• Opini
  • Barak Militer untuk Siswa Nakal, Kebijakan Non-Penal dalam Bingkai Pendidikan

Barak Militer untuk Siswa Nakal, Kebijakan Non-Penal dalam Bingkai Pendidikan

Kebijakan non-penal bisa menjadi warna baru dalam dunia pendidikan dan penanggulangan kejahatan oleh anak.

Muhammad Galuh Pamungkas Wahyu Ramadhan

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya dan Asisten Pakar Hukum Pidana Universitas Bhayangkara Surabaya

Pendidikan bukan soal membuat anak patuh, tapi soal membentuk manusia yang mampu berpikir, merasakan, dan mengambil keputusan. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

3 Juni 2025


BandungBergerak.id – Akhir-akhir ini, publik dihebohkan oleh kebijakan Gubernur Jawa Barat yakni Dedi Mulyadi atau yang biasa dipanggil Kang Dedi. Kang Dedi membuat kebijakan yaitu mengirim sejumlah siswa “nakal” ke barak militer. Kebijakan ini sontak menjadi viral serta menuai pro dan kontra dari masyarakat. Ada yang mendukung kebijakan tersebut dengan alasan demi meningkatkan kedisiplinan siswa, namun tidak sedikit pula yang menentang karena menganggap kebijakan tersebut terlalu keras bagi anak-anak. Polemik ini menarik untuk dikaji lebih dalam, khususnya dari sudut pandang hukum dan kebijakan publik, terutama dalam kerangka pendekatan kebijakan non-penal (non-penal policy).

Fenomena kenakalan pelajar bukanlah fenomena baru di Indonesia. Berbagai bentuk perilaku menyimpang kerap dilakukan oleh siswa, mulai dari bolos sekolah, perundungan (bullying), hingga tindakan yang tergolong tindak pidana seperti tawuran antar pelajar, perusakan fasilitas umum, keterlibatan dalam geng motor, serta penyalahgunaan narkoba dan minuman keras. Dalam banyak kasus, usia pelaku yang masih anak-anak sering kali membuat aparat penegak hukum dan lembaga pendidikan dilematis dalam mengambil tindakan.

Baca Juga: Pelajar di Barak Militer
Dari Taman Siswa ke Barak Militer, Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2025
Pemprov Jabar Diminta Mempertimbangkan Hak-hak Dasar Anak Sebelum Mengeluarkan Kebijakan Mengirim Mereka ke Barak Militer

Dodik Bela Negara, antara Stigma Militerisme dan Upaya Pemulihan Anak

Di tengah maraknya opini publik yang menyamakan barak militer dengan ruang hukuman, perlu ada pelurusan makna terkait program Depo Pendidikan (dodik) Bela Negara yang diterapkan oleh Kang Dedi Mulyadi. Banyak yang langsung membayangkan anak-anak dipaksa baris-berbaris, teriak-teriakan ala tentara, bahkan dihukum secara fisik, seolah-olah siswa nakal tersebut sedang “dihajar” seperti dalam latihan militer. Padahal, esensi dari Dodik Bela Negara bukanlah untuk membentuk militerisasi anak, melainkan membangun sikap disiplin, tanggung jawab, dan cinta tanah air.

Program ini lebih tepat dipahami sebagai bentuk pembinaan karakter berbasis kedisiplinan, bukan pemaksaan kehendak atau penanaman kekerasan. Dalam wawancara dengan media, Kak Seto sebagai Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), justru mendukung kebijakan ini selama pendekatannya edukatif dan tidak melibatkan kekerasan. Menurutnya, pendekatan program seperti ini tidak perlu langsung dicurigai mengarah pada kekerasan fisik ala militer. Justru, jika dilakukan dengan pendekatan edukatif dan humanis, pelatihan seperti ini dapat memunculkan jati diri anak yang unik, otentik, dan tidak terbandingkan, serta membentuk sikap positif dan semangat bela negara. Oleh karena itu, pembinaan dengan pendekatan disiplin, dalam suasana yang terstruktur seperti di barak militer, dapat menjadi jembatan untuk memulihkan mentalitas dan membangun ulang nilai-nilai sosial mereka. Selama pelaksanaannya diawasi dan disesuaikan dengan prinsip perlindungan anak, maka stigma militerisme seharusnya tidak menjadi alasan untuk menolak pendekatan alternatif ini.

Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy), Solusi Alternatif

Pada tahun 1965, Marc Ancel pernah merumuskan definisi singkat tentang “Criminal Policy” yang dirumuskannya sebagai “the rational organization of the control of crime by society”. Dari definisi tersebut pada tahun 1969, G. P. Hoefnagels menambahkan bahwa: “Criminal policy is a rational total of the responses to crime”. Sekitar akhir tahun 1980, Prof. Sudarto menegaskan dari definisi itu bahwa kebijakan kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan (Barda Nawawi Arief, 1996; hal. 2).

Usaha rasional di sini, bermakna melakukan pilihan tentang cara yang dianggap paling tepat untuk menanggulangi kejahatan. Itu berarti, cara atau sarana yang dapat dipakai tidak hanya dengan penggunaan hukum pidana, tetapi juga sarana lain non-hukum pidana (non-penal) yang dianggap terbaik dan yang paling fungsional menanggulangi kejahatan.

Menurut Prof. Barda Nawawi Arief, non-penal policy merupakan bagian dari politik kriminal yang menggunakan sarana di luar hukum pidana untuk mencegah kejahatan, seperti melalui pendidikan, pembinaan moral, kegiatan sosial, atau pendekatan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan Kang Dedi Mulyadi dapat dikatakan sebagai bentuk nyata penerapan non-penal policy dalam penanggulangan kenakalan remaja.

Kebijakan ini bukan bertujuan “menghukum”, melainkan “mendidik” melalui jalur alternatif yang lebih humanistik dan korektif. Dalam konteks ini, anak yang “dikirim ke barak” tidak serta merta diperlakukan seperti tentara, melainkan dilatih kedisiplinannya, dibina karakternya, dan diarahkan potensinya tanpa stigma kriminal.

Dodik Bela Negara dan Pendidikan Nonformal dalam Kerangka UU Sisdiknas

Lebih jauh, pendekatan ini juga sejalan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang mengakui keberadaan pendidikan formal, nonformal, dan informal sebagai satu kesatuan sistem. Dalam Pasal 1 angka 12 UU Sisdiknas disebutkan bahwa: “pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang”(Pasal 1 angka 12 UU Sisdiknas). Selanjutnya, dalam Pasal 26 ayat (1) UU Sisdiknas juga disebutkan bahwa: “Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat”(Pasal 26 ayat (1) UU Sisdiknas).

Dengan kata lain, kegiatan seperti Dodik Bela Negara yang berfokus pada pembentukan karakter, kedisiplinan, dan tanggung jawab sosial termasuk dalam kategori pendidikan nonformal. Bahkan, dalam praktiknya, hampir setiap sekolah menengah pertama (SMP) dan menengah atas (SMA) rutin mengadakan kegiatan seperti LDKS (Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa), yang dalam banyak contoh dilatih langsung oleh personel TNI. Tujuan utamanya adalah membentuk mental kepemimpinan, tanggung jawab sosial, serta kedisiplinan yang juga diusung dalam Dodik Bela Negara.

Dengan begitu, pengiriman siswa yang terlibat kenakalan ke tempat seperti barak militer bukan berarti mengeluarkan mereka dari sistem pendidikan, melainkan justru memperluas spektrum pembelajaran mereka ke ranah nonformal yang bertujuan mendidik dan merehabilitasi. Bahkan, pendekatan seperti ini dapat dilihat sebagai bentuk experiential learning atau pembelajaran berbasis pengalaman langsung, yang menurut teori pendidikan modern lebih efektif dalam membentuk karakter.

Sebuah Terobosan Edukatif yang Perlu Dikawal

Berdasarkan uraian di atas, Penulis berpendapat bahwa kebijakan Kang Dedi Mulyadi mengirim siswa bermasalah ke barak militer adalah bentuk kebijakan yang patut diapresiasi. Selama pelaksanaan program dilakukan dengan prinsip pendidikan, bukan hukuman; dengan pendekatan humanis, bukan kekerasan fisik; dan tetap menghormati hak anak, maka hal ini tidak dapat dikatakan melanggar HAM atau menyebabkan trauma bagi anak. Justru, kebijakan ini membuka ruang baru dalam penanganan kenakalan remaja di Indonesia, yang selama ini cenderung reaktif dan represif.

Kebijakan non-penal seperti ini bisa menjadi warna baru dalam dunia pendidikan dan penanggulangan kejahatan oleh anak, serta dapat menjadi role model bagi daerah lain dalam menyusun program serupa. Kuncinya adalah pengawasan, transparansi, dan pelibatan berbagai pihak terutama keluarga dan tenaga ahli dalam pelaksanaannya.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lainnya tentang pendidikan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//