CATATAN DARI BUKU HARIAN #44: Djuli Pamungkas, Membingkai Cerita Lewat Foto
Djuli Pamungkas membuktikan bahwa fotografi dapat menjadi jembatan menuju dunia yang lebih toleran dan manusiawi.

Kin Sanubary
Kolektor Koran dan Media Lawas
7 Juni 2025
BandungBergerak.id – Dalam dunia jurnalistik visual, nama-nama baru dari kalangan muda terus bermunculan dengan semangat dan perspektif segar. Salah satu sosok yang mencuri perhatian adalah Djuli Pamungkas, seorang pewarta foto muda asal Sumedang yang tidak hanya piawai dalam mengabadikan momen, tetapi juga konsisten mengangkat isu-isu sosial melalui karya-karyanya.
Dunia fotografi adalah kanvas yang dinamis, tempat ekspresi dan kreativitas menemukan jalannya. Di tengah riuhnya dinamika ini, nama Djuli Pamungkas bersinar terang. Dedikasinya terhadap fotografi tak perlu diragukan, karya-karyanya dikenal kreatif dan inovatif, sering kali mengangkat isu-isu sosial yang relevan dengan sentuhan khasnya.
Djuli Pamungkas lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada 6 Juli 1991. Ia menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi, Program Studi Jurnalistik, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Djuli menikah dengan Shabrina Pusparani dan dikaruniai seorang putra bernama Jenaka Emiir Nirankara.

Baca Juga: CATATAN DARI BUKU HARIAN #41: Emha Bay Sabar, yang Tak Lelah Menyuarakan Zaman
CATATAN DARI BUKU HARIAN #42: Mang Jaya, Maestro Dongeng Sunda Sang Pelestari Budaya
CATATAN DARI BUKU HARIAN #43: Mengenal Wati Ananta, Penyiar Idola dari Pulau Dewata
Perjalanan Karier di Dunia Fotografi
Ketertarikan Djuli pada fotografi bersemi saat ia berkuliah di jurusan Jurnalistik, UIN Bandung. Pada tahun 2011, bersama teman-teman kampusnya, ia mendirikan komunitas Photo's Speak. Komunitas ini menjadi ruang kreatif bagi para pecinta fotografi untuk berekspresi, berbagi cerita, dan belajar bersama.
Karier profesionalnya dimulai pada tahun 2013 ketika ia bergabung sebagai wartawan foto di Sindo Jabar. Pengalaman ini memperluas wawasan dan keterampilannya dalam mengabadikan momen-momen penting di berbagai peristiwa, hingga akhirnya Djuli menjadi fotografer di Koran Sindo juga pernah bergabung dengan media online beritabaik.id sebuah portal berita dari Bandung.
Kini, Djuli dikenal sebagai fotografer profesional yang mengerjakan berbagai proyek visual, termasuk untuk media sekelas National Geographic. Tak hanya itu, ia juga aktif sebagai pembuat film dokumenter yang karyanya dapat diakses melalui media sosial atau akun Instagram @saujana.doc.

Aktivitas Sosial, Komunitas, dan Pameran
Di sela kesibukan profesionalnya, Djuli tetap meluangkan waktu untuk terlibat dalam kegiatan sosial bersama berbagai komunitas. Ia juga aktif mengikuti berbagai pameran fotografi, di antaranya: Citarum (2013); Kaleidoskop Photo's Speak (2014); Persib Juara (2014); Eye Story (2015); Kilas Balik Jawa Barat (2015); Tanah Kami Terpapar Limbah (2016); Kilas Balik PON-Peparnas (2016); Sebuah Perjalanan (Lembur Tumaritis Studio, Sumedang); serta GoetheHaus Foyer : Living at the Urban Seafront di Jakarta dan Bremen, Jerman (2025)
Djuli juga aktif sebagai kurator dalam pameran-pameran fotografi, seperti pameran "Arus Waktu" yang menampilkan karya-karya anggota KMJ Unisba, dengan fokus pada perubahan dan perkembangan budaya di tengah arus modern.
Dalam karyanya, Djuli sering mengeksplorasi tema-tema sosial, budaya, dan toleransi, dengan pendekatan yang mendalam dan peka terhadap isu-isu kemanusiaan. Ia juga terlibat dalam proyek-proyek seperti Sesama Project dan Saujana Doc, yang bertujuan untuk mendokumentasikan dan menyebarkan cerita-cerita dari berbagai komunitas di Indonesia.

Menyelami Toleransi Lewat Lensa
Perjalanan Djuli dalam dunia fotografi membawanya pada pemahaman mendalam tentang keberagaman. Lahir dan besar di lingkungan multikultural, ia percaya pentingnya memiliki sudut pandang yang luas dan terbuka. Dalam setiap perjalanan fotografinya, Djuli memosisikan diri layaknya gelas kosong, yang siap menyerap cerita dan pelajaran baru dari setiap sudut kehidupan.
Sebagai seorang wartawan foto, Djuli telah mengabadikan banyak momen keagamaan dan kebudayaan. Ia menemukan kedamaian dalam memotret momen-momen sakral ini, karena tuntutan untuk menghormati prosesi keagamaan memunculkan rasa tenang dalam dirinya.
Menurutnya, fotografi keagamaan tidak hanya tentang menghasilkan gambar yang indah, tetapi juga menunjukkan rasa hormat pada nilai-nilai yang diyakini oleh umat beragama yang diabadikannya.
Djuli percaya bahwa perbedaan hanyalah tembok yang diciptakan oleh manusia. Fanatisme berlebihan terhadap satu agama atau keyakinan sering kali menjadi penghalang untuk saling memahami.
Namun, fotografi, sebagai medium visual dua dimensi, mampu menembus tembok tersebut. Ia percaya bahwa lensa kamera dapat menjadi jendela untuk menyelami toleransi, membuka pikiran, dan menguatkan hubungan antar individu.
Djuli berharap melalui fotografi, mengajak semua orang untuk membuka hati dan pikiran, merayakan keberagaman, dan menyelami arti sejati toleransi. Melalui fotografi, ia berkomitmen untuk menjadikan keberagaman sebagai kekuatan, bukan sekadar perbedaan.
Cita-cita terbesar Djuli adalah mendirikan sebuah perpustakaan visual yang menjadi pusat arsip karya dan media literasi visual bagi masyarakat luas. Ia dikenal sebagai fotografer yang kerap mendokumentasikan keberagaman Indonesia, terutama kisah-kisah toleransi antarumat beragama. Baginya, penting untuk memiliki sudut pandang yang luas dan terbuka, serta selalu siap menyerap pelajaran baru dari setiap pengalaman hidup.

Djuli dan Saujana
Saujana adalah proyek dokumenter visual yang dibentuk bersama sejumlah teman yang memiliki ketertarikan serupa terhadap gambar bergerak. Lahir dari minat pada kehidupan masyarakat, adat, dan budaya, Saujana Documentary menjadi ruang bermain kreatif bagi para pegiat visual.
Bagi Djuli dan kawan-kawan, Saujana bukan semata soal nilai komersial, jika pun ada keuntungan finansial, itu dianggap sebagai bonus. Yang terpenting adalah kebebasan untuk menuangkan ide, kreativitas, dan gagasan tanpa batasan kebijakan redaksi.
Djuli dan Studio Jenaka
Studio Jenaka merupakan usaha kecil di bidang fotografi yang didirikan Djuli bersama istrinya, Shabrina Pusparani. Ide awalnya berasal dari sang istri, yang memiliki latar belakang di dunia pendidikan anak dan kerajinan tangan. Nama "Jenaka" diambil dari nama anak mereka, Jenaka Emiir Nirankara.
Studio ini menawarkan konsep layanan mandiri dan kini telah berjalan genap 100 hari. Bagi Shabrina, studio ini bukan sekadar tempat usaha, tetapi juga ruang untuk kembali berkegiatan kreatif bersama anak-anak, sebuah kebahagiaan yang dulu pernah ia jalani dan kini ingin dihidupkan kembali.
Dengan karya yang terus berbicara dan menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan, Djuli Pamungkas bukan hanya seorang fotografer, ia adalah pencerita visual yang menjadikan kamera sebagai medium untuk merawat empati, memahami perbedaan, dan menyatukan keberagaman. Perjalanannya masih panjang, namun langkah-langkah kecil yang telah ia tempuh memberi harapan bahwa fotografi dapat menjadi jembatan menuju dunia yang lebih toleran dan manusiawi.
Semoga ide dan berbagai gagasan serta catatan kisah perjalanan Djuli Pamungkas bisa memotivasi dan menginspirasi, terutama kaum muda yang kreatif dan inovatif dalam berbagai hal.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Kin Sanubary atau artikel-artikel lain tentang seni