• HAM
  • Mememeriksa Kembali Jaminan Kebhinekaan dari Konstitusi, Menyikapi Intoleransi terhadap Warga Ahmadiyah di Banjar

Mememeriksa Kembali Jaminan Kebhinekaan dari Konstitusi, Menyikapi Intoleransi terhadap Warga Ahmadiyah di Banjar

Pembekuan jemaat Ahmadiyah di Kabupaten Banjar membuat Jawa Barat kembali ternoda kasus intoleran. Cermin kebijakan yang diskriminatif.

Ilustrasi intoleransi dan diskriminasi. Indonesia sebagai negara bhineka (beragam) belum terhindar dari praktik-praktik intoleransi dan diskriminasi terkait kebebasan beragama berkeyakinan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah17 Juni 2025


BandungBergerak.id - Kasus intoleran mencoreng kebebasan berekspresi dan beragama di Jawa Barat. Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Masjid Istiqomah, Kelurahan Hegarsari, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar mengalami diskiminasi berupa penyegelan, pembekuan, dan pelarangan aktivitas melalui keputusan Wali Kota Banjar 450/Kpts.115-Huk/2011.

Penyegelan segala aktivitas peribadatan di Masjid Istiqomah ini berawal dari Tim Penanganan JAI, 5 Juni 2025. Tim Penanganan JAI memperingatkan untuk tidak melakukan kegiatan peribadatan di bangunan yang telah disegel. Mereka bertindak dengan dalih menenggakkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri dan peraturan keputusan Wali Kota Banjar.

Ketua JAI Bandung Tengah Deni menyayangkan dengan praktik diskiminasi, intimidasi, dan peyelegelan masjid. Ia menilai, pemasangan spanduk pelarangan merupakan bentuk nyata pengkangan terhadap hak-hak dasar yang dijamin Undang Undang Dasar 1945, terutama Pasal 28E dan 29 mengenai kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Deni menerangkan, jemaat Ahmadiyah merupakan bagian dari Indonesia. Mereka lahir, besar, dan berkontribusi untuk bangsa melalui berbagai bidang meliputi pendidikan, sosial, kemanusiaan, sampai pembangunan masyarakat.

Menurutnya, Jemaat Ahmadiyah tidak ingin berkonflik. Deni menginginkan ruang aman untuk beribadah, berdiskusi, dan mejalani kehidupan sebagai warga negara yang setara. Mereka memegang prinsip utama terkait cinta untuk semua dan kebencian untuk tidak ada.

Ketua Jemaat Ahmadiyah Bandung Tengah ini menyayangkan dengan adanya pemahaman sempit dan tidak berdasar terhadap keberadaan Ahmadiyah. Dia meminta agar pemerintah pusat dan daerah bersikap adil, netral, dan melindungi semua golongan agama tanpa diskriminasi.

“Kami percaya bahwa keadilan dan toleransi adalah fondasi utama dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selama nilai-nilai tersebut dijaga dan ditegakkan, maka keberagaman tidak akan menjadi ancaman, melainkan kekayaan bangsa,” kata Deni, melalui pesan singkat pada BandungBergerak, Jumat, 13 Juni 2025.

Senada, Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Rafi Saiful Islam mengatakan pembekuan aktivitas JAI di Jabar merupakan tindakan diskriminatif yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Peraturan Wali Kota Banjar tahun 2011 dinilai tidak sah sebab bertentangan dengan konstitusi dan prinsip nondiskriminasi, khususnya Pasal 28E dan 29 UUD 1945.

LBH Bandung juga menegaskan keputusan tersebut melampaui kewenangan Wali Kota, mengingat SKB 3 Menteri (2008) tentang Ahmadiyah tidak melarang keberadaan JAI secara mutlak. Keputusan Wali Kota Banjar dinilai tidak didasarkan pada proses hukum yang adil, sehingga pelarangan ini dinilai sebagai pengulangan pelanggaran HAM dan penyalahgunaan wewenang pemerintah daerah.

Dalam temuannya di lapangan LBH Bandung juga mencatat penyegelan dan pelarangan aktivitas JAI di Banjar dilakukan secara sepihak oleh pemerintah daerah dan Tim Penanganan JAI. Rafi menjelaskan, tanpa proses hukum yang jelas, aparat malah melakukan tindakan sewenang-wenangan dan kebijakan ini diambil berdasarkan tekanan kelompok tertentu tanpa melibatkan dialog dengan komunitas JAI, sehingga menjadi pola diskriminasi yang sistematis.

LBH Bandung menilai Pemerintah Kota (Pemkot) Banjar telah melanggar prinsip-prinsip HAM baik kebebasan beragama sebagaimana diatur Pasal 18 Deklarasi HAM PBB, hak atas persamaan di depan hukum diatur Pasal 7 Deklarasi HAM PBB, dan prinsip nondiskriminasi seperti tertuang pada Pasal 2 ICCPR.

“Negara, melalui Pemkot Banjar telah gagal memenuhi kewajibannya sebagai pelindung HAM, justru menjadi pelaku pelanggaran melalui kebijakan yang bersifat diskriminatif, tidak proporsional, dan tanpa dasar hukum yang sah, sehingga menciptakan preseden berbahaya bagi kelompok lainnya,” kata Rafi, dihubungi BandungBergerak, Jumat, 13 Juni 2025.

Apabila negara terbukti aktif melanggar hak kebebasan beragama dan berkumpul, Rafi menyebut, pelanggaran tersebut dapat menimbulkan konsekuensi hukum serius baik di tingkat nasional maupun internasional. Pelanggaran di tingkat nasional dapat dibawa ke Pengadilan HAM atau PTUN untuk pembatalan kebijakan diskriminatif.

“Kasus pelarangan JAI di Banjar ini mencerminkan kemunduran serius dalam perlindungan kebebasan beragama di Indonesia, karena menunjukkan bagaimana negara—yang seharusnya menjadi penjamin hak konstitusional—justru aktif melakukan pembiaran bahkan terlibat dalam praktik diskriminasi sistematis terhadap JAI,” jelas Rafi.

Baca Juga: Membincangkan Ahmadiyah untuk Menumbuhkan Empati dan Mematahkan Bias
Jejak Kemanusiaan Orang-orang Muda Ahmadiyah Menyibak Kabut Diskriminasi

Tren Diskriminasi Agama Meningkat di Jawa Barat dan Pentingnya Menghapus Narasi Intoleran

Kekerasan dan pelarangan JAI di Kota Banjar menambah daftar panjang tren pelarangan kebebasan beragama selama lima tahun terakhir di Jawa Barat yang semakin sistematis dan mengkhawatirkan. Rafi menuturkan, tren peningkatkan tersebut dilatarbelakangi beberapa hal, antara lain kebijakan diskriminatif baik Peraturan Daerah (Perda) dan SK Pemda yang membatasi aktivitas kelompok tertentu. Contoh, pelarangan aktivitas JAI di Banjar dan sebelumnya, pelarangan dan pembubaran Jalsah Salanah di Kuningan tahun 2024.

Selain itu, aparat juga cenderung membiarkan kelompok intoleran tanpa penindakan hukum yang serius. Rafi menyebut, aparat kerap menjadi pelaku pelanggaran melalui kebijakan represif. “Tren ini menunjukkan kemunduran perlindungan HAM oleh negara dan mengancam prinsip Indonesia sebagai negara hukum yang pluralis,” jelas Rafi.

Aktivitas Keberagaman Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) Ucu Cintarkasih mengatakan, kasus intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama semakin meningkat. Meskipun ruang-ruang perjumpaan antaragama terus diupayakan. Tetapi tidak cukup untuk mengimbangi esklasi diskriminasi terhadap umat beragama di Jabar.

Ucu menegaskan, negara harus hadir dan memfasilitasi hak konstitusional warga negaranya, tanpa pengecualian. Masalahnya, yang hilang bukan hanya hak konstitusional tapi juga rasa kemanusiaan bersama.

Menurutnya, penutupan rumah ibadah dan pelarangan aktivitas keagamaan menciptakan ketakutan, segregasi, dan normalisasi kekerasan simbolik terhadap perbedaan. Imbasnya, perempuan dan anak kehilangan akses untuk bersosialisasi dan harus menghadapi beban tambahanm mulai dari jarak tempuh rumah ibadah yang makin jauh, ketidakamanan ruang publik, dan hak pendidikan untuk anak Ahmadiyah bersekolah.

Untuk mencegah kekerasan simbolik dan diskriminasi sistematis atas perbedaan yang selalu berulang, Jakatarub sering melakukan dialog lintas iman dengan pendekatan budaya dan memasukan nilai-nilai kearifan lokal di ruang-ruang informal. Ucu menyebut, dialog lintas iman bukan sekadar membahas teologis, namun membangun ruang aman, setara, dan manusiawi untuk siapa pun dengan latar belakang apapun.

Walaupun begitu, Ucu menyatakan, terdapat tantangan sudah sangat mengakar yaitu narasi intoleran. Narasi intoleran ini terdapat juga di ruang digital atau pun di kehidupan sehari-hari. Pemerintah daerah dan aparat malah bersikap pasif dan represif yang menjadi aktor pelanggeng diskriminasi. Padahal, negara seharusnya menjadi penengah.

“Ketika negara tidak hadir atau bahkan berpihak pada intoleransi, masyarakat sipil kehilangan pelindung yang seharusnya menjadi kewajiban pemangku kebijakan/negara melindungi, menghormati, memenuhi hak-hak sipil seluruh warga negaranya,” kata Ucu, dihubungi BandungBergerak, Sabtu, 14 Juni 2025.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//