• Opini
  • Anak Asuh Keluarga, antara Ekspektasi Sosial dan Luka yang Tidak Terlihat

Anak Asuh Keluarga, antara Ekspektasi Sosial dan Luka yang Tidak Terlihat

Menjadi anak asuh keluarga menciptakan problematika tambahan bagi anak yang sayangnya kerap tak tersorot.

Thalia Augustine

Seorang ibu rumah tangga yang memiliki ketertarikan pada isu pengasuhan anak, relasi keluarga, dan dinamika sosial di masyarakat Indonesia

Ilustrasi. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

2 Juni 2025


BandungBergerak.id – Pada banyak lapisan masyarakat di Indonesia, kita familier dengan bentuk pengasuhan yang beragam, termasuk pengasuhan yang tidak hanya dilakukan oleh orang tua biologis. Sebagai contoh pengasuhan kekerabatan yang dilakukan oleh nenek, kakek, paman, atau bibi karena satu dan lain hal. Sering disebut sebagai pengasuhan alternatif, pengasuhan ini sering dianggap sebagai wujud gotong royong keluarga. Meski cukup umum ditemukan, pola asuh ini menyimpan dinamika yang jarang dibicarakan. Padahal, dalam pengasuhannya, banyak anak yang tumbuh dengan perasaan asing dalam keluarganya melalui bentuk pengasuhan ini.

Perasaan terasing ini yang setidaknya Bina (28 tahun) rasakan. Sejak kecil, ia menyadari bahwa dirinya berbeda. Ia bukan anak kandung dalam keluarga tempatnya tumbuh, melainkan ia adalah anak yang diasuh secara bersama-sama oleh seluruh keluarga besarnya. Sejak saat itu, Bina menyadari satu hal penting bahwa: ‘aku harus tahu diri’. Bina tumbuh dengan pemahaman bahwa keberadaannya adalah kesempatan kedua–bahwa ia beruntung masih ada yang mau mengasuhnya; bahwa ia bisa kapan saja diabaikan lagi, dan karena itu Bina harus menjadi anak yang baik dan tidak merepotkan.

Fenomena pengasuhan dengan sistem kekerabatan ini bukan hal yang asing. Banyak faktor yang mendorong keadaan ini, mulai dari faktor ekonomi, pekerjaan orang tua, maupun kondisi sosial dan budaya.

Baca Juga: Mendengarkan Suara Anak-anak Terkait Pembangunan Kota Bandung
Anak-anak Indonesia Rentan Menjadi Korban Kekerasan dan Eksploitasi Seksual di Ranah Daring, Perlu Dilakukan Intervensi Menyeluruh
Refleksi Hari Pendidikan Nasional, Meruntuhkan Stigma terhadap Perempuan Berpendidikan Tinggi

Pentingnya Mendengar Suara Anak Asuh Keluarga

Tidak ada satu istilah baku dalam Bahasa Indonesia yang secara khusus digunakan untuk menyebut anak yang diasuh oleh keluarga selain orang tuanya. Namun terdapat beberapa istilah yang umum digunakan, seperti anak titipan, anak kekerabatan, dan anak asuh keluarga. Dalam literatur akademik atau kebijakan sosial, keadaan di atas disebut pengasuhan kekerabatan atau kinship care. Pengasuhan kekerabatan masih menjadi pilihan dominan di Indonesia ketika orang tua kandung tidak dapat mengasuh anak karena berbagai alasan. Namun, Generation United (2022) mengemukakan pengasuhan kekerabatan rentan terhadap ketidakjelasan peran, ketimpangan perhatian, hingga ketegangan emosional antara anak asuh dengan keluarga pengasuh.

Sejauh ini, belum ada data spesifik mengenai jumlah anak asuh keluarga yang ada di Indonesia. Meski ada berbagai penelitian telah menggambarkan dinamika hingga dampak pengasuhan oleh anggota keluarga selain orang tua kandung. Namun, penelitian yang benar-benar menempatkan anak asuh sebagai subjek utama masih minim. Sebagian besar penelitian lebih fokus pada keluarga pengasuh, kebijakan negara, atau tantangan praktis pengasuhan. Padahal, perspektif anak asuh sangat penting untuk membongkar bagaimana pengalaman yang mereka alami agar dapat memahami dan menyikapi posisi sosialnya di dalam keluarga besar. 

“Aku cuman titipan. Aku hidup dengan bayangan bahwa kasih sayang yang kuterima punya syarat,” ucap Bina. Ada letak kekosongan suara anak asuh keluarga dalam wacana publik maupun akademik kita yang seharusnya penting untuk diberi ruang. Bagaimana perasaan mereka tubuh sebagai anak asuh keluarga?

Menjadi anak asuh keluarga menciptakan problematika tambahan bagi anak yang sayangnya kerap tak tersorot. Anak akan merasa ditinggalkan, kehilangan rasa aman dari orang tua, atau bahkan kebingungan mengenai identitas ikatan emosionalnya. Sebuah penelitian oleh Ferdyansa Kala’ Allo dkk. (2023) menunjukkan bahwa anak-anak yang diasuh oleh nenek (tidak diasuh orang tua) cenderung mengalami kerentanan psikologis berupa minder, ketidakstabilan emosional, hingga kesulitan dalam membangun kepercayaan diri.

Di dalam keluarga besar pun sering kali tidak ada kesepakatan tegas tentang siapa yang bertanggung jawab atas pendidikan, kesehatan, atau keputusan penting anak. Anak menemukan dirinya berada dalam ketidakjelasan peran dan haknya. Ini berdampak pada terabaikannya kebutuhan serta ketidakpastian otoritas dalam hidup anak.

Lekatnya Perasaan Bersalah pada Anak Asuh Keluarga

Problematika anak asuh keluarga tidak hanya berhenti pada hubungan mereka dengan pengasuhnya. Tidak jarang anak asuh keluarga harus menghadapi ekspektasi masyarakat terhadap mereka. Anak asuh keluarga diharapkan menjadi anak yang tahu diri, bahwa mereka “hanya” dititipkan. Mereka harus sopan, tidak menyusahkan, dan selalu berperilaku baik. Anak dengan ekspektasi ini memang bisa tumbuh menjadi pribadi bertanggung jawab, tapi kerap merasa inferior dan tidak sepenuhnya diterima.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) (2014) dalam artikelnya menyebutkan bahwa pengasuhan alternatif sangat berdampak bagi kehidupan anak-anak dan dapat berpotensi menghambat tumbuh kembang anak secara optimal. Tidak jarang anak asuh merasa bersalah, malu, bahkan mengalami alienasi dalam lingkungan keluarganya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak dalam pengasuhan alternatif, termasuk pengasuhan kekerabatan, menghadapi tantangan yang signifikan dalam perkembangan mereka.

Masyarakat juga tak lupa mengingatkan anak asuh untuk selalu berterima kasih atas pengorbanan pengasuhnya, dan tidak menjadi beban. Salah satu bentuk “dedikasi” bahwa pengasuhan berhasil adalah lewat prestasi akademik. Anak asuh diharapkan membuktikan diri bisa sukses, meski tanpa orang tua kandung di sisinya.

“Aku merasa bahwa satu kesalahan kecil saja bisa membuatku diusir, karena aku bukan anak. Aku cuma dititipkan. Aku hidup dengan bayangan bahwa kasih sayang yang kuterima punya syarat, bahwa aku harus membayar dengan kebaikan, kepatuhan, dan prestasi,” terang Bina.

“…. (aku) lelah menghadapi masyarakat yang memujiku sebagai “anak baik” dan mengatakan betapa beruntungnya aku. Tapi mereka tak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi baik bukan karena keinginan tapi karena ketakutan,” lanjutnya.

Sayangnya, ekspektasi masyarakat terhadap anak asuh keluarga sering menimbulkan kecemasan, rasa bersalah, dan perasaan dikesampingkan. Anak asuh keluarga terbebani harapan tanpa ruang untuk menjadi dirinya sendiri.

Padahal, pengasuhan adalah kerja domestik yang melekat dalam relasi sosial masyarakat Indonesia, sebuah kerja reproduksi sosial yang idealnya dilakukan tanpa mengorbankan kemerdekaan emosional anak. Persoalannya, apakah anak kecil perlu memikul rasa bersalah atas kerja-kerja domestik yang dilakukan orang dewasa terhadapnya? Lebih jauh, anak asuh keluarga kelak akan menjadi manusia besar yang berkontribusi dalam kerja-kerja domestik di masyarakat. Jangan sampai pola pengasuhan penuh ekspektasi dan tekanan ini mewariskan trauma pengasuhan yang membuatnya kelak percaya bahwa bahasa cinta adalah bahasa kekerasan.

Di usia dewasanya kini, Bina masih membawa luka-luka dari masa kanak-kanaknya. Bina, kini adalah seorang ibu, ia mengaku masih berjuang menghapus suara-suara penolakan dan ekspektasi masa kecilnya saat membesarkan anaknya. "Aku takut mengulang pola. Tapi aku juga ingin anakku tahu dia selalu punya tempat di rumah ini, tak peduli apapun,” ungkapnya lirih.

Harapan Anak yang Ingin Menjadi Anak Seutuhnya

“Aku sudah terlalu sering mempertanyakan diriku: apakah semua ini hanya ada di pikiranku? Atau memang seperti inilah kenyataannya? Aku tak lagi tahu mana kenyataan dan mana ketakutan yang tumbuh karena pengalaman panjang menjadi anak yang bukan anak,” kata Bina.

Kisah seperti Bina bukan kasus tunggal. Dalam studi Shuttleworth (2022), anak-anak dalam pengasuhan kekerabatan menyebut bahwa mereka memahami keluarga bukan sekadar sesuatu yang dimiliki, melainkan sesuatu yang dijalani. Anak-anak ini kerap merasa bahwa mereka berbeda dari anak-anak lain yang hidup bersama orang tua kandung, khususnya dalam hal ikatan utama, perlindungan dari kehilangan, serta beban stigma.

“Yang aku tahu pasti hanyalah satu hal: aku juga anak. Aku juga ingin merasa aman. Ingin dicintai tanpa syarat. Ingin dimarahi karena salah, tapi tetap dipeluk setelahnya. Ingin punya tempat tanpa harus membuktikan bahwa aku pantas untuk tinggal,” tutupnya.

Cerita Bina juga selaras dengan temuan Madigan et al. (2013) yang menunjukkan bahwa anak-anak dalam pengasuhan kekerabatan memahami bahwa anak lain yang hidup bersama orang tua kandungnya tak menghadapi kesulitan serupa. Mereka membayangkan anak-anak lain terbebas dari tantangan terkait keterikatan emosional utama, perlindungan dari kehilangan, stigma sosial, maupun ketidakpastian dalam hidupnya. Bagi mereka, makna normal adalah ketika hidup berjalan baik tanpa merasa ‘berbeda’ atau ‘asing’ dalam lingkungan terdekat.

Lebih lanjut, Skoglund dan Thørnblad (2019) menyatakan bahwa pengasuhan kekerabatan sebaiknya dipandang sebagai salah satu bentuk praktik keluarga yang setara, bukan sebagai opsi alternatif atau penempatan tanggung jawab tambahan. Seperti yang diungkapkan seorang anak dalam penelitian mereka, “this is just another way of being a normal family”—bahwa keluarga dalam bentuk apapun tetaplah keluarga.

Seperti dikatakan dalam laporan UNICEF (2021), yang menekankan pentingnya child protection systems, bahwa anak-anak dalam pengasuhan alternatif tetap berhak atas perlakuan setara dan harus diperlakukan dengan prinsip terbaik bagi anak (the best interest of the child), bukan berdasarkan status pengasuhannya.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang pendidikan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//