• Opini
  • Ilusi Produktivitas di Era Platform Digital, antara Value Creation dan Value Extraction

Ilusi Produktivitas di Era Platform Digital, antara Value Creation dan Value Extraction

Pemain besar dapat membanjiri pasar dengan diskon besar, promosi influencer, dan logistik efisien. Usaha kecil? Terpaksa ikut arus, meski dengan ongkos mahal.

Rakean Radya Al Barra

Penulis juga bekerja di bidang riset dan kebijakan sosial. Director di komunitas menulis dan literasi Nyarita Bandung.

Ilustrasi. Aktivitas manusia dengan gawainya di era teknologi digital. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

11 Juni 2025


BandungBergerak.id – Entah itu transaksi menggunakan QRIS atau bersilaturrahmi via saling melempar Reels, kehidupan modern sulit dibayangkan terpisah dari teknologi digital yang kita pakai. Dari e-commerce hingga layanan pemerintah, gawai yang ada di saku dan meja kita membantu dalam segala urusan harian. Tak jauh jika diklaim bahwa kita cukup bergantung padanya.  Apalagi Indonesia.

Berdasarkan laporan tahun 2023 dari Google, Temasek, dan Bain & Company, sekitar 40 persen dari nilai total transaksi ekonomi digital di ASEAN berasal dari Indonesia. Secara nominal, nilai ekonomi digital ini mencapai 82 miliar Dolar AS, atau tumbuh 8 persen dari tahun sebelumnya. Tentu saja, dominasi sektor digital ini mempengaruhi cara orang Indonesia menjalankan bisnis.

Idealnya, digitalisasi memunculkan fenomena yang disebut sebagai simetri informasi: keterbukaan dan kejelasan informasi antara penjual dan pembeli yang secara teori menciptakan persaingan yang sehat. Dalam ilmu ekonomi, simetri informasi dianggap menguntungkan karena mencegah adanya pihak yang "menipu" pihak lain melalui informasi yang timpang.

Maka ketika platform digital hadir, logikanya, mereka menyediakan insentif agar para penjual menjadi seinformatif mungkin. Jika menyembunyikan sedikit saja informasi, calon pembeli akan langsung berpaling ke ratusan alternatif serupa yang tersedia di platform. Jika pelayanan tidak memuaskan, rating rendah menjadi isyarat bagi pembeli lain untuk menghindari. Seharusnya, sistem ini menciptakan pasar yang efisien dan kompetitif.

Tapi benarkah demikian?

Baca Juga: Indonesia Membutuhkan Sembilan Juta Talenta Digital
Urgensi Mendukung Peningkatan Literasi Digital untuk Para Lansia
Wayang Golek di Tangan Orang-orang Muda, Menemukan Tantangan Berat di Era Digital

Harapan Tak Sesuai Kenyataan

Secara anekdotal, cukup mudah melihat bagaimana harapan ini tidak sesuai kenyataan. Pedagang baju di Tanah Abang, seperti Anton yang diwawancarai Kompas, mengeluhkan betapa mereka tidak sanggup bersaing dengan harga-harga absurd di TikTok Shop. Anton menjual gamis dengan harga Rp100.000, sementara di platform digital ada yang menjualnya dengan Rp 39.000, meski bahan sama. "Itu tak masuk di akal," katanya. Omzetnya pun merosot dari Rp 20 juta per hari menjadi hanya Rp 2 juta.

Tak hanya itu. Usaha kecil lokal kini menghadapi tantangan lain: penurunan kelas menengah. Data BPS menunjukkan bahwa dari tahun 2019 ke 2024, jumlah penduduk kelas menengah turun 9,48 juta jiwa. Dampaknya langsung terasa: daya beli menurun, dan tentu, usaha kecil yang mengandalkan konsumen kelas menengah ikut terpuruk.

Ketika ada alternatif lebih murah yang disodorkan oleh e-commerce, konsumen rasional tentu beralih.

Awalnya, usaha kecil lokal memang sedikit banyak memonopoli pasar tertentu karena keterbatasan akses informasi. Konsumen lokal tak punya pilihan lain, sehingga bisnis-bisnis ini tetap hidup meski tak kompetitif. Kini, platform digital justru menggusur dominasi lokal itu –bukan dengan menciptakan usaha kecil baru yang lebih baik, tetapi dengan memindahkan monopoli tersebut ke tangan pemilik modal besar.

Simetri yang semula menjanjikan persaingan sehat berubah menjadi pemusatan kekuatan pasar dalam genggaman yang lebih kuat. Pemain besar dapat membanjiri pasar dengan diskon besar, promosi influencer, dan logistik efisien. Usaha kecil? Terpaksa ikut arus, meski dengan ongkos mahal. Mereka harus belajar digital marketing, bayar biaya iklan, adaptasi teknologi, dan bersaing dalam skala yang mereka tidak siap hadapi.

Di satu sisi, kelebihan platform digital adalah bahwa Anda bisa bersaing dengan seluruh dunia. Di sisi lain, kekurangannya: Anda harus bersaing dengan seluruh dunia.

Kondisi ini menjadi lebih mengkhawatirkan ketika kita melihat dari perspektif produktivitas. Banyak usaha kecil yang kini lesu tak hanya kehilangan pendapatan, tetapi juga tak bisa lagi menyerap tenaga kerja secara optimal. Pilihan bagi pekerja mereka hanya dua: pindah ke sektor informal lain yang juga stagnan atau menganggur.

Menurut data BPS, terdapat 9,9 juta anak muda usia 15-24 tahun yang termasuk kategori NEET (Not in Education, Employment, or Training). Ini bukan hanya potret masalah sosial, tetapi juga indikator bahwa bonus demografi kita perlahan menjadi beban demografi.

Akar Persoalan

Jika kita ingin melihat akar persoalan ini secara sistemik, maka kita perlu menggunakan lensa value creation vs. value extraction seperti yang diajukan Mariana Mazzucato. Dalam bukunya The Value of Everything, Mazzucato membedakan antara aktivitas ekonomi yang benar-benar menciptakan nilai (seperti manufaktur dan infrastruktur), dan aktivitas yang hanya “menarik renteˮ tanpa menambah nilai produktif, mungkin seperti banyak platform digital.

Platform-platform ini tidak memproduksi barang atau jasa yang meningkatkan kualitas hidup secara langsung. Mereka menjadi perantara yang mempercepat transaksi dan menarik biaya platform yang makin hari makin besar. Mereka, secara kasar, ibarat tengkulak digital. Uang berputar, tetapi barang dan nilai tidak bertambah.

Ironisnya, laba dari platform ini pun sering kali tidak kembali ke sektor produktif. Dana investor dan dividen pemegang saham tidak mengalir ke inovasi atau manufaktur, melainkan ke pertumbuhan kapital finansial yang semakin menjauh dari kontribusi produktif.

Lebih menyedihkan lagi, narasi yang terus dipromosikan pemerintah seolah malah mendukung status quo, yaitu glorifikasi UMKM sebagai "tulang punggung ekonomi". Nyatanya, banyak dari mereka adalah usaha informal berproduktivitas rendah yang tidak bisa bersaing secara sistemik. Alih-alih mendorong industri atau usaha menengah yang dapat menyerap tenaga kerja produktif, kita malah melanggengkan model ekonomi yang tidak memberikan jaminan kesejahteraan.

Dalam artikel “Want Growth? Kill Small Businessesˮ,  Karthik Tadepalli dari UC Berkeley menyampaikan argumen yang tajam: negara berkembang seharusnya mengalihkan fokus dari usaha mikro ke usaha menengah dan besar. Di Indonesia, 96 persen perusahaan adalah usaha mikro. Namun, kontribusi terbesarnya terhadap PDB justru datang dari sektor industri menengah dan besar yang hanya 0,77 persen dari total unit usaha. BPS mencatat bahwa industri pengolahan nonmigas menyumbang 16,3 persen PDB pada triwulan II 2023. Menurut ILO, produktivitas pekerja di perusahaan kecil hanya 20-50 persen dari mereka yang bekerja di perusahaan besar. Jadi mengapa kita terus memelihara usaha-usaha kecil yang tidak produktif apabila yang kita butuhkan adalah lompatan produktivitas?

Ketergantungan pada UMKM menciptakan fragmentasi pasar tenaga kerja, menurunkan efisiensi, dan menguras anggaran untuk subsidi yang tak sebanding dengan hasilnya. Padahal, pembangunan industri menengah dan besar dapat mendorong inovasi, membuka lapangan kerja formal, dan mengangkat produktivitas nasional.

Jika mimpi kita memang ingin keluar dari middle-income trap, sudah saatnya kita tinggalkan glorifikasi pertumbuhan semu dan mulai membangun fondasi produktivitas yang nyata. Fokus yang lebih presisi pada value creation –bukan sekadar transaksi dan konsumsi– akan membawa kita pada arah yang lebih berkelanjutan.

Sebab, dalam ekonomi modern, pertanyaan paling penting bukanlah seberapa cepat uang berpindah tangan. Tapi: apa yang sebenarnya kita hasilkan?

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//