• Berita
  • Mahasiswa Papua di Bandung Mengajak Memetik Pelajaran dari Bahaya Tambang Nikel di Raja Ampat

Mahasiswa Papua di Bandung Mengajak Memetik Pelajaran dari Bahaya Tambang Nikel di Raja Ampat

Tambang Nikel di Raja Ampat hanya salah satu dari praktik yang bertolak belakang dengan semangat dan tradisi pelestarian alam di Papua.

Warga Desa Manyaifun bersama aktivis Greenpeace Indonesia berfoto bersama dengan spanduk bertuliskan Selamatkan Raja Ampat, Stop Nikel dan Selamatkan Hutan Papua. (Sumber Foto diakses Jumat, 13 Januari 2025, Alif R Nouddy Korua/Greenpeace)

Penulis Yopi Muharam13 Juni 2025


BandungBergerak.idBeberapa hari lalu, jagat media sosial dihebohkan dengan berita pengerukan pulau Gag di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Kabara pulau yang dikeruk untuk pertambangan nikel itu pertama kali dipublikasikan oleh Greenpeace Indonesia, organisasi yang fokus pada isu lingkungan hidup.

Video unggahan Greenpeace yang berdurasi 24.44 menit menunjukkan sisi lain dari wajah Raja Ampat. Tampak samar aktivitas penambangan di pulau Gag, hampir tersembunyi. Namun, jika ditengok dari udara terlihat jelas bahwa inti pulau sedang digali.

Merespons peristiwa yang terjadi di Jantung Segitiga Terumbu Karang Raja Ampat, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Kota Bandung menggelar nonton bareng dan diskusi bertajuk Save Raja Ampat, Papua Bukan Tanah Kosong”. Puluhan orang dari berbagai daerah berkumpul di asrama Papua, Bandung, Rabu, 11 Juni 2025.

Petrus Nauw, mahasiswa yang berasal dari Sorong, Papua Barat menilai pengerukan yang terjadi di pulau Gag sebagai keserakahan perusahaan yang mengancam habitat kelestarian alam Raja Ampat. Menurutnya, banyak pulau kecil sekitar Raja Ampat dikeruk untuk tambang.

Baginya, pemerintah melalui perusahaan bertanggung jawab atas kerusahan di tanah Papua. Dia menegaskan, perusahaan tak segan membabat hutan dan mengeruk suatu pulau untuk pertambangan. “Banyak perusahaan asing mengeruk tanah di Papua untuk tambang,” ungkapnya.

Diketahui, ada lima perusahaan yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) tambang di sekitar geopark Piaynemo, Raja Ampat, Papua Barat Daya. Setelah viral tambang Raja Ampat, pemerintah kemudian mencabut empat izin milik perusahaan tambang.

Saat konferensi pers di Kantor Presiden Jakarta, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menungkapkan kelima perusahaan tersebut beserta konsesi tempat pertambangan, yaitu: PT Gag Niket – Pulau Gag; PT Kawai Sejahtera Mining – Pulau Kawe; PT Mulia Raymond Perkasa – Pulau Batang Pele dan Pulau Manyaifun; PT Anugerah Surya Pratama – Pulau Manuran; dan PT Nurham – Yesner Waigeo Timur.

“Dari lima IUP yang beroperasi yang memiliki RKAB [Rencana Kerja dan Anggaran Biaya], itu hanya satu IUP yang beroperasi, yaitu PT Gag Nikel yang lainnya di 2025 belum mendapat RKAB,” jelasnya, dilansir bisnis.com.

Diskusi tentang Raja Ampat di Asrama Papua, Bandung, Rabu, 11 Juni 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Diskusi tentang Raja Ampat di Asrama Papua, Bandung, Rabu, 11 Juni 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Berbagi Kerusakan di Tanah Papua

Selain ancaman kerusakan Raja Ampat, mahasiswa Papua menceritakan kerusakan di masing-masing daerahnya. Siska, mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Sorong, Papua Barat bercerita banyak perusahaan asing terus masuk ke tanah Papua untuk mengeruk kekayaan sumber  daya alam yang terkandung di dalamnya. Padahal, tanah Papua yang membentang dari Sorong sampai Merauke memiliki banyak hutan adat.

“Tapi atas nama pembangunan negara, mereka [perusahaan] mengeruk kekayaan di tanah Papua,” ungkap Siska.

Dia menyinggung pertambangan emas terbesar Freeport yang didirikan 7 April 1967 melalui penandatanganan Kontrak Karya Pertama dengan Pemerintah Indonesia. Namun, baginya perusahaan raksasa itu mustahil untuk dihentikan.

“Perusahaan masuk itu bukan keinginan kita [orang asli Papua], tapi mereka bergerak demi kepentingannya,” tandasnya.

Menurut data Amensty International Indonesia, pertambangan di Papua berpotensi menyebabkan konflik dan pelanggaran HAM. Di sisi lain, kekayaan alam yang terkandung di tanah Papua tidak menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Mengutip dari laman GoodStats setidaknya dari 10 provinsi luar Jawa dengan presentase penduduk miskin tertinggi, enam provonsi di Papua termasuk ke dalamnya. Provinsi Papua pegunungan menduduki peringkat pertama dengan presentase 32,97 persen.

Natan, mahasiswa dari Intan Jaya mengatakan, tidak ada kota ‘tambang’ yang masyarakatnya sejahtera. Hal tersebut terjadi karena masyarakat sekitar tidak diperhatikan.

Menurut Natan, dampak dari masifnya pertambangan adalah karena disahkanya UU Cipta Kerja. Padahal, UUD 1945, Pasal 33 ayat (3) telah mengatur tentang penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, serta penggunakannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Natan bercerita, sebelum UU Cipta Kerja disahkan, izin pertambangan tergantung pemerintah daerah. Kini kewenangan itu ada di tangan pemerintah pusat. Maka, pemerintah daerah sulit untuk menolak kebijakan yang tidak ramah lingkungan.

Kang Pakos, mahasiswa yang berdomisili di Wamena, Papua menyoroti proyek strategis nasional (PSN) di Merauke yang mencaplok 2 juta hektare untuk cetak sawah, tebu, dan sawit. Ia khawatir dampak pembangunan dan pertambangan yang membabat hutan adat dan mengancam masyarakat adat.

“Sehingga jaminan hidup bagaian semakin tipis bagi orang Papua,” katanya.

Jes-jes, mahasiswa lainnya menegaskan, kerusakan alam Papua mesti terus disuarakan demi generasi penerus. “Kita kuliah, lalu pulang, terus mau hidup di mana kalau hutannya habis,” tandasnya.

Baca Juga: Aksi Aliansi Mahasiswa Papua di Bandung, Pentingnya Pendekatan Kemanusiaan untuk Menghindari Korban Rakyat Sipil di Wilayah Konflik
Agustus Bukan Bulan Kemerdekaan, Mahasiswa Papua di Bandung Menggugat Kekerasan dan Rasisme Yang Awet di Tanah Papua

Tradisi Menjaga Alam

Sudah lama masyarakat Papua menjalankan tradisi melestarikan alam dan menjaga ekosistemnya. Yukha Sundaya, dosen Ekonomi dan Pembangunan Unisba mengatakan, masyarakat Papua memiliki tradisi atau budaya yang disebut sasi.

Tradisi sasi melibatkan larangan untuk mengambil hasil alam, baik di darat maupun di laut, dalam jangka waktu tertentu yang bertujuan untuk menjaga kelestarian alam dan memanfaatkan sumber daya secara berkelanjutan. Dalam tradisi sasi ketua adat memberi tanda seperti daun kelapa di bibir pantai untuk menandakan nelayan tak boleh menangkap ikan.

Dengan tradisi tersebut, masyararakat sebenarnya sudah bisa hidup mandiri. Begitu juga masyararakat Raja Ampat yang hidup dari hasil alam. “Tidak bergantung pada kebijakan presiden, tidak bergantung pada kebijakan pemerintah,” ungkap Yukha, dalam diskusi publik bertajuk Papua Bukan Tanah Kosong, yang diselenggarakan Sa Pu Alam, di Kampus Unisba Tamansari, Kota Bandung, Kamis, 12 Juni 2025.

Dia menegaskan bahwa manusia tak akan terlepas dari lingkungannya. Dalam istilah Sunda, terang Yukha, manusia harus berinteraksi harmonis dengan makhluk cicing [diam] dan makhluk nyaring [bersuara/bergerak]. Yang dimaksud mahkluk nyaring adalah yang berusara sedangkan makhluk cicing seperti gunung dan sebagainya.

“Artinya kalau dalam bahasa modern manusia harus berinteraksi dengan sistem biologinya,” terangnya.

Di acara yang sama, Fay dari komite Sa Pu Alam mengatakan, kebijakan yang tidak berpihak membuat Papua menghadapi kehancuran alam dan budaya. Ia menyebut, Papua sering kali dianggap sebagai tanah kosong. Hal tersebut menyebabkan banyaknya penambangan ekstraktif semena-mena yang merugikan masyarakat Papua sendiri.

“Padahal di tanah Papua itu banyak sekali masyarakat adat yang lahir, tumbuh, besar di sana, bergenerasi,” ungkapnya. “Tapi negara, pemerintah tidak pernah melihat mereka sebagai manusia. Negara hanya melihat itu sebagai lahan yang kosong yang dengan sewenang-wenang bisa dieksploitasi secara besar-besaran,” lanjutnya.

 

...

 *Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//