CIGURIANG KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #29: Rosenlaan, Kebun Mawar yang Hilang Tanpa Jejak
Rosenlaan atau kebun mawar di Kebonkawung, Bandung tinggal kenangan. Dahulu, para petani kebun mawar menjual hasil panen ke Pasar Baru.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
9 Juni 2025
BandungBergerak.id - Jalanan Bandung yang sering kali macet membuat para pengguna jalan kerap mencari jalan-jalan alternatif. Begitu juga di sekitar kawasan Jalan Pajajaran yang memiliki sejumlah jalan tikus sebagai alternatif menghindari kemacetan. Jika kita berkendara dari arah Jalan Pajajaran, dan berniat potong kompas menuju Jalan Kebonkawung, kita bisa melalui Jalan Haji Mohamad Yunus, lalu berbelok ke sebelah kiri memasuki satu ruas jalan lain yang lebih panjang yang bernama Jalan Haji Mohamad Mesri. Jalan ini berakhir tepat di Jalan Kebonkawung. Ternyata ada beberapa cerita menarik di masa silam tentang ruas jalan Haji Mesri ini.
Kebun Mawar
Pada masa pendudukan Belanda di ruas jalan Haji Mesri, salah satu jalan yang ada di sekitar Kampung Dobi Ciguriang, terdapat satu kebun bunga mawar yang cukup luas. Kebun mawar ini terbentang dari simpang Haji Mesri – Haji Iskat – Gang Rais, sampai ujung utara Jalan Haji Mesri. Cerita tentang kebun mawar ini saya dapatkan dari Abah Salim, kakek saya almarhum, Ma Abah (nenek saya), juga Ambu, ibu saya.
Ketika bertemu Ua Us Tiarsa di kediamannya beberapa waktu lalu, saya kembali bertanya tentang kebun mawar ini. Ua bertutur, kebun mawar ini sangat luas, tanaman mawarnya selalu berbunga, saya sendiri membayangkan betapa indah warna-warni mawar yang bermekaran seluas lahan kebun itu. Saya sempat menyambungkan kisah keberadaan kebun mawar yang berlokasi di Jalan Haji Mesri ini dengan Kherkoff Kebonjahe di Jalan Pajajaran, mengingat lokasi yang berdekatan dan keterkaitan bunga dengan permakaman. Ternyata perkiraan saya salah besar.
Dari penuturan Ua Us Tiarsa didapatkan informasi bahwa bunga mawar yang dipanen dari kebun mawar itu dijual ke pengumpul di Pasar Baru, sebagai bahan untuk rampe (bunga rampai). Rampe adalah aneka bunga yang sudah dilepas kelopaknya beserta irisan pandan yang biasanya ditaburkan di atas makam. Karena itulah bunga mawar di sana dipanen tidak beserta tangkainya tapi hanya kuntum bunganya saja.
“Nu diala lain kembang eros jeung gagangna, Na, tapi ukur pendulna, lantaran keur diical ka tukang rampe di Pasar Baru [Mawar yang dipanen tidak dengan tangkainya, tapi hanya kuntumnya saja, untuk dijual ke tukang kembang di Pasar Baru],” tutur Ua.
Dan dari Ua pula didapatkan nama pemilik lahan kebun bunga mawar itu di antaranya, Bah Encen, Mama Prawira – Ibu Icih, dan Pak Herman. Kebun mawar itu sudah ada dari sekitar tahun 1920-an. Karena itulah, pemerintah kota menamai ruas jalan tersebut dengan nama Rosenlaan, Jalan Mawar. Kebun mawar tersebut mulai bertahap berkurang dan hilang sekitar tahun 1960-an, sejak pembangunan lapangan bulutangkis di sisi jalan Haji Mesri, selanjutnya perlahan menjadi daerah permukiman.
Terbawa dengan romantisme kisah kebun mawar itu, ketika sedang mengajar privat di satu rumah di Jalan Haji Mesri, dengan kopi susu yang tersaji di dalam sebuah cangkir vintage di hadapan saya, saya membayangkan ada di satu waktu di zaman Belanda, duduk di beranda satu rumah di Rosenlaan, mengamati delman yang melintas di sore hari. Dan saya tiba-tiba terinspirasi untuk menulis satu puisi.
Apa kabar kau hari ini, Levien?
Aku masih menunggumu di beranda ini.
Duduk dalam sepi.
Dengan secangkir kopi.
Kadang derap suara kuda yang membawa delman membuatku segera menoleh ke arah dia datang.
Harapku, itu delman yang membawamu pulang.
Netherlands seolah menelan dirimu bulat-bulat.
Hingga tak seorangpun tahu di mana engkau sembunyikan dirimu.
Aku menunggumu Levien.
Di sini, di tempat yang terpisah lautan luas.
Yang kau janjikan untuk kembali.
Tapi kau tak pernah tampakkan lagi rupamu.
Aku akan selalu menunggumu, Levien...
Tak kan berhenti menunggumu.
Aku,
Aleen.
Rosenlaan, selepas senja ketika hujan.
(Ernawatie Sutarna, 2019)
Baca Juga: CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #27: Stasiun Bandung dan Kenangan tentang Kereta Api
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #28: Kaulinan Barudak, Media Bermain dan Bersosialisasi
Pengobatan Anak
Hal yang sering ditanyakan pada saya ketika menyebutkan tinggal di Kebonkawung adalah
“Sebelah mana Kartika Sari?” atau “Palih mana nu sok ngalandongan murangkalih [Sebelah mana pengobatan anak]?”. Dua tempat itu memang dari dulu menjadi ikon jalan Kebonkawung: sebuah toko kue legendaris dan tempat pengobatan tradisional anak.
Pengobatan anak tradisional ini banyak dijugjug para orang tua dari berbagai daerah, tidak hanya dari kota Bandung, tapi juga dari daerah-daerah lain di Jawa Barat, bahkan dari luar Jawa Barat. Anak-anak yang diobati biasanya balita yang rewel, sedang program pemberhentian ASI atau disapih, susah makan, akan mempunyai adik, ririwit atau gampang sakit, kurus, dan lain-lain.
Si anak diberi sate hati ayam yang ditusuk dengan bilah bambu kuning yang bertulis tulisan Arab gundul, kalung dari bambu kuning (haur koneng) dengan tali benang kasur putih, serta bunga untuk digunakan memandikan anak yang diobati tersebut. Pengobatan tradisional ini dilakukan secara turun-temurun, sejak 1940-an dan masih berlangsung hingga saat ini.
Disebutkan sebelumnya, bahwa salah satu pemilik kebun mawar di Jalan Haji Mesri atau Rosenlaan itu adalah Mama Prawira, beliau inilah generasi pertama pada terapi atau pengobatan tradisional ini. Pengobatan yang dilakukan Mama Prawira ini sangat terkenal dan menjadi tempat yang dituju para orang tua yang mempunyai balita pada saat itu. Kemampuan mengobati itu turun pula pada putra-putrinya dan sekarang pada generasi ketiga, yaitu para cucunya.
Pada masa itu anak-anak terutama balita yang mengalami gejala seperti dituliskan di atas akan disarankan oleh para orang tua untuk dibawa ke Jalan Haji Mesri untuk dikangkalungan, begitu istilah orang tua untuk menyebut proses pengobatan yang dilakukan. Dan ketika itu bukan hal yang aneh melihat balita yang memakai kalung yang terbuat dari benang kasur berwarna putih dan berliontin seruas bambu kuning seukuran jari kelingking, sepanjang kurang lebih tiga senti meter.
Di masyarakat Sunda sendiri haur koneng memiliki arti khusus. Banyak mitos yang dipercayai masyarakat terkait tanaman bambu kuning ini. Misalnya saja haur konenng dipercaya mampu menangkal energi negatif, memberi aura positif, serta mengusir roh jahat. Secara ilmiah, tanaman bernama latin Bambusa vulgaris ini adalah tanaman yang mampu menyerap karbondioksida lebih banyak dari pohon-pohon yang relatif lebih besar. Selain itu, karena bambu kuning tumbuh cepat dan mudah berkembang biak, tanaman ini juga dianggap sebagai simbol kesuburan dan kehidupan yang berkelanjutan.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung