• Kolom
  • CATATAN DARI BUKU HARIAN #45: Ati Bachtiar, Menyusuri Jejak Budaya Lewat Lensa Kamera

CATATAN DARI BUKU HARIAN #45: Ati Bachtiar, Menyusuri Jejak Budaya Lewat Lensa Kamera

Pertemuan Ati Bahctiar dengan perempuan Dayak penjaga tradisi telinga panjang menjadi titik awalnya menekuni etnofotografi.

Kin Sanubary

Kolektor Koran dan Media Lawas

Ati Bachtiar, sosok Srikandi dalam dunia fotografi Indonesia. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary )

14 Juni 2025


BandungBergerak.id – Di balik setiap jepretan yang memukau, tersimpan kisah tentang keberanian, ketekunan, dan cinta pada dunia visual. Sosok Ati Bachtiar menjadi bukti nyata bahwa fotografi bukan sekadar menangkap gambar, melainkan juga merekam jiwa. Dengan kamera di tangan dan tekad yang kuat, ia menapaki perjalanan panjang sebagai fotografer yang penuh dedikasi.

Ruh Hayati, lebih dikenal sebagai Ati Bachtiar, lahir di Bandung pada 20 Januari 1969. Ia adalah putri dari pasangan almarhumah Atit Wasilah Maulany dan almarhum A. H. Widjajabrata, seorang perwira TNI AD. Lulusan Fakultas Sastra, Program Studi Bahasa Prancis Universitas Padjadjaran (1995) ini dikenal sebagai fotografer, pelukis kaca, dan pelestari budaya.

Ati menikah dengan Ray Bachtiar Dradjat, fotografer senior sekaligus pendiri RBS Studio (1992) dan Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI, 2002). Mereka dikaruniai dua anak, Tubagus Raka dan Ratu Adina Bachtiar. Dari Ray pula, Ati mengenal dunia fotografi, yang kemudian menjadi jalan hidup dan panggilan jiwanya.

Ati Bachtiar saat menjadi pembicara di Negeri Belanda. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary )
Ati Bachtiar saat menjadi pembicara di Negeri Belanda. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary )

Baca Juga: CATATAN DARI BUKU HARIAN #42: Mang Jaya, Maestro Dongeng Sunda Sang Pelestari Budaya
CATATAN DARI BUKU HARIAN #43: Mengenal Wati Ananta, Penyiar Idola dari Pulau Dewata
CATATAN DARI BUKU HARIAN #44: Djuli Pamungkas, Membingkai Cerita Lewat Foto

Etnofotografi dan Perempuan Dayak

Kecintaan Ati pada keragaman budaya Indonesia membawanya menyusuri pedalaman Kalimantan. Di sana, ia bertemu dengan para perempuan Dayak penjaga tradisi telinga panjang, yang menjadi titik awal proyek etnofotografi jangka panjang dan menjadi karya khasnya. Ia pun menulis sejumlah buku dari penyusurannya tersebut.

Buku pertama, Telinga Panjang: Mengungkap yang Tersembunyi (2016), menjadi fotografi pertaman Ati Bachtiar. Buku tersebut memuat 43 foto perempuan Dayak yang masih mempertahankan tradisi telinga panjang, serta 11 potret perempuan yang telah memotongnya, simbol dari pergeseran zaman. Proyek ini dikerjakan selama dua tahun dengan penuh ketekunan dan penghormatan terhadap subjeknya.

Peluncuran buku tersebut dilakukan pada Bandung Photography Month 2016, bertepatan dengan Festival Indonesia Menggugat ke-3 di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Karya ini menjadi ungkapan syukur Ati setelah berhasil melewati perjuangan sebagai penyintas kanker rahim pada tahun 2015.

Buku kedua yakni Jejak Langkah Telinga Panjang (2019). Dalam buku tersebut, Ati memperluas dokumentasi ke wilayah pesisir Kalimantan Timur hingga Kalimantan Utara. Sebanyak 42 foto perempuan bertelinga panjang ditampilkan. Buku ini merefleksikan kelanjutan semangatnya dalam merawat warisan budaya yang nyaris punah.

Buku ketiga Ati Bahctiar yakni Melacak Jejak Telinga Panjang (2024). Buku tersebut merekam 78 potret perempuan bertelinga panjang, jumlah yang sama dengan usia kemerdekaan Indonesia saat buku ini disusun. Ia menyebut mereka sebagai “Nenek Telinga Panjang”, generasi terakhir yang masih menyimpan jejak luhur budaya Dayak.

Ati Bachtiar bersama Yeq Lawing, nenek bertelinga panjang dari suku Dayak. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary )
Ati Bachtiar bersama Yeq Lawing, nenek bertelinga panjang dari suku Dayak. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary )

Bertemu Yeq Lawing, Perempuan Tangguh dari Long Isun

Yeq Lawing adalah perempuan Dayak dari Suku Bahau Umaq Paloq, salah satu dari 79 perempuan bertelinga panjang yang berhasil didokumentasikan Ati selama delapan tahun perjalanan. Namun, pertemuannya dengan Yeq terasa istimewa, ada ikatan batin yang melampaui pertemuan biasa.

Pertemuan pertama terjadi pada Oktober 2016 di ladang tepi anak Sungai Mahakam. Saat itu, masyarakat adat Long Isun sedang menugal, menanam padi menjelang ritual Hudoq Pekayang di Desa Long Tuyoq, Kecamatan Long Pahangai, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur.

Sejak itu, hubungan mereka terjalin erat. Yeq bahkan mengangkat Ati sebagai anak dan memberinya nama Dayak: Buaq. Sebuah kalimat dari Yeq yang terus terngiang di benak Ati saat ritual berlangsung: "Saya tidak meminta uang dan harta, tapi tengoklah kampung kami."

Bagi Ati, Yeq Lawing adalah sosok istimewa, figur perempuan Dayak dalam makna yang paling hakiki: kuat, anggun, dan penuh makna. Ia adalah generasi terakhir pewaris budaya telinga panjang yang tetap mempertahankan tradisi, meski modernisasi terus menggerus.

Yeq, yang lahir jauh di pedalaman dengan segala keterbatasan fasilitas dan pendidikan, memiliki kebiasaan langka: menulis catatan harian. Ia memegang peranan penting dalam tatanan masyarakat adat, ikut memberkati siklus hidup (circle of life) di kampungnya, dan memperjuangkan pengakuan tanah ulayat leluhur.

Kecerdasan, keteguhan hati, dan keluwesan pribadinya mengharumkan nama sukunya hingga ke mancanegara. Meskipun perjalanan hidup pribadinya jauh dari gemerlap, kisah hidup Yeq Lawing bagi Ati layak dijadikan teladan. Ia akan mengabadikan perjalanan ini dalam buku biografi bergaya esai foto setebal 200 halaman.

Kini, Ati Bachtiar terus melangkah dengan kamera, cinta pada budaya, dan semangat yang tak pernah padam untuk menjaga ingatan kolektif bangsa. Ia bukan hanya mengabadikan momen, tapi juga menghidupkan kembali emosi, budaya, dan cerita dalam setiap karyanya.

Di tengah arus zaman yang serba cepat, ia tetap teguh pada prinsip dan semangatnya, menjadikan fotografi sebagai jalan hidup dan bentuk pengabdian. Karyanya akan terus berbicara, bahkan ketika lensa telah disimpan.

Ati Bachtiar bersama keluarga tercinta. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary )
Ati Bachtiar bersama keluarga tercinta. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary )

Profesionalisme dan Pengakuan

Ati Bachtiar adalah fotografer profesional bersertifikat, dengan sejumlah peran dan pengakuan, antara lain Certified Photographer dari BNSP; Asesor sertifikasi bidang fotografi; EOS Creator Indonesia : Canon Indonesia(2021-2023); Asesor Kompetensi Fotografi : BNSP & Bekraf (2017-2020); Old Print Photography : TIM Jakarta (2019); serta Hybrid Photography : Humanika Artspace, Kemendikbud (2019).

Ia juga aktif di berbagai komunitas, seperti Perhimpunan Penjelajah Alam Jamadagni (sejak 1984); Komunitas Lubang Jarum Indonesia (2002); Asosiasi Profesi Fotografi Indonesia (2016); serta Women Certified Indonesia (2018).

Beberapa apresiasi atas karya dan dedikasi Ati: CSR Indonesia Awards Kategori Pelestari Budaya (2022); Duta Canon EOS M10 (2016); Srikandi Fotografi Indonesia versi Canon Indonesia (2016-2018); Foto Favorit : LensCulture Street Photography Award (2017); Nominator International Garuda Photo Contest (2012-2013); serta Sajian Utama National Geographic Indonesia, edisi April 2021: “Jati Diri Terakhir”.

Pameran Fotografi

Pameran Tunggal

2017: Telinga Panjang : Mengungkap yang Tersembunyi (Bandung, Yogyakarta, Bali, Samarinda, Makassar, Jakarta)

2024: Long Ears Through The Lens – Misi budaya di Museum Sophiahof, Belanda (Mei–Juni)

Pameran Bersama

2022: BARA API – Yogyakarta; EYE OF THE WORLD – Indonesia & Turki

2020: ASEDAS : Pameran Seni Digital Internasional

2019: SINKRONIK – Samarinda; REFLECTION – Bandung; Jalan Menuju Kreatif #9 – Yogyakarta

2016: Jagad Perempuan  Bandung

2015: Museum Konferensi Asia Afrika Bandung

 

 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Kin Sanubary atau artikel-artikel lain tentang seni

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//