bermain dan Bersosialisasi
Permainan tradisional atau kaulinan barudak dimainkan di kampung Dobi mungkin masih dikenal oleh generasi awal tahun 1990an. Setelah tahun 2000-an makin jarang.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
1 Juni 2025
BandungBergerak.id - Ketika anak-anak di masa kini menjadikan gadget sebagai media bermain dan berinteraksi sosial dengan teman-temannya, maka anak-anak yang tumbuh puluhan tahun yang lalu mengalami masa bermain dan media bermain yang cenderung melibatkan personal secara langsung, serta memerlukan ruang gerak yang cukup luas mengingat aktivitas fisik dan mobilitas yang dilakukan.
Saat itu, sepulang sekolah merupakan waktu yang mengasyikkan untuk bermain bersama kawan-kawan sebaya di lapangan kampung atau di sepanjang gang di lingkungan tempat tinggal. Begitupun dengan yang dilakukan bocah-bocah yang tinggal di kampung Ciguriang.
Kaulinan barudak adalah permainan tradisional yang melibatkan banyak anak. Umumnya permainan dalam kaulinan barudak tidak hanya berupa permainan saja tetapi banyak mengandung muatan pendidikan, sosial, juga merangsang kreativitas. Karena melibatkan banyak anak, permainan tradisional memerlukan tempat yang luas sebagai arena bermain. Pada zaman dulu, akses tempat yang luas mudah didapatkan karena masih banyaknya lahan kosong berupa lapangan dan tegalan di wilayah Bandung.
Permainan Anak Tahun 1950-1960an
Permainan anak-anak Ciguriang dan sekitarnya di tahun 1950-1960an ada yang dipaparkan di buku Us Tiarsa, Basa Bandung Halimunan. Di dalam buku tersebut, Us menulis pengalamannya bermain dengan bangkai-bangkai mobil dan pesawat yang dibuang di sekitar lokasi Kampung Dobi.
“Barudak téh baroga akuan mobil hiji séwang. Ari kapal mah hiji téh ku tiluan atawa opatan. Asa kacida reueusna, umur nincak lima taun geus ngasaan numpak kapal udara jeung "boga" mobil. Méh kabéh deuih barudak nu sok arulin dina kapal, nyarahona téh kapal udara mah paragi perang. Éta meureun pédah ngalaman, kudu nyumput dina lombang mun kapal ngadérédéd lembur atawa ngaragrag-ragragkeun bom. Nu matak arulinna di jero kapal tèh, nyeta-nyeta jadi soldadu wé. Mun tiluan, nu saurang jadi pilot, nu saurang purah ngabekaskeun bedil mesin, nu saurang deui tukang ngaragragkeun bom. Nu jadi pilot teu eureun ngahéang, niron sora kapal bari dangdak-déngdék ka ditu ka dieu. Nu ngabekaskeun bedil mesin teu eureun dédérédédan. Ari bomber mah, susuitan terus jejeleguran bari meungpeukan ceuli sorangan
[Anak-anak “punya” mobil masing-masing satu. Kalau pesawat, satu untuk tiga atau empat anak. Sangat bangga di usia lima tahun sudah naik pesawat dan “punya” mobil. Hampir semua anak yang suka bermain di pesawat, tahunya pesawat itu digunakan untuk perang. Mungkin karena pernah mengalami, harus sembunyi di dalam lubang jika pesawat menyerang kampung atau menjatuhkan bom. Makanya mereka bermain di dalam kapal menirukan para serdadu. Jika bertiga, seorang menjadi pilot, seorang menembakkan senapan, seorang lagi menjatuhkan bom. Yang jadi pilot tak henti mengeluarkan suara mendengung, meniru suara pesawat, sambil memiringkan badan ke sana ke mari. Yang menembakkan senapan menirukan suara tembakan. Kalau yang menjadi bomber, bersuit lalu menirukan suara ledakan sambil menutup telinga sendiri],” tutur Us Tiarsa (Us Tiarsa, Basa Bandung Halimunan).
Banyak lagi permainan lain yang ditulis Us Tiarsa di buku tersebut, sedangkan Ambu, ibu saya yang lebih muda dari ua Us, menyebutkan banyak permainan lain yang sering dimainkannya di waktu kecil. Bermain dan bernyanyi di kalapa doyong, bersepeda di pudunan jalan Haji Mesri, ucing sumput, encrak yaitu permainan yang serupa permainan bekel tapi tidak menggunakan bola, sasalimpetan, ucing beling (menyembunyikan pecahan beling di dalam tanah lalu saling menebak dan mencari pecahan beling milik teman-teman), oray-orayan, anjang-anjangan, dan banyak lagi permainan yang dimainkan bersama anakanak lain. Dan permainan-permainan dalam kaulian barudak disertai kawih-kawih Sunda yang mudah dihafal tapi mempunyai makna. Mungkin anak-anak generasi Z, tidak mengenal kawih permainan seperti ini:
Oray-orayan luar leor mapay sawah
Tong ka sawah parena keur sedeng beukah
Oray-orayan luar leor mapay kebon
Tong ka kebon di kebon loba nu ngangon
Oray-orayan luar leor mapay leuwi
Tong ka leuwi di leuwi aya nu mandi
…
Baca Juga: CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #27: Stasiun Bandung dan Kenangan tentang Kereta Api
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #26: Suasana Desa di Tengah Kota
Permainan Anak Tahun 1970 – Awal Tahun 1990-an
Permainan anak-anak di periode tahun 1970-an sampai awal tahun 1990-an mungkin tidak jauh berbeda dengan permainan anak-anak di periode tahun sebelumnya. Perbedaannya adalah jumlah anak-anak yang lebih banyak sehingga yang terlibat dalam permainan pun jauh lebih banyak.
Di tahun 1970-an, Kampung Dobi, Ciguriang sudah memiliki satu lapagan badminton, hal ini seiring dengan euforia kejayaan olah raga badminton di era Rudy Hartono dan kawan-kawan. Lapangan sederhana berupa sebidang tanah dengan garis-garis lapangan dari bilah bambu yang dipakukan ke tanah itu menjadi saksi bertumbuhnya generasi demi generasi kanak-kanak di Kampung Dobi. Di sanalah anak-anak bermain bersama-sama bersosialisasi saling mengenal satu sama lain dan mengumpulkan kenangan.
Di lapangan tanah itu, anak-anak berkumpul sepulang sekolah, tentu saja setelah berganti baju dan makan siang. Aneka permainan dilakukan secara bergiliran atau bersamaan dengan kelompok-kelompok yang berbeda. Garis-garis lapangan dari bambu itu menjadi garis patokan permainan galah, anak-anak yang bertugas menjaga patuh di lintasan garis itu, supaya anak-anak yang mendapat giliran bermain tidak bisa melintasi garis batas yang ditentukan, permainan yang seru, dan banyak membuat anak-anak bergerak dan berlari. Sementara di pinggir lapangan, anak-anak laki-laki asyik berlain kelereng dengan teriakan-teriakan khasnya,
“Waah, depot..!”, “Golotok euuy..”, dan istilah-istilah lain seperti épék, céntang, kojo, gudir, dan lain-lain.
Permainan lainnya yang sering dimainkan adalah ucing bancakan, permainan kucing sembunyi atau hide and seek dengan cara melempar tumpukan pecahan genting dalam satu lingkaran yang disebut kalang yang dijaga seorang anak yang jadi ucing. Ketika batu yang dilempar anak yang giliran bermain mengenai tumpukan pecahan genting sampai gentingnya runtuh dan acak, anak yang jadi ucing harus membereskannya dengan cepat, sementara anak-anak yang menjadi pemain harus besembunyi. Jika pecahan genteng sudah disusun kembali, maka ucing harus menemukan persembunyian teman-temannya, dan menjaga supaya para pemain tidak keluar dan berlari lebih cepat untuk menendang tumpukan gentingnya, karena itu artinya ucing harus mengulangi menyusun kembali tumpukan genteng, dan tugasnya sebagai ucing akan lebih panjang.
Lalu ada permainan ambil-ambilan, boy-boyan, gatrik, perepet jengkol, huhuian, sepdur, sapintrong, loncat tinggi, bubuyumgan, dan banyak sekali permainan yang melibatkan banyak anak untuk beraktivitas bersama.
Permainan ini mungkin masih dikenal oleh generasi yang lahir di awal tahun 1990an. Setelah tahun 2000-an makin jarang menemukan permainan-permainan tradisional tersebut dimainkan. Hal ini mungkin karena perkembangan teknologi yang makin pesat sehingga anak-anak makin terikat dengan permainan-permainan yang mudah mereka dapatkan dalam gadget yang mereka miliki. Selain itu, bisa juga karena lahan bermain yang makin berkurang seiring meningkatnya kebutuhan akan hunian, juga sarana-sarana pendukung yang menjedi fasilitas umum.
Sesekali, kerinduan akan suasana masa kecil membuat kita mengenang-ngenang permainan yang dilakukan di masa itu. Indah, ya... .
...
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB