• Opini
  • Pemimpin Baru Labusel, Masih Mau Gunakan Cara Lama?

Pemimpin Baru Labusel, Masih Mau Gunakan Cara Lama?

Kepemimpinan Bupati Fery saat ini adalah sebuah peluang untuk membuat Labuhanbatu Selatan (Labusel) menjadi daerah yang tumbuh dengan keadilan sosial.

M Hakim

Pegiat Ruang Ekspresi (Klub Belajar Sosial-Politik) dapat dihubungi di Instagram @naufihakiim atau di X @Nlmuhammad

Ilustrasi. Korupsi merusak masa depan bangsa. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

12 Juni 2025


BandungBergerak.id – Bagi orang yang berpikiran internasional, lokalitas adalah sesuatu yang sempit. Bagi orang yang berpikiran lokalitas, internasional adalah sesuatu yang abstrak dan tak berkaki. Maka dari itu diperlukan keseimbangan supaya tak sekadar jadi monolitik. Bagaimanapun, di mana bumi diinjak, di situ langit dijunjung.

Kabupaten Labuhanbatu Selatan (Labusel) adalah unsur dari sebuah struktur besar yang namanya dunia. Bila ditarik ke negara, jadilah ia bagian dari Indonesia. Oleh karenanya, ontologi dari Labusel dimaksudkan untuk mendekatkan keadilan agar semakin mudah diakses oleh masyarakatnya. Sebagaimana hal yang demikian telah jelas dan lugas diterakan pada UUD 1945.

Dalam perkembangan politiknya, Labusel sudah diisi oleh tiga jenis kepemimpinan. Mulai dari Wildan, Edimin, hingga terkini: Bupati Fery (2025). Di antara ketiga pemimpin tersebut, siapakah menurut Anda yang pernah membaca buku Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Soekarno, Kartini, dan Hatta?

Tentu bagi pemujanya pasti punya klaim bahwa semua pemimpin itu pernah membaca salah satu buku yang telah disebutkan tadi.

Akan tetapi bagaimana bila dari lensa akademis melihat itu semua? Tentu mereka sangat perlu skeptis, dengan mengajukan sebuah pertanyaan hipotetis; kalau memang sudah membaca, pernahkah para pemimpin itu menguraikan secara skematis apa itu sosialisme dan kapitalisme?

Lalu apa perlunya membaca karya tersebut? Tentu perlu, supaya setiap pemimpin di Labusel dapat mencermati alur pikiran politik bangsa ini di masa lalu. Dengan demikian, mereka dapat merefleksikan setiap tindakan politiknya.

Dalam buku The Human Condition (1958) karya dari Hannah Arendt, ia menguraikan bahwa setiap tindakan itu akan menyebabkan interaksi dengan orang lain. Apalagi bila tindakan itu dilakukan dengan rasionalitas, maka pembentukan pendapat dan pemikiran kritis akan berlangsung.

Baginya aktivitas yang paling intim dan unik dalam politik dan manusia, yaitu kemampuan untuk memulai sesuatu yang baru. Karena itu Arendt melihat tindakan sebagai rumus dari kebebasan dan politik.  All human activities are conditioned by the fact that men live together (hal. 42).

Baca Juga: Mencari Sosok Kepala Daerah yang Layak
Pilkada Labusel, Kita Mau Menagih Kebijakan Apa?
100 Hari Kerja Bupati Labusel, Mau Membangun Apa?

Fery Jangan Naif

Wildan berlatar pengusaha, juga Edimin. Sehingga orientasi mereka saat memimpin di Labusel cenderung borjuis. Yang kadang kala itu membuat mereka sulit membedakan mana yang “publik” dan “privat” pada saat memimpin.

Wildan memimpin dua periode di Labusel, hasilnya, ia ditangkap karena korupsi. Edimin memang memimpin hanya tiga tahun di Labusel, tetapi tindakannya hampir serupa seperti Wildan dalam aspek politik: ugal-ugalan.

Kini Labusel sudah berganti muka, dan Fery adalah pemimpinnya. Tapi apakah tindakannya seperti yang lama? Tampaknya ke arah yang sama peluangnya itu ada. Namun semoga saja tidak! Untuk itu perlu ditegaskan pada Fery bahwa integritas adalah mata uang yang sah untuk diedarkan ke jajarannya. Tanpa itu, jalan kepemimpinannya bisa menyimpang menuju ke jurang kesenjangan untuk Labusel, yang juga akan membuat citra Indonesia menjadi tercoreng di layar Internasional.

Pada tahun 2024, hasil survei dari KPK, Sumatera Utara itu mendapatkan skor 58,5 yang berarti terendah dalam kategori “provinsi besar” di Indonesia. Akibatnya status birokrasinya menjadi merah (bahaya). Lalu bagaimana Labusel? Baca saja sendiri di situsnya KPK. Supaya kita bisa saling merefleksikannya.

Kini kita hidup bukan lagi seperti katak dalam tempurung. Semuanya sudah serba praktis dan terbuka untuk diakses, apalagi soal-soal pemerintahan yang melandaskan sistem politiknya pada demokrasi.

Karena itu Fery jangan naif dalam menjalankan kepemimpinannya. Ia perlu transparan dan akuntabel dalam menerapkan slogan "Kita Bangun, Kita Jaga, Kita Rawat" yang dicetuskannya di saat kampanye. Slogan itu memang sangat bernada populisme. Jadi wajar rasanya apabila masyarakat Labusel menanti bagaimana penerapan ilmiahnya dalam pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur, ketenagakerjaan, hukum, birokrasi, dan lainnya.

Dalam politik, bermain slogan memang sudah menjadi kegemaran baru. Bahkan kalau bisa slogannya bernada yang bombastis supaya masyarakat bersimpati melihatnya. Dulu Edimin mengusung "Perubahan" di saat kampanye. Akan tetapi apa yang terjadi saat ia memimpin? "Perusakan?"

Sekarang kepemimpinan Fery sudah melewati 100 hari kerja. Dalam fatsun politik, hal itu ditandai untuk melihat efektivitas kinerja dari sebuah kepemimpinan. Sebagaimana hal itu mulai populer ketika F. Roosevelt menjadi presiden di Amerika Serikat.

Jadi, setelah melewati 100 hari kerja, apa yang membedakan Fery dari pemimpin sebelumnya? Bagi penulis sulit untuk membedakannya, karena efektivitas kinerjanya masih penuh desas-desus politis. Namun tindakannya saat ini tak jauh berbeda dengan pemimpin sebelumnya, yang hanya berkutat dengan soal-soal yang seremonial. Tentu Fery punya "seribu argumen" untuk menyangkalnya, namun penulis juga punya "seribu satu argumen" untuk menukikkannya.

Memang ini masih hanya 100 hari kerja. Lagi pula babak waktunya menjalani kepemimpinannya masih mengalir. Ada beratus-ratus hari lagi yang akan dilewatinya. Namun itu dalam catatan apabila tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Misalnya tak tutup usia dan tak diinterupsi oleh KPK.

Pada akhirnya, kepemimpinan Fery saat ini adalah sebuah peluang. Peluang untuk membuat Labusel menjadi daerah yang tumbuh dengan social justice (keadilan sosial), sekaligus dapat memberikan suatu kontribusi progresif dalam menyongsong perubahan dunia yang penuh dalam kedinamisan.

Dengan demikian, itu bukanlah tugas yang ringan. Mengingat adanya status “efisiensi anggaran” yang diberlakukan Prabowo. Akan tetapi bagi pemimpin yang bertindak dengan "empati" maka ia perlahan akan ringan untuk diarunginya. Jadi, selamat menikmati kepemimpinan di Labusel, Fery. Semoga Anda lega dalam menerima segala pujian dan cercaan. Juga lega dalam menerima masalah dan solusi, yang datang dari mana-mana.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain tentang politik

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//