Festival, Sosial, dan Spiritual
Berkurban saat Iduladha menjadi media menumbuhkan kesalehan sosial untuk saling berbagi dengan sesama lintas SARA. Semua diikat oleh landasan kemanusiaan.

Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
14 Juni 2025
BandungBergerak.id – Saat asyik menyaksikan proses penyembelihan hewan kurban, sambil menggendong Kakang, anak ketiga yang berusia empat tahun, terus merengek, ingin sekali melihat pemotongan sapi dan kambing dari dekat.
Suasananya mirip pasar malam. Warga sekitar mulai dari bapak, ibu, laki-laki, perempuan, remaja, sampai anak-anak, tumpah ruah di pelataran masjid. Mereka datang berbondong-bondong, ikut ambil bagian dalam prosesi sakral yang menapak jejak Nabi Ibrahim.
Dua ekor sapi dan domba dipersembahkan, sebagai wujud cinta, penghormatan atas teladan pengorbanan yang diwariskan Ibrahim kepada generasi setelahnya yang kuat memegang risalahnya.
Ya, suasananya benar-benar seperti festival kurban, ramai, penuh semangat, tapi tetap khidmat. Semua terlibat. Anak-anak yang penasaran, para pemuda yang sigap membantu, sampai orang tua yang menyimpan haru dalam diam.
Sesekali, lantunan takbir, tahmid, dan tahlil menggema, menggetarkan langit dan hati siapa pun yang hadir.
Tiba-tiba, WhatsApp masuk dari seorang kawan, “Kang, tidak menulis tentang Iduladha?”
Kujawab singkat, “Nyerat!”
Tak lama membalas lagi, “Bisa sekalian menulis soal kurban dari buku Hewan dan Ritus Agama, ya!” Dengan disertai tautan e-book.
Meneladani Ibrahim
Iduladha bukan sekadar melaksanakan perintah menyembelih hewan kurban (sapi, kambing, domba, kerbau, unta) tetapi harus menjadi momentum yang tepat untuk meneladani keluarga Nabi Ibrahim dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah SWT melalui suatu mimpi untuk menyembelih anaknya sebagai isyarat bahwa anak tercinta-jiwa yang paling berharga di sisi seseorang bukanlah sesuatu yang berarti jika Tuhan telah meminta. Tidak ada sesuatu yang dapat dinilai tinggi jika dihadapkan dengan perintah Tuhan.
Tetapi, ini bukan berarti mempertahankan tradisi pengurbanan, karena setelah pisau dihunjamkan dan digerakkan untuk menyembelih sang anak sebagai kurban, tiba-tiba seekor domba dijadikan penggantinya. Hal ini sekaligus memberi isyarat bahwa Tuhan sedemikian kasih kepada manusia sehingga kurban manusia tidak diperkenankan.
Dalam kehidupan kita pada abad modern ini, nilai-nilai peristiwa kurban Nabi Ibrahim tersebut sering terlupakan. Masih cukup banyak praktik yang mengarah kepada mengurbankan manusia walaupun untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak luhur-bahkan kadang keji dan semata-mata hanya memenuhi ambisi dan kerakusan.
Peristiwa-peristiwa yang dialami Ibrahim yang puncaknya dirayakan sebagai Iduladha (Hari Raya Kurban), harus mampu mengingatkan bahwa yang dikurbankan tidak boleh manusia, tetapi sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri manusia, semacam rakus, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang, dan tidak mengenal hukum dan norma-norma apa pun.
Sifat-sifat yang demikian itulah yang harus dibunuh, ditiadakan dan dijadikan kurban demi mencapai qurbân (kedekatan) diri kepada Allah SWT. Itu sebabnya Allah mengingatkan: Daging dan darahnya sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaanmulah yang dapat mencapainya (QS 22: 37).
Dengan demikian, tidak ada kaitan antara daging, darah, dan qurbân (kedekatan kepada Allah). (M. Quraish Shihab, 2008:339).
Baca Juga: Pawai Obor, Syiar, dan Syair
Gusti, Toleransi, dan Narasi
Tradisi, Haji, dan Hiji
Hakikat Kurban
Pada dimensi horizontal, berkurban menjadi media menumbuhkan kesalehan sosial untuk saling berbagi dengan sesama lintas SARA. Tak mengenal kaya dan miskin, status atau derajat, suku dan adat, bahkan agama. Semua diikat oleh landasan kemanusiaan (kesalehan sosial).
Demikian dimensi sosial yang diajarkan dalam agama Islam yang menghargai perbedaan dalam penghambaan. Daging kurban yang dibagikan meliputi seluruh sisi organ. Semua dapat merasakannya. Tak ada yang diistimewakan. Semua diikat oleh kesadaran sosial yang sama. Daging yang dimakan seyogianya mampu menyentuh kesadaran kemanusiaan secara kafah.
Namun, acap kali nilai ini terkikis oleh sifat kebinatangan yang mendominasi diri, melampaui kekuatan sifat kemanusiaan yang harusnya dimiliki. Hal ini yang diingatkan Allah melalui firman-Nya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai" (QS. al-A'raf: 179).
Imam Qurthubi menafsirkan ayat di atas bahwa "bukan berarti mereka benar-benar tuli maupun buta secara fisik, mereka memang punya mata yang berfungsi untuk melihat, punya telinga yang berfungsi untuk mendengar. Namun yang dimaksud adalah mereka tidak mempergunakan fungsi pancaindranya dengan benar dan sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya".
Demikian keras dan jelas apa yang difirmankan-Nya, namun acap kali manusia mengingkari apa yang ada. Ia hanya sebatas melaksanakan salat dan “pamer” kurban, maka ia hanya akan menampilkan pakaian kesalehan semu penuh kepura-puraan. Padahal, seluruh nikmat-Nya telah diperoleh, namun nyatanya belum mampu mendirikan salat dan berkurban secara hakiki. Kesalehannya hanya sebatas aksesoris tanpa roh.
Meski demikian jelas ayat-Nya, namun masih tersisa manusia yang mengingkarinya. Merugilah diri, apalagi bila terjerumus pada kebencian (fitnah) atas kebenaran dan senang pada kemungkaran.
Perintah berkurban sebenarnya telah diawali sejak putra Nabi Adam A. S., yaitu Habil dan Qabil. Hal ini dinukilkan Allah SWT. melalui firman-Nya: "Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima" (QS. al-Ma'idah: 27).
Perintah berkurban pada umat Nabi Muhammad SAW. berangkat pada peristiwa Nabi Ibrahim A. S. dan Nabi Ismail A. S. Hal ini merujuk pada firman Allah: "Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar" (QS. as-Saffat: 102).
Merujuk beberapa ayat dan paparan di atas, ada beberapa makna kurban secara substansi yang perlu dipahami, antara lain: Pertama, Kurban sebagai bentuk harapan hamba untuk dekat (qarib) pada Sang Khaliq dan ketundukan yang bermuara pada ketakwaan. Kedekatan yang bisa dirasakan tatkala manusia mampu “menyembelih" sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri.
Di antara sifat-sifat kebinatangan tersebut antara lain: sifat tak tahu malu, sifat egois, pelit, sifat tamak (rakus), korupsi, sifat merasa paling kuat dan benar, sifat memangsa dan menimpakan kesalahan pada sesama (mencari kambing hitam), sifat sombong, provokator dan penyebar fitnah, senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang, dan lainnya.
Sungguh, tatkala merujuk ayat tentang perintah berkurban, terlihat jelas perbedaan antara perintah menunaikan ibadah haji dan kurban. Bila ibadah haji diperintahkan pada mereka yang memiliki kemampuan (istitha'ah), maka ibadah kurban justru ibadah bagi yang memiliki kemauan (takwa). Munculnya kemauan yang didorong oleh keinginan untuk dekat pada Allah Yang Maha Pemberi Rezeki. Sebab, tak sedikit manusia yang memiliki kemampuan secara ekonomi, tapi tak memiliki keinginan dan berhitung (untung rugi) untuk berkurban. Ada saja alasan kebutuhan duniawi yang menyebabkan manusia menunda untuk berkurban.
Kurban secara syariat berupa menyembelih hewan sesuai syarat yang tertera dalam kitab fiqh. Namun, kurban secara hakikat berupa upaya hamba “menyembelih sifat-sifat kebinatangan" yang ada dalam diri. Alangkah beruntung bila kedua dimensi ini dapat diraih. Namun, bila tak mampu melakukan keduanya, minimal dapat melaksanakan salah satu dari dua dimensi yang dimaksud.
Kedua, kurban wujud bentuk kesalehan sosial dengan berbagi atas rezeki yang diberikan-Nya. Hal ini terlihat melalui proses pembagian daging kurban kepada para fakir miskin. Agama Islam mengajarkan hamba untuk tetap mengedepankan rasa solidaritas dengan sesama manusia. Hal ini berkaitan dengan sikap empati, kesadaran diri, dan pengendalian diri (terhindar sifat egois dan kikir) sebagai akhlak terpuji seorang Muslim. Sikap kesalehan sosial terpuji agar manusia terhindar dari sifat munafik "ada udang di sebalik batu" untuk menarik simpati atau hanya ingin dipuji.
Ketiga, kurban perlambang orang tua yang amanah atas titipan Allah untuk menyiapkan keturunan yang saleh. Sosok Nabi Ibrahim dan Siti Hajar (ayah dan ibu) yang berikhtiar sekuat tenaga untuk mencari rezeki yang halal dan thaiyibah untuk anaknya. Ikhtiarnya terwujud berupa air zam-zam yang penuh keberkahan dan dikonsumsi anaknya (Nabi Ismail A. S.). Kebaikan atas apa yang dikonsumsi (halal dan thaiyibah) melahirkan sosok anak yang saleh.
Keempat, kurban membangun pilihan karakter Habil atau Qabil. Bila kurban dilaksanakan dengan ikhlas, maka ia menjadi bagaikan kurbannya Habil yang diterima oleh-Nya. Ia pilih rezeki hasil peternakannya (kurban) yang terbaik. Semua ia persembahkan dengan keikhlasan dan ketundukan. Habil telah mampu "menyembelih" sifat hewan dalam dirinya dan menghadirkan hamba Allah yang bersyukur. Namun sebaliknya, bila kurban dilakukan untuk sekadar pamer, maka akan menjadi kurbannya Qabil yang ditolak oleh Allah SWT. Ia pilih rezeki (kurban) yang jelek dan dinilai tak memberi manfaat padanya. Ia lakukan sekadar memenuhi perintah. Habil ternyata tak mampu “menyembelih” sifat hewan dalam diri, tapi justru mengembangbiakkan sifat hewan pada dirinya.
Kelima, kurban merupakan lambang kemenangan hamba atas fitnah Iblis yang gagal membujuk Nabi Ibrahim A. S., Nabi Ismail A. S., dan Siti Hajar. Rayuan iblis sesungguhnya berisi fitnah atas perintah Allah pada hamba-Nya. Hal serupa juga dilakukan oleh iblis terhadap Nabi Adam A. S. dan Siti Hawa.
Bentuk fitnah iblis berupa bujukan seakan perintah Allah merupakan kesalahan. Ia bujuk manusia seakan apa yang dikatakannya adalah kebenaran tunggal. Ciri-ciri sifat iblis yang menularkan tabiat manusia untuk suka menyebarkan fitnah pada sesama, antara lain: (1) bicaranya tinggi (angkuh), menilai diri paling benar, merasa paling baik dan hebat, padahal tak ada satu pun kebaikan yang dilakukan. Semua katanya hanya untuk dipuji dan menarik simpati belaka. (2) hidupnya habis digunakan hanya mengoreksi dan mencari kesalahan orang lain, tapi tak pernah mengoreksi diri sendiri dengan "borok busuk yang menganga".
Kebaikan orang dianggap kesalahan, apalagi kesalahan lawan. Tapi, bila berkaitan dengan dirinya, kebaikan kecil dibesar-besarkan, tapi kesalahan besar yang dilakukan dianggap kebenaran dengan berusaha mencari "kambing hitam". Bagaikan iblis yang menimpakan kesalahan pada Nabi Adam sebagai penyebab dirinya dimurkai Allah, padahal penyebabnya adalah kesalahan dirinya yang ingkar pada Allah. Sifat manusia seperti ini akan sulit menemukan kawan sejati. Ia akan selalu dijauhi, apalagi bagi pemilik "akal sehat" akan menghindar karena khawatir akan difitnah juga nantinya ketika ada kepentingan yang lain. Kecuali bagi sesama pemilik “akal busuk dan borok" yang saling bekerja sama.
Lalu, di mana posisi setiap diri atas fenomena dan realitas momentum Idul Kurban yang setiap tahun hadir menyapa. Tak ada yang tahu, kecuali setiap diri dan yang memiliki diri (Allah SWT). Bila hati dan akal tak juga bergeming setelah demikian jelas ayat-ayat-Nya ditampilkan, maka jalan kesesatan dan kehinaan yang akan diraih. Namun, bila hati dan akal tersentak dan bergetar menyadarkan dimensi keimanan, maka keselamatan akan diperoleh. Demikian jelas dan pasti janji Allah pada semua makhluk ciptaan-Nya. Pilihan diberikan pada setiap manusia, tapi pertanggungjawaban atas pilihan tak bisa dipilih (pasti). (Samsul Nizar, 2024:210-213)
Menjelang sore, setelah proses penyembelihan dan pembagian daging selesai, suasana mulai berubah. Budaya antre tampak mengakar, didukung sistem pembagian kupon yang sebelumnya telah dibagikan langsung oleh panitia ke rumah-rumah warga untuk mendapatkan jatah kurban.
Pada hari yang suci dan penuh keberkahan itu, seakan-akan halaman belakang (depan dan samping) berubah menjadi dapur-dapur terbuka. Asap mulai mengepul dari bara yang disusun rapi di atas tungku darurat, ya beralas batu bata dan rangka besi seadanya.
Untuk di keluarga kecilku, proses pembakaran sate menggunakan tungku perapian yang dibawa khusus dari Yogyakarta. Aroma daging kurban yang mulai dipanggang langsung mengundang rasa lapar.
Aa, anak keduaku yang berusia 10 tahun, dan Kakang, berlarian sambil membawa tusuk sate. Sesekali mereka mengipas bara dengan kardus bekas. Aku sendiri sibuk membolak-balik daging, memastikan tak gosong, tapi matang sempurna. Istriku datang membawa bumbu kecap.
Tiba-tiba, Kakang duduk di pangkuanku sambil menggigit sate kecil yang dibakar khusus tanpa sambal. Tangannya berlepotan, matanya berbinar-binar.
“Enak, Bah,” katanya. Cah ah!
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang tradisi