Jejak Kemanusiaan Orang-orang Muda Ahmadiyah Menyibak Kabut Diskriminasi
Diskriminasi terhadap Ahmadiyah terus terjadi. Namun orang-orang mudanya tidak lantas berhenti mengupayakan kebaikan bagi sesama.
Penulis Tim Redaksi28 Mei 2025
BandungBergerak - Lahir di lingkungan keluarga Ahmadiyah, Yumna Tahira dikenalkan pada nilai-nilai yang dijunjung komunitas keagamaan ini sejak kecil. Termasuk motto mereka: “Cinta Kasih untuk Semua Orang, dan Tidak Ada Kebencian untuk Siapa Pun.” Kini di usianya yang ke-21 tahun, dia telah mendaftarkan diri sebagai donor kornea mata, selain rutin berdonor darah.
Yumna, yang saat ini masih berkuliah di Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, mengaku tak punya alasan khusus untuk mengikuti donor mata. Dia melakukannya semata-mata demi kemanusiaan. Dia merasa senang sebagian dari penggalan hidupnya didermakan untuk kemanusiaan.
“Aku selalu memaknai bahwa kita harus selalu menebarkan kebaikan dan cinta untuk semuanya tanpa kita harus menghakimi seseorang atau kelompok tertentu,” ucap Yumna, saat ditemui di salah satu kafe Jalan Lengkong Tengah, Bandung, Jumat, 2 Mei 2025.
Komunitas Ahmadiyah selama ini dikenal sebagai pelopor gerakan donor mata yang konsisten, di tengah kebutuhan tinggi akan donor kornea mata di Indonesia. Di Desa Tenjowaringin, Kabupaten Tasikmalaya, ribuan warga—kebanyakan anggota Jemaat Ahmadiyah—telah menyatakan kesediaannya menjadi pendonor mata. Sejak 2018, desa ini ditahbiskan menjadi Desa Siaga Donor Mata pertama di Indonesia.
Inisiatif donor mata lahir dari program nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sejak 2016. Dalam dua tahun pertama, Chapter Tasikmalaya mencatatkan 144 pendonor, mayoritas dari Desa Tenjowaringin (BandungBergerak, diakses Rabu, 21 Mei 2025.
Faktanya, kebutuhan kornea di Indonesia masih sangat besar. Lebih dari 3 juta orang mengalami kebutaan, dan lebih dari 1.000 pasien di Jawa Barat masih antre kornea. Namun, donor mata belum sepopuler donor darah. Jumlah pendonor secara nasional masih minim—hanya sekitar 14 ribu orang—sehingga Indonesia masih bergantung pada impor kornea dari luar negeri.
Di tengah situasi ini, Ahmadiyah hadir sebagai komunitas yang secara nyata mendorong solidaritas kemanusiaan lewat praktik donor mata, seperti yang dilakukan Yumna. Dan perempuan ini tidak sendirian. Banyak orang muda Ahmadiyah, tak terkecuali para perempuan, yang juga aktif dalam isu sosial dan kemanusiaan.
“Kita memang selalu diminta untuk ‘gak apa-apa, kok, kita harus aktif di luar juga’. [Jadi] Gak yang tertutup, gak yang harus selalu takut gitu, enggak. Justru kita harus membuktikan, bahwa kita juga bisa kok, apalagi perempuan gitu kan, [harus] aktif di mana pun,” tutur Yumna, ditingkahi alunan musik kafe.
Yumna sendiri aktif di program kegiatan kepemudaan perempuan Ahmadiyah atau yang dikenal sebagai Ahmadiyah Moslem Student Association for Women (AMSAW). Komunitas ini memiliki agenda kemanusiaan ‘Amshare’, sebuah program rutin berupa pengabdian masyarakat dalam bentuk bakti sosial.
“Kita pemuda-pemuda dari Ahmadiyah itu biasanya berkumpul ke panti asuhan, atau misalnya kita berbagi saat bulan puasa, bagi-bagi takjil,” kata Yumna.

Bersuara untuk Kelompok Rentan
Selain tercatat sebagai pendonor kornea mata, Sabahuddin, 24 tahun, salah satu orang muda Ahmadiyah, mencurahkan banyak waktunya bersama gerakan akar rumput. Ia sibuk mengikuti berbagai kegiatan mulai dari ranah pendidikan, HAM dan demokrasi, advokasi terhadap korban diskriminasi, hingga solidaritas kemanusiaan untuk Papua.
Sabah, demikian ia biasa disapa, meyakini bahwa suara kelompok-kelompok rentan mesti digaungkan di berbagai ruang, dari diskusi hingga aksi jalanan. Sebagai kaum Ahmadi yang juga kelompok rentan, ia menyadari banyak kelompok rentan lain di Indonesia yang hak-haknya terabaikan. Dan mereka harus dibela.
Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) menjadi organisasi pertama yang diikuti Sabah. Bermula dari ajakan rekannya untuk mengikuti kepanitiaan dalam acara yang digagas organisasi keberagaman tersebut, sampai sekarang ia masih aktif.
Sabah juga aktif dalam Jaringan Advokasi Jabar Youth. Pada tanggal 14-17 April 2025 lalu, ia ambil bagian dalam kegiatan Advokasi dan Pendampingan Orang Muda yang dihadiri teman-teman lintasiman dari berbagai jaringan. Sabah mengaku banyak belajar, terutama mengenai isu-isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang masih menjadi persoalan mendasar di Indonesia.
“Belajar juga apa itu KBB [Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan], [dan] kenapa kelompok rentan harus diperjuangkan,” ucapnya, ditemui di kawasan Batununggal, Selasa, 22 April 2025.
Di setiap kegiatan sosial, Sabah paling menyukai aksi-aksi konkret. Menurutnya, menyuarakan pemenuhan hak kelompok-kelompok rentan memerlukan pendekatan yang beragam.
“Gak cuma secara kultural, pun harus dilihat secara struktural. Jadi kalau di aksi-aksi tuh, kultural dapat dan struktural juga dapat,” ujarnya.
Sabah menyadari bahwa identitas keagamaannya termasuk kelompok rentan yang kerap mendapatkan diskriminasi dan intoleransi, meski ia tidak selalu membawa-bawa identitasnya ke berbagai aktivisme sosialnya. Ia berpendapat, kontroversi mengenai Ahmadiyah di luar sana disebabkan oleh pemaknaan, sementara praktik ibadah kelompoknya sama dengan muslim mayoritas.
Bersahabat di Perpustakaan W.R. Supratman
Di Jalan Pahlawan, Bandung, Masjid Mubarak berdiri anggun dengan cat dan ornamen yang didominasi warna putih, serta spanduk bertuliskan moto Ahmadiyah terpampang jelas. Tempat ibadah kaum Ahmadi ini terbilang cukup luas karena memiliki ruang keamanan, ruang rapat, perpustakaan, dan juga klinik pengobatan alternatif Homeopati yang diperuntukkan bagi masyarakat umum.
Di sela rinai hujan, Kamis, 24 April 2025, Ketua Cabang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Bandung Tengah Denny Muhammad Rizkyana dan Mubaligh Ahmadiyah Iskandar Ahmad Gumay menyambut hangat. Mereka mengajak berbincang di ruang Perpustakaan W.R. Supratman. Di atas meja terhampar pelbagai kudapan dan minuman.
Wage Rudolf Supratman diabadikan sebagai nama perpustakaan untuk mengenang jasa tokoh nasional berlatar Ahmadiyah itu, yang lagu ciptaannya, Indonesia Raya, selalu dikumandangkan di acara-acara resmi kenegaraan. Di sini tersimpan bermacam buku dan terjemahan Al-Qur'an dalam berbagai bahasa.
Tahun ini perjalanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia genap seratus tahun. Komunitas ini telah menjadi bagian dari masyarakat dengan turut mengambil peran dan menyumbang kontribusi sosial dan kemanusiaan di Nusantara di bawah motto “Love for All, Hatred for None”. Lingkup karya mereka merentang dari sektor kesehatan, lingkungan, kebencanaan, hingga pendidikan.
Denny menyampaikan, selain sebagai tempat ibadah, Masjid Mubarak menjadi pusat kegiatan sosial komunitas Ahmadi. Salah satunya, mengadakan serta memfasilitasi masyarakat untuk mendonorkan darah dan kornea mata. Kegiatan donor darah, yang dilakukan setiap tiga bulan sekali, sudah dimulai sejak 10 tahun lalu dengan menggandeng petugas Palang Merah Indonesia.
JAI Cabang Bandung Tengah menghadirkan klinik pengobatan alternatif Homeopati yang membuka praktik setiap Jumat. Masyarakat umum dari golongan mana pun bisa mengaksesnya secara gratis.
“Alopati itu pengobatan biasa ya. Jadi, ada dokter kita siapkan. Kemudian (ada) juga pengobatan Homeopati (bagi) yang sekiranya membutuhkan jika pengobatan Alopati ini sudah tidak mempan,” terang Denny.
Komunitas Ahmadiyah juga rutin melakukan bakti sosial berupa pembagian sembako setahun dua kali, yakni saat bulan Ramadan dan bulan Agustus, bertepatan dengan hari lahirnya kemerdekaan Indonesia. Dalam perayaan 17 Agutusan itu, digelar upacara bendera yang diikuti dengan lomba-lomba dan pembagian sembako. Sebanyak 100-200 paket bantuan diberikan kepada masyarakat sekitar yang membutuhkan.
Di sektor lingkungan, JAI Bandung memiliki program “Clean the City”, hasil adaptasi dari pemuda Ahmadiyah di Inggris yang banyak bergiat pada kebersihan lingkungan. Biasanya kegiatan digelar di Alun-alun Bandung.
JAI Bandung juga memiliki organisasi non-profit Humanity First yang fokus pada bencana. Mengutip buku Sumbangsih Ahmadiyah Bagi Negeri, Humanity First adalah organisasi yang didirikan oleh Mirza Tahir Ahmad, pemimpin dunia Jamaah Muslim Ahmadiyah saat itu. Maksud dan tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk meringankan penderitaan manusia baik fisik maupun mental, serta memberikan bantuan kemanusiaan tanpa memandang suku, ras, agama, maupun politik. Di Indonesia, Humanity First berdiri sejak tahun 2004 saat Aceh mengalami bencana tsunami.
Pelarangan Jalsah Salanah dan Potret Suram Pelanggaran KBB
Di sepanjang perjalanannya di negeri ini, jemaat Ahmadiyah masih harus menghadapi berbagai tindak intoleransi sampai hari ini. Bentuknya beragam, mulai dari pelarangan ibadah, penyegelan masjid, pembubaran pertemuan tahunan, hingga penyerangan terhadap tempat ibadah dan rumah warga. Tak hanya itu, diskriminasi administratif seperti penolakan pembuatan KTP, akta kelahiran, dan surat pindah domisili juga masih dialami.
Di Jawa Barat, larangan kegiatan tahunan Jalsah Salanah di Desa Manislor, Kuningan, akhir tahun 2024 lalu menandai episode baru dalam catatan panjang tindak intoleran terhadap komunitas ini. Pemerintah Kabupaten Kuningan, melalui surat tertanggal 4 dan 5 Desember 2024, secara resmi melarang acara tersebut dengan alasan menjaga kondusivitas wilayah. Larangan ini diteken oleh Penjabat Bupati dan Sekretaris Daerah, dan berlaku hanya dua hari setelah Presiden Prabowo menyuarakan pentingnya keberagaman dan kerukunan saat Milad ke-112 Muhammadiyah.
Langkah pemerintah daerah ini langsung menuai kecaman dari berbagai organisasi hak asasi manusia (HAM). Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut pelarangan tersebut sebagai bentuk represi atas kebebasan beragama yang dijamin konstitusi.
“Alasan menjaga kondusivitas tidak bisa diterima. Ini bentuk represi terhadap kemerdekaan beragama yang dijamin oleh Konstitusi,” tegas Usman.
Menurut Usman, tindakan seperti ini bukan hal baru. Diskriminasi terhadap Ahmadiyah telah berlangsung lama dalam bentuk pembubaran kegiatan, intimidasi, pengusiran, bahkan persekusi. Amnesty mendesak pemerintah pusat mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 2008 yang menjadi dasar tindak diskriminatif terhadap komunitas Ahmadiyah.
Setara Institute, lembaga riset yang fokus pada isu HAM dan kebebasan beragama, juga mengkritik keras tindakan Forkopimda Kuningan. Halili Hasan, Direktur Eksekutif Setara Institute, menyebut pelarangan ini sebagai pelanggaran konstitusi secara terang-terangan.
Menurut Setara Institute, JAI merupakan salah satu korban utama pelanggaran kebebasan beragama, terutama di Jawa Barat. Sepanjang pemantauan lembaga ini sejak 2007, terdapat 49 peristiwa pelanggaran terhadap JAI di provinsi dengan penduduk terbesar se-Indonesia tersebut.
Kecaman serupa datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama Formassi Jawa Barat, LBH Bandung, dan Jakatarub. Dalam pernyataannya, mereka menyebut pelarangan Jalsah Salanah serta ancaman sweeping dan pembongkaran lokasi acara sebagai “bentuk keterlibatan aktif negara dalam pelanggaran HAM”.
YLBHI menyebut Jalsah Salanah sebagai pertemuan legal, dilaksanakan di wilayah sendiri, dan tidak mengganggu pihak lain. Melarangnya berarti mengingkari UUD 1945 Pasal 29 dan Pasal 28E yang menjamin kebebasan beragama dan berkumpul. Penolakan dari kelompok masyarakat seharusnya ditengahi, bukan dijadikan alasan pembubaran.
Pelarangan Jalsah Salanah di Kuningan menegaskan satu hal: intoleransi masih menjadi persoalan serius yang dibiarkan hidup oleh negara. Alih-alih melindungi hak-hak warganya, pemerintah daerah justru tunduk pada tekanan kelompok intoleran. Dalam negara hukum, tindakan seperti ini bukan hanya inkonstitusional, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap janji perlindungan negara kepada seluruh rakyat Indonesia.
Intoleransi di Jawa Barat
Kasus pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) kelompok minoritas jemaat Ahmadiyah sejalan dengan laporan SETARA Institute terbaru. Dalam laporan bertajuk “Kondisi KBB 2024: Regresi di Tengah Transisi”, Jawa Barat kembali mencatat jumlah pelanggaran KBB tertinggi secara nasional.
Berdasarkan hasil pemantauan SETARA sepanjang tahun 2024, tercatat 38 peristiwa pelanggaran terjadi di provinsi ini, mengungguli lima provinsi lain dengan jumlah peristiwa tertinggi: Jawa Timur (34 peristiwa pelanggaran), DKI Jakarta (31 peristiwa pelanggaran), Sumatera Utara (29 peristiwa pelanggaran), Sulawesi Selatan (18 peristiwa pelanggaran), dan Banten (17 peristiwa pelanggaran).
Temuan ini menunjukkan bahwa tren pelanggaran KBB di Jawa Barat tidak mengalami perbaikan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2023, Jawa Barat juga menjadi wilayah dengan jumlah pelanggaran tertinggi. Konsistensi posisi Jawa Barat sebagai provinsi dengan catatan pelanggaran KBB tertinggi menandai persoalan sistemik dalam tata kelola keberagaman di tingkat lokal.
SETARA Institute mencatat total 260 peristiwa pelanggaran KBB secara nasional selama tahun 2024, dengan 402 tindakan yang menyertainya. Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 217 peristiwa dengan 329 tindakan. Dari total 402 tindakan tersebut, 159 dilakukan oleh aktor negara dan 243 oleh aktor non-negara.
Dinamika politik nasional, khususnya pelaksanaan Pemilihan Presiden dan anggota legislatif pada 14 Februari, serta Pilkada serentak pada 27 November, menjadi salah satu faktor yang mendorong peningkatan pelanggaran. Meskipun penggunaan politik identitas berbasis agama tidak terjadi secara masif seperti pada tahun-tahun sebelumnya (2014 dan 2019), temuan menunjukkan politisasi agama tetap muncul di sejumlah daerah.
Dalam klasifikasi pelanggaran, tindakan intoleransi yang berasal dari masyarakat mencapai 73 kasus, sementara tindakan diskriminatif oleh negara tercatat 50 kasus. Angka ini mengalami lonjakan dibandingkan tahun 2023, di mana intoleransi tercatat 26 kasus dan diskriminasi oleh negara 23 kasus.
Dari total 159 tindakan oleh aktor negara, sebagian besar berasal dari institusi pemerintah daerah dengan 50 tindakan, diikuti kepolisian (30), Satpol PP (21), serta masing-masing 10 tindakan oleh TNI dan Kejaksaan, dan 6 tindakan oleh Forkopimda.
Pelanggaran yang dilakukan oleh aktor non-negara juga menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Ormas keagamaan menjadi pelaku terbesar dengan 49 tindakan, diikuti oleh kelompok warga (40), individu warga (28), Majelis Ulama Indonesia (21), ormas umum dan individu (masing-masing 11), serta tokoh masyarakat (10).
Dalam isu penodaan agama, terjadi peningkatan tajam dari 15 kasus pada 2023 menjadi 42 kasus pada 2024. Dari angka tersebut, terdapat tujuh kasus pendakwaan dan tujuh kasus penetapan tersangka penodaan agama oleh aparat negara, serta 29 kasus pelaporan oleh masyarakat.
SETARA Institute juga menyorot gangguan terhadap pendirian dan operasionalisasi tempat ibadah. Meskipun jumlah gangguan menurun dari 65 kasus pada 2023 menjadi 42 kasus pada 2024, permasalahan ini belum terselesaikan secara sistemik. Dalam banyak kasus, kendala utama datang dari penerapan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, yang dinilai memiliki sembilan lokus diskriminasi baik dalam maksud maupun akibatnya.
SETARA Institute bersama tim peneliti mendorong pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah konkret. Pemerintahan memiliki “kesempatan strategis untuk membalikkan tren negatif tersebut melalui kepemimpinan yang menjadikan pemajuan KBB sebagai agenda prioritas”.

Dasar Hukum dan Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Praktik intoleran terhadap Ahmadiyah tentu bukan tanpa awal. Mubaligh Ahmadiyah Iskandar Ahmad Gumay menjelaskan, adanya Fatwa Majelis Ulama Indonesia di tahun 1980 membuat Ahmadiyah dianggap ‘keluar dari Islam’. Padahal, Ahmadiyah sendiri tidak memiliki perbedaan dalam tata cara beribadahnya.
“Fakta yang saya sampaikan, sejak [tahun] 1925 sampai 1980 itu tidak pernah ada dari pemerintah itu apalagi sampai sekarang, tidak ada pembekuan, pembubaran, atau pelarangan tidak ada. Ahmadiyah mah resmi. Sampai hari ini belum pernah dicabut badan hukumnya,” jelas Iskandar.
Realitas yang dialami warga Ahmadiyah berbeda dengan amanat konstitusi. Undang Undang Dasar 1945 menegaskan, Indonesia merupakan negara yang menghormati serta melindungi hak-hak dan kebebasan setiap warga negaranya, termasuk hak kebebasan berpendapat, berekspresi, berserikat, berkumpul, beragama, dan berkeyakinan. Negara menjamin perlindungan dan kebebasan tersebut tanpa membeda-bedakan suku, ras, kelompok atau golongan apapun itu. Sayangnya, landasan tertinggi tersebut kini sering kali tak diindahkan bahkan oleh negara sekalipun.
Dari sisi legalitas, Ahmadiyah merupakan organisasi resmi. Menurut Buku Dasar-Dasar Hukum & Legalitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia oleh H. Munasir Sidik, S.H, tanggal 13 Maret 1953 Menteri Kehakiman Republik Indonesia melalui Surat Keputusan No. JA.5/23/13 mengakui Perkumpulan atau Organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai sebuah badan hukum. Surat Keputusan Menteri Kehakiman tersebut dimuat dalam Tambahan Berita Negara RI tanggal 31 Maret 1953 Nomor 26.
Kelengkapan Organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia juga diakui telah memenuhi persyaratan ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, sehingga keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia dinyatakan sudah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku oleh Direktorat Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri dengan Surat Nomor 363.A/DPM/505/93.
Iskandar berpendapat, permasalahan dan pandangan negatif terhadap Ahmadiyah sering timbul di tengah masyarakat karena kurangnya ruang perjumpaan. Itulah kenapa JAI menginisiasi kajian-kajian dengan mengundang elemen masyarakat dari berbagai kalangan. Tidak hanya di Masjid Mubarak, kajian digelar juga di beberapa kampus di Bandung.
“Muhammadiyah kita undang, Nahdlatul Ulama kita undang, Syi’ah kita undang. Dan cukup menarik kita undang dari Katolik, Kristen,” tutur Iskandar.
Baca Juga: Melarang Jalsah Salanah Ahmadiyah di Kuningan, Negara Mengabaikan Amanat Konstitusi
Ujian Berbhineka bagi Jemaat Santa Odilia
KABAR DARI REDAKSI: Membuka Ruang Keberagaman Bersama Pers Mahasiswa dan Jurnalis Muda
Menagih Peran Negara
Direktur Utama LBH Bandung Heri Pramono mengatakan, warga Ahmadiyah merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang majemuk, bhineka. Mereka berhak mengapatkan pemenuhan hak-hak mereka.
“Dalam konteks Hak Asasi Manusia, Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, negara itu punya kewajiban dalam menghormati dan melindungi,” ujar Heri.
Menurut Heri, negara seharusnya bersikap pasif dalam menentukan agama setiap warga. Namun sebaliknya, negara harus hadir dalam memberikan pelayanan untuk semua warga negaranya, tak terkecuali kelompok minoritas rentan seperti Ahmadiyah.
“Pada konteks perlindungan, negara seharusnya hadir ketika kelompok tersebut ingin melakukan ekspresi terhadap agamanya tersebut. Misalnya secara ibadah atau perkumpulan-perkumpulan untuk beribadah,” terang Heri.
Faktanya, warga Ahmadiyah belum mendapatkan perlindungan seutuhnya dari negara. Terbaru, acara peringatan seabad Ahmadiyah bertajuk Jalsah Ahmadiyah yang dipusatkan di Kabupaten Kuningan, mendapat tindakan intoleran. Menurut Heri, negara seharusnya memberi perlindungan agar acara Jalsah Ahmadiyah terlaksana khidmat.
Heri juga menyinggung masih adanya regulasi diskriminatif di provinsi Jawa Barat dalam Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah. Termasuk juga dengan adanya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri terkait peringatan pada Ahmadiyah.
“Sangat disayangkan. Justru seharusnya negara punya kewajiban melindungi, ini malah menjadi aktor pelanggaran HAM dengan membiarkan [ada] peraturan tersebut,” ucapnya.
Bagaimana Memandang Ahmadiyah
Ucu Cintarsih, Koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub), menegaskan bahwa tindakan diskriminatif semacam ini merupakan pelanggaran terhadap hak dasar warga negara. Jakatarub kerap melakukan pendampingan terhadap komunitas Ahmadiyah, khususnya saat mereka menghadapi kekerasan atau pelanggaran hak beribadah.
“Permasalahan terbesar dalam kasus Ahmadiyah terletak pada intoleransi sebagian masyarakat, yang diperparah oleh kebijakan diskriminatif pemerintah,” ujar Ucu. Ia menambahkan bahwa anak-anak Ahmadiyah pun kerap mengalami diskriminasi di lingkungan pendidikan.
Menurut Ucu, banyak anggota Ahmadiyah merasa takut mengungkapkan identitas agamanya di ruang publik. “Kebanyakan yang aku kenal, teman-teman Ahmadiyah sering kali takut untuk bilang kalau mereka dari Ahmadiyah,” ungkapnya.
Ucu menekankan pentingnya ruang aman bagi komunitas Ahmadiyah agar dapat menyampaikan aspirasi mereka. Melalui dialog lintas iman dan advokasi isu kebebasan beragama, Jakatarub berupaya menghadirkan ruang inklusif di Bandung Raya.
Senada dengan Ucu, Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menegaskan bahwa Ahmadiyah memiliki hak konstitusional yang sama dengan warga negara lain. Dalam wawancara yang dilakukan melalui aplikasi WhatsApp, Halili menyatakan bahwa diskriminasi terhadap Ahmadiyah sering kali muncul akibat stigma, bukan karena dasar faktual.
Ia menyebut tiga langkah penting yang harus dilakukan masyarakat untuk menjamin hak Ahmadiyah: akseptasi, rekognisi, dan inklusi.
“Yang pertama adalah akseptasi, yaitu penerimaan yang tulus terhadap Ahmadiyah, meski ada ketidaksetujuan terhadap ajaran mereka,” jelas Halili. Ia menyebut konsep ini sebagai sublimated disapproval, yakni bentuk ketidaksetujuan yang tidak berujung pada kekerasan atau pelanggaran hak.
Langkah kedua adalah rekognisi. “Mereka adalah warga negara. Pajak mereka bayar. Tidak ada alasan untuk memperlakukan mereka berbeda,” tegas Halili.
Langkah terakhir dan terpenting adalah inklusi. Menurutnya, inklusi merupakan puncak dari sikap toleransi. “Ketika kita memperlakukan mereka secara manusiawi sebagai entitas insani, itulah bentuk toleransi yang sesungguhnya,” tutup Halili.
Perlindungan hak beragama adalah bagian dari kemanusiaan yang tidak boleh dinegosiasikan. “Cinta Kasih untuk Semua Orang, dan tidak Ada Kebencian untuk Siapa pun”, sebagaimana motto Ahmadiyah, merupakan nilai-nilai yang bisa dilakukan oleh siapa pun, terlebih oleh negara.
*Liputan ini merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dalam program pelatihan dan penerapan Jurnalisme Inklusif. Laporan ditulis Doni Setiawan & Alya Natasya dari LPM Jumpa Unpas