Saat Negeri Tanpa Laut Mengajari Kita Bermain di Pantai
Belarusia, negara yang terkurung daratan, berhasil menembus partai final Piala Dunia Sepak Bola Pantai FIFA. Di mana Tim Nasional Sepak Bola Pantai Indonesia?

Dendy Raditya Atmosuwito
Pemerhati kepublikan dan warga Bantul Yogyakarta
10 Juni 2025
BandungBergerak.id – Panggung itu telah usai di Seychelles, Mei 2025. Pasir telah menyaksikan sejarah terukir, bola telah berhenti bergulir. Di sana, Belarusia, sebuah negeri yang peta geografisnya tak bersentuhan dengan asinnya air laut, sebuah negara terkurung daratan, landlocked country yang secara menakjubkan berhasil menjejak partai final Piala Dunia Sepak Bola Pantai FIFA. Meskipun akhirnya harus mengakui keunggulan sang juara, Brazil, pencapaian Belarusia sebagai runner-up tetaplah sebuah kisah luar biasa. Bayangkan, Belarusia, sebuah negara tanpa pantai, bisa mencapai puncak setinggi itu. Mereka seolah menertawakan takdir geografis, membuktikan bahwa keterbatasan fisik bisa dilampaui oleh imajinasi, kerja keras, dan barangkali, sebuah sistem yang berjalan.
Sekarang, kita palingkan pandangan ke sini, ke Nusantara. Negeri dengan garis pantai terpanjang ketiga di dunia, membentang 95.181 kilometer jika mengikuti lekuk-liku pulau-pulaunya. Pasir putih, hitam, bahkan merah muda, terhampar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote. Lautan adalah halaman depan kita, bukan halaman belakang. Samudera adalah anugerah alam yang tak terkira. Tapi, di mana Tim Nasional Sepak Bola Pantai Indonesia kita? Jangankan bicara level dunia macam Belarusia itu, di kancah Asia, bahkan Asia Tenggara sekalipun, kita masih terengah-engah. Ini bukan sekadar pertanyaan prestasi olahraga. Ini soal cermin besar yang memantulkan wajah kita sendiri, wajah sebuah bangsa maritim yang gamang dengan identitas baharinya.
Baca Juga: Laga Riverside Forest FC di Liga Empat, Tetap Mengkampanyekan Sepak Bola untuk Rakyat
Sepak Bola adalah Perlawanan
Pertandingan Sepak Bola Tanpa Suporter adalah Kegagalan Pemerintah Memenuhi Hak Warga Negara
Ironi Negeri Bahari
Ada yang getir dalam ironi ini, sesuatu yang mengingatkan pada cerita sedih tentang keterasingan di tengah kelimpahan. Kita punya segalanya untuk menjadi raksasa sepak bola pantai: sumber daya alam berupa pantai yang tak habis dijelajahi, potensi pemain yang tersebar di ribuan desa pesisir, dan matahari yang bersinar hampir sepanjang tahun. Tapi apa yang terjadi? Kita lebih sering mendengar kabar pantai kita rusak, abrasi menggerogoti daratan, sampah plastik menjadi ornamen baru di bibir pantai, atau reklamasi yang mengubah wajah pesisir demi ambisi beton yang entah untuk siapa. Mungkin, kalau ada Piala Dunia Merusak Pantai, kita tak perlu kualifikasi, langsung masuk unggulan pertama. Sebuah kenyataan pahit.
Barangkali, ini bukan semata soal PSSI atau kurangnya dana. Ini soal cara pandang, soal mindset. Kita sering kali melihat laut dan pantai hanya sebagai objek eksploitasi: ikannya dicuri, pasirnya disedot, keindahannya dijual dalam brosur pariwisata instan. Kita lupa bahwa laut dan pantai adalah ruang hidup, ruang budaya, ruang spiritual. Nenek moyang kita adalah pelaut ulung, bukan? Pinisi dan Sandeq adalah monumen kehebatan maritim mereka. Lalu, di mana semangat itu sekarang bersemayam? Apakah hanya tersisa di museum dan buku-buku sejarah? Mungkin kita memerlukan sebuah "arus balik kebudayaan," yang membuat sejarah tidak hanya menjadi nostalgia, tetapi menjadi landasan kritik untuk membaca ulang arah kita sebagai bangsa maritim.
Sepak bola pantai, jika kita mau sedikit lebih dalam merenung, bukan hanya soal mencetak gol atau meraih medali. Ia bisa menjadi salah satu simpul untuk merajut kembali kebudayaan bahari kita yang terkoyak. Bayangkan anak-anak pesisir, dari Aceh hingga Papua, bermain bola di atas pasir dengan riang gembira, merasakan langsung tekstur pantai, menghirup udara laut, dan menjadikan laut sebagai sahabat, bukan sebagai ancaman atau tempat sampah. Dari permainan sederhana itu, bisa tumbuh kecintaan, kepedulian, dan akhirnya, kesadaran untuk menjaga dan memakmurkan potensi maritim.
Lihatlah Brazil, mereka tak hanya jago di lapangan hijau rumput, tapi juga di atas pasir. Sepak bola pantai adalah bagian dari kultur mereka, ekspresi kegembiraan hidup yang menyatu dengan pantai-pantai ikonik seperti Copacabana. Mereka tidak menunggu Piala Dunia Sepak Bola Pantai FIFA datang untuk bermain. Mereka bermain karena itu adalah bagian dari diri mereka. Hal serupa bisa kita lihat di Portugal, Spanyol, atau bahkan Senegal yang juga menjadi kekuatan sepak bola pantai. Mereka merayakan pantai mereka.
Sepak Bola Pantai Bisa Menjadi Jembatan Kecil
Kita punya banyak event olahraga, dari tarkam hingga liga profesional. Tapi berapa banyak turnamen sepak bola pantai yang konsisten digelar, dari level desa hingga nasional? Berapa banyak pelatih sepak bola pantai yang kita miliki? Berapa banyak wasit yang memahami betul seluk-beluk aturan permainan di atas pasir? Ini bukan hanya tanggung jawab federasi sepak bola. Ini tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa yang mengaku maritim. Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Ekonomi Kreatif, juga Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Kebudayaan, seharusnya bisa bersinergi. Jadikan sepak bola pantai sebagai ekstrakurikuler di sekolah-sekolah pesisir. Adakan kompetisi reguler. Berikan insentif bagi daerah yang berhasil mengembangkan bibit-bibit pemain.
Mungkin ada yang berkata, "Ah, sepak bola pantai itu olahraga minor, tak sepopuler sepak bola lapangan biasa." Bisa jadi. Tapi, bukankah dari yang kecil dan diremehkan itu sering kali muncul kejutan? Belarusia sudah membuktikannya. Siapa tahu, dari pasir-pasir pantai Nusantara yang selama ini lebih banyak merintih karena kerusakan, akan lahir generasi baru yang tak hanya jago mengolah bola, tapi juga memiliki kesadaran ekologis dan kebanggaan maritim yang mendalam. FIFA sendiri terus mempromosikan ajang ini, dan Seychelles baru saja menjadi tuan rumah yang sukses pada Mei 2025 lalu. Apakah kita hanya akan menjadi penonton setia dari kejauhan?
Ini bukan sekadar soal prestasi. Ini soal mengembalikan sesuatu yang hilang, atau setidaknya, mulai pudar: koneksi batin kita dengan laut. Sepak bola pantai bisa menjadi jembatan kecil namun penting. Sebuah upaya "pemajuan kebudayaan bahari" yang konkret, yang bisa dimulai dari bawah, dari tawa riang anak-anak di bibir pantai. Jangan sampai cerita tentang Belarusia ini hanya menjadi bahan olok-olok sesaat di kedai kopi, lalu menguap begitu saja. Jangan sampai kita terus menerus menjadi bangsa yang memunggungi laut, padahal di sanalah sejatinya halaman depan peradaban kita terhampar luas.
Kita butuh lebih dari sekadar program atau anggaran. Kita butuh kesadaran kolektif, sebuah dorongan kuat untuk menjadikan pantai bukan hanya sebagai komoditas, tetapi sebagai bagian integral dari identitas dan masa depan kita. Jika tidak, maka garis pantai kita yang panjang itu hanya akan menjadi saksi bisu dari sebuah bangsa yang dianugerahi begitu banyak, namun memilih untuk menyia-nyiakannya. Sebuah ironi yang jauh lebih pedih daripada sekadar kalah dalam pertandingan sepak bola karena kita telah kalah dalam mengenali diri sendiri.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB