• Kolom
  • CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #27: Stasiun Bandung dan Kenangan tentang Kereta Api

CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #27: Stasiun Bandung dan Kenangan tentang Kereta Api

Warga Ciguriang biasa menggunakan jalan pintas dengan masuk ke Stasiun Bandung menuju Pasar Baru. Memandikan kereta api jadi tontonan.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Lokomotif uap TC.10.08 buatan Hartmann, Jerman, dijadikan monumen di pintu selatan Stasiun Bandung yang diresmikan pada 1884.

18 Mei 2025


BandungBergerak.idPembangunan Stasiun Bandung berhubungan erat dengan pembukaan perkebunan di Bandung pada kisaran waktu tahun 1870. Menurut Haryoto Kunto dalam bukunya “Wajah Bandoeng Tempo Dulu” (1984), para Preangerplanters atau para tuan tanah perkebunan menggunakan kereta api untuk mengangkut hasil perkebunan mereka ke Batavia.

Stasiun Bandung diresmikan pada tanggal 17 Mei 1884 oleh Staatsspoorwegwn (SS), perusahaan perkeretaapian Hindia Belanda, pada masa pemerintahan Bupati Koesoemadilaga. Peresmian Stasiun Bandung ini juga bersamaan dengan pembukaan jalur kereta api Batavia-Bandung. Setelah diresmikan, bangunan ini bertahan hingga tahun 1920-an. Pada tahun 1925 diadakan renovasi, sekaligus pembanguna monumen di depan pintu selatan yang dirancang oleh E.H. de Roo untuk memperingati 50 tahun SS di Jawa.

Stasiun Bandung Tempat Bermain Favorit

Stasiun Bandung terletak di perbatasan Jalan Kebonkawung, Cicendo, Pasirkaliki, dan Andir. Tentu saja cukup mudah dijangkau dari Kampung Ciguriang. Tak heran jika anak-anak dari Ciguriang sering bermain ke sana.

Dalam buku Basa Bandung Halimunan, Us Ttiarsa menulis bahwa di Kebonkawung pun saat itu, tahun 1950-an, menjadi tempat tinggal pegawai-pegawai DKA (Djawatan Kereta Api).

“Apan lolobana pagawé DKA mah caricingna téh di Kebongkawung. Minangka pagawé rada handapna maratuhna téh di bèdèng DKA. Teu béda ti asrama tentara. Wangunan kawas elos pasar téh dipètak-pètak, ngajajar lawangna téh. Nu pangkatna rada luhur nempatan gedong DKA di Jl. H. Iskat atawa nyaréwa di JL. H. Mesri, Gang Rais, atawa Gang Lurah

[Kan kebanyakan pegawai DKA tinggalnya di Kebonkawung. Pegawai yang berpangkat rendah tinggalnya di bedeng DKA, mirip asrama tentara. Bangunannya yang seperti los pasar dipetak-petak, pintunya berjajar. Yang berpangkat agak tinggi menempati gedong DKA di Jl. H. Iskat, atau menyewa di Jl. H. Mesri, Gang Rais, atau Gang Lurah (Jl. Moh. Yunus)]”.

Anak-anak bermain di stasiun dengan menerobos pagar kawat dari bedeng pegawai. Mereka melompati kawat sinyal bermain di rel menipiskan paku besar dengan cara menyimpannya di atas rel sehingga tergilas kereta api saat melintas. 

“Mun teu kitu, sok lalajo nu muterkeun hulu karéta api. Di kuloneun dipo (béngkél karéta), lebakeun pisan sasak gantung (Pasirkaliki), aya pamuteran lokomotip. Nu kudu diputerkeun mah lokomotip gedé nu dingaranan si gombar téa. Mun datang ti wétan terus rék balik deui ka wétan téh apan kudu malik hulu karéta téh. Dibalikkeunana téh nya dina pamuteran téa. Wangunanana téh kawas balong, buleud. Maké erél tuturut sisina, di tengahna aya erél siga sasak. Lokomotip téh diasupkeun kana sasak téa, ngaliwatan erél. "Sasak"-na téa nu disurung ku masinis atawa pagawé dua atawa tiluan téh. Muter tepi ka tungtung erél paragi asup téa. Geuleuyeung wéh lokomotip téh maju. Barudak sok milu nyurung. Atoheun wé pagawé mah, asa dibantuan. 

[Kalaupun tidak begitu (bermain paku), suka menonton (petugas) yang memutar kepala kereta api (lokomotif). Di sebelah barat dipo (bengkel kereta), tepat dibawah jembatan Pasirkaliki, ada tempet memutar lokomotif. Yang harus diputar lokomotif besar yang dinamai Si Gombar. Kalau tiba dari arah timur mau kembali ke timur lokomotif harus berbalik arah. Di balik di tempat memutar itu. Bentuknya seperti kolam, di tengahnya ada rekl serupa jembatan, lokomotif dimasukkan ke jembatan itu melalui rel. “Jembatan”itu didorong oleh masinis atau pegawai, dua atau tiga orang. Berputar sampai ujung rel tempat masuk tadi. Kereta terus melaju. Anak-anak suka ikut mendorong. Pegawai senang karena merasa dibantu],” cerita  Us Tiarsa.

Tempat pemutaran lokomotif itu disebut turntable atau draaischijf dalam bahasa Belanda. Turntable di Stasiun Bandug masih bisa dilihat dari arah Jalan Pasirkaliki.

Baca Juga: CIGURIANG. KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #24: Ngabungbang, Menikmati Purnama dalam Tradisi Sunda
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #25: Bulan Purnama dan Nini Anteh, Sebuah Cerita Masa Kecil
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #26: Suasana Desa di Tengah Kota

Ngamandian Kareta

Ayah saya, Bah Nana, bercerita, selain para pegawai tetap di PJKA, ada pula warga Ciguriang yang bekerja ngamandian kareta, mencuci kereta. Di dalam area stasiun ada satu keran besar di satu tiang, bagian kereta api yang akan dicuci diletakkan di bawahnya melalui rel yang melintas di bawah keran. Lalu kereta itu diguyur air yang keluar dari keran dan digosok dengan menggunakan kain lap bergagang. Hal ini biasanya dilakukan oleh tiga sampai empat orang pekerja. Kegiatan ngamandian kareta ini pun sering menjadi tontonan penumpang yang menunggu kereta atau baru saja turun dari kereta. Saya sangat senang mendengar istilah ngamandian kareta, ketimbang ngumbah kareta. Saya jadi membayangkan jika saya memandikan Thomas si lokomotif bermata jenaka itu, sepertinya menyenangkan memandikan kereta yang bisa kita ajak bicara...haha.  

Ada juga mang O ing, namanya sih Ibrohim, yang jadi tetangga kami, yang sempat saya tahu bekerja di PJKA. Kata ayah saya, ayahnya mang O ing, Aki Koko, juga pegawai DKA. Saya tak sempat mengenal Aki Koko, tapi cukup dekat dengan Mang O ing dan anak istrinya.

Hal lain yang saya ingat di masa kecil saya di tahun 1980-an, adalah pergi berombongan ke Pasar Baru di bulan puasa dengan menerobos Stasiun Bandung. Dulu cukup dengan minta izjin untuk numpang lewat, maka kami akan lebih cepat sampai di Pasar Baru dengan menyeberang rel dan kereta-kereta yang sedang berhenti. Biasanya disertai deg-degan karena khawatir kereta tiba-tiba berjalan ketika kami belum semuanya turun. Bersyukur tak pernah ada kejadian salah satu dari kami kabawa kareta. Tapi hal itu sudah tak lagi diizinkan pada saat ini.

Pengalaman lain adalah menaiki KRD untuk mengunjungi saudara-saudara Ambu di Cicalengka. Tak tahu kenapa, kami selalu naik kereta di pagi buta, bahkan masih subuh. Padahal kami masih mengantuk. Menurut Ambu sih supaya tiba masih pagi, dan kami bisa berjalan kaki ke rumah saudara. Seberapa jauh? Bayangkan saja kami berjalan dari Stasiun Cicalengka ke Santiong yang paling dekat dengan stasiun, bahkan berjalan kaki sampai ka Desa Cinulang, tempat tinggal ibunya uwa kami. Kuat sekali kaki kami waktu itu. Pasti lelah, tapi karena jumlah anak-anak yang banyak, persepupuan, bahkan kadang teman-teman bermain kami pun ikut juga, hal itu menjadi kegiatan yang dirindukan setiap libur lebaran karena kami bisa sekalian bermain air di Curug Cinulang.

Ah, jadi rindu rasanya naik kereta api lagi bersama saudara-saudara sepupu saya itu.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//