• Kolom
  • CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #30: Kisah Para Mantri dan Dukun Beranak di Kampung Kami

CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #30: Kisah Para Mantri dan Dukun Beranak di Kampung Kami

Tentang para mantri kesehatan seperti Kang Uha, Uwa Idris, dan dukun beranak Ma Emoh yang terkenal tahun 80-an di Kampung Dobi, Bandung.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Ilustrasi. Puskesmas Tamblong, Bandung, 28 Juni 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

16 Juni 2025


BandungBergerak.idSalah satu masalah yang sering muncul di masyarakat adalah kesehatan. Di mana pun, kapan pun masalah kesehatan bisa menimpa. Hal itu pun menjadi salah satu masalah yang sering hadir di lingkungan Kampung Dobi atau Ciguriang zaman baheula. Ada kalanya penyakit tidak cukup diselesaikan dengan solusi obat warung. Ada beberapa nama yang sering terngiang di telinga penulis karena sering disebutkan oleh warga ketika mereka mengalami gangguan kesehatan atau memerlukan penanganan medis. Nama-nama tersebut setidaknya dikenal dalam skala lokal sekitar tahun 1980-an, di antaranya Kang Uha, Wa Idris, dan Ma Emoh.

Kang Uha

Lelaki bernama lengkap Suhanda ini menjadi salah satu nama yang sering disebutkan oleh warga Kampung Ciguriang. Jika ada warga yang sakit cukup lama, solusi pertama adalah memanggil Kang Uha -- begitu warga memanggilnya. Dia adalah seorang warga yang selalu sigap membantu warga lain yang memerlukan penanganan medis. Sebagai seorang mantri, Kang Uha mempunyai dasar ilmu untuk mengobati warga yang sakit. 

Kang Uha yang berasal dari Dayeuhkolot, menjadi andalan warga jika mengalami gangguan kesehatan, seperti demam, batuk, flu, sakit perut, ataupun sakit lainnya. Dan warga akan mendapatkan pelayanan kesehatan mulai dari pemeriksaan, pemberian obat ataupun penyuntikan. Selain itu Kang Uha juga bisa melayani warga yang akan mengkhitan anaknya.

Muhun, Na, Emah oge kapungkur mun teu enak badan nya ka kang Uha, sami Empa oge. Biasana mah mun batuk, pilek, panas tiris” [Iya, Na, Emah juga kalau sakit ga enak badan ya (berobat) ke Kang Uha, sama Empa juga (begitu). Biasanya kalau sakitnya batuk, pilek, meriang], cerita Emah, Ua Sutiasih, kakak ipar Ambu.

Menurut Emah pula, alasan warga banyak yang mengandalkan pengobatan pada Kang Uha karena Kang Uha mah ngalandonganna matih, pengobatannya manjur, mujarab. Karena itulah banyak warga yang berobat pada beliau ketika mengalami gangguan kesehatan jika obat warung sudah tak mempan lagi. Kang Uha menjadi solusi masalah kesehatan warga.

Karena Kang Uha berdinas sebagai seorag mantri di Rancabadak, atau sekarang dikenal dengan Rumah Sakit Hasan Sadikin, maka jika ada warga yang memerlukan perawatan lebih lanjut, beliau akan merujuknya ke Rancabadak, tentu saja dengan membantu mereka agar pelayanan lebih mudah dan penanganan bisa dilakukan lebih cepat. 

Kang Uha aktif memberikan pelayanan pada warga Ciguriang sejak tahun 1970-an sampai tahun 1980-an.

Wa Idris

Seorang mantri lain yang juga tinggal di Ciguriang dan menjadi andalan warga jika berobat adalah Uwa Idris. Kami sejak kecil dibiasakan memanggil uwa, walaupun tidak ada hubungan saudara dengan beliau, namun karena kedekatan yang begitu lama, maka kami sudah seperti satu keluarga besar. 

Uwa Idris juga seorang mantri yang bertugas di Puskesmas Pagarsih pada waktu itu. Seperti Kang Uha, Wa Idris membantu warga jika memerlukan penanganan untuk sakit seperti demam, flu, batuk, jangar atau sakit kepala, atau luka-luka karena kecelakaan kecil. Wa Idris juga memberikan obat-obatan oral dan obat suntik jika diperlukan. Keluarga kami juga sering berobat kepada Wa Idris selain kepada Kang Uha. Wa Idris memberikan pelayanan kesehatan pada warga Ciguriang pada tahun 1980 sampai1990-an 

Mungkin teman-teman pembaca bertanya-tanya, apa sih pekerjaan mantri itu?

Mantri adalah satu jabatan perawat senior yang sudah mampu membimbing beberapa perawat. Mantri bekerja membantu dokter pada pelayanan kesehatan, juga bertugas membantu masyarakat terutama di perdesaan. 

Peran Kang Uha dan Wa Idris sebagai seorang mantri tentu sangat besar dalam kehidupan masyarakat terutama warga Ciguriang. Hal ini terbukti pada saat penulis bertanya pada beberapa warga yang pernah tinggal lama di Kampung Ciguriang mereka masih mengingat bantuan-bantuan yang diberikan oleh para mantri tersebut.

Baca Juga: CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #28: Kaulinan Barudak, Media Bermain dan Bersosialisasi
CIGURIANG KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #29: Rosenlaan, Kebun Mawar yang Hilang Tanpa Jejak

Ma Emoh

Nama yang sering disebutkan warga selain Kang Uha dan Wa Idris adalah Ma Emoh atau Nini Emoh. Seorang perempuan luar biasa yang sangat berjasa membantu kelahiran puluhan bahkan mungkin ratusan bayi sebagai penerus generasi warga Kampung Ciguriang. Ya, Ma Emoh adalah seorang paraji, dukun beranak pada masanya, banyak ibu melahirkan dengan dibantu oleh Ma Emoh.

Ma Emoh adalah dukun beranak atau paraji yang sangat diandalkan karena keahliannya. Dalam menangani ibu hamil Ma Emoh selalu menyarankan pasiennya untuk memeriksa kehamilan setiap bulan pada bidan, dan selalu siaga membantu kelahiran warga tanpa mengenal waktu. Empat anak Ambu, termasuk penulis, lahir di rumah dengan bantuan Ma Emoh. Kakak saya yang lahir pukul satu malam di bulan puasa, tidak melunturkan semangat Ma Emoh untuk membantu proses kelahiran. Hanya saja setelah melahirkan saya, Ambu harus mendapat penanganan di rumah sakit karena saya lahir dengan ukuran jumbo. Melahirkan bayi perempuan seberat empat kilogram secara normal di rumah dengan bantuan paraji, membuat ibu saya harus mendapatkan perawatan lanjutan di rumah sakit karena kondisi kesehatan pascamelahirkan. 

Selain Ambu, Emah, ua saya, juga melahirkan tujuh orang putra-putri dengan bantuan Ma Emoh. Ambu dan Emah bercerita, selain membantu proses melahirkan, Ma Emoh juga melayani perawatan setelah melahirkan seperti ngurut, nyangsurkeun, ngubur santen, dan upacara puput puseur. Sebagai paraji atau indung beurang, Ma Emoh cukup komplet pelayanannya pada warga yang membutuhkan.

Ngurut adalah terapi pijat yang dilakukan beberapa minggu setelah melahirkan yang bermanfaat untuk membuat badan ibu relaks dan bugar, serta melancarkan produksi ASI; Nyangsurkeun: pemijatan tradisional untuk mengembalikan peranakan ke kondisi sebelum hamil dan melahirkan. Bisa juga untuk mengembalikan posisi rahim jika mengalami “turun peranakan”; Ngubur santen: mengubur ari-ari; Puput puseur: lepasnya tali pusar bayi.

Tiga nama itu, Kang Uha, Wa Idris, dan Ma Emoh ada dalam kenangan warga Kampung Ciguriang. Hampir semua warga pernah mendapatkan bantuan dan pelayanan mereka pada saat itu. Semoga apa yang telah dilakukan mereka menjadi catatan amal baik untuk mereka.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//