• Opini
  • Menghalangi Kerja Jurnalistik, Memotong Lidah Deliberasi Publik

Menghalangi Kerja Jurnalistik, Memotong Lidah Deliberasi Publik

Peran jurnalis menjadi sebuah penghubung, menjadi lidah deliberasi yang harus dijamin kebebasan dan keselamatan dalam pelaksanaan kerjanya

Fradipta Azzahra

Warga Biasa

Ilustrasi. Kebebasan pers maupun kebebasan berekspresi dijamin di negara demokrasi. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

18 Juni 2025


BandungBergerak.id – Demokrasi yang sehat, membutuhkan ruang bebas bernafas berupa ruang deliberasi publik. Di ruang tersebutlah masyarakat berkumpul secara langsung maupun melalui perwakilannya. Banyak hal terjadi dalam ruang tersebut, mulai dari pertukaran informasi, perdebatan, dan pertimbangan moral juga rasional lainnya.

Dalam sistem demokrasi, jurnalisme menjadi suatu hal yang penting untuk menghidupi ruang deliberasi, melalui persebaran informasi dan analisis yang diperlukan oleh penghuni ruangan tersebut. Maka dari itu, peran jurnalis menjadi sebuah penghubung, menjadi lidah deliberasi yang harus dijamin kebebasan dan keselamatan dalam pelaksanaan kerjanya. Negara menjamin kebebasan tersebut melalui undang-undang yang berlandaskan pada pancasila sila ke-4.

Rasanya kebebasan berpendapat di Indonesia pada tahun 2025 ini mulai dipertanyakan kembali keberadaannya. Bukan hanya rakyat secara umum, namun jurnalis yang berperan sebagai penghubung “lidah rakyat” turut kehilangan kondisi di mana kebebasan itu dijamin.  Dalam kurun waktu 3 bulan pertama pada 2025, setidaknya ada 6 kasus yang cukup serius mengenai intimidasi terhadap Jurnalis (Hukum Online.com).

Salah satu kasus yang ramai mendapat sorotan yaitu, teror yang dialami oleh Francisca Christy Rosana (wartawan Tempo). Sebagaimana dilaporkan LBH Pers dalam Siaran Pers 15 Mei 2025, Francisca mendapatkan teror berupa kiriman paket berisikan bangkai kepala babi di kediamannya. Tak lama dari kejadian tersebut, kantor tempat Francisca bekerja menerima teror kembali, berupa kiriman paket berisikan enam bangkai tikus tanpa kepala.

Tindakan teror tersebut merupakan upaya pemotongan lidah musyawarah publik. Insiden ini terjadi saat riuhnya penolakan masyarakat terhadap revisi UU TNI kala itu, momen krusial yang seharusnya melibatkan jurnalis sebagai media pertukaran informasi antara rakyat dan negara. Namun yang terjadi memperlihatkan kondisi di mana kebebasan mendapatkan informasi tersebut seolah-olah tidak ada. Padahal melalui pasal 28F UUD 1945 negara menjamin hak setiap orang untuk memperoleh dan menyampaikan informasi. Sebab tanpa informasi yang bebas dan akurat, musyawarah berubah menjadi monolog penguasa.

Baca Juga: Pengeroyokan Jurnalis Kompas dan Teror Bangkai Tikus ke Redaksi Tempo Menambah Suram Kebebasan Pers di Indonesia
Teror Kepala Babi dan Bangkai Tikus Menyerang Jurnalis Tempo, Peringatan Keras Bahwa Kebebasan Pers di Indonesia Berada di Tepi Jurang
Indeks Kebebasan Pers Indonesia Merosot di Era Kecerdasan Buatan, Jurnalis Menghadapi Kekerasan Fisik, Digital, dan Finansial

Pembungkaman Sistematik

Tindakan represif yang dialami Francisca merupakan pembungkaman sistematik, tidak hanya berdampak pada hilangnya kebebasan individu, namun komunitas pers secara menyeluruh. Survei SETARA Institute (Mei 2025) memaparkan bahwa dari 120 redaksi media menunjukkan 74 persen responden mengaku melakukan self-censorship pasca insiden intimidasi, terutama saat meliput isu militer dan korupsi. Self-censorship ini bukan hanya mengorbankan independensi media, tetapi juga mengkhianati amanat Sila ke-4 yang meniscayakan kebebasan informasi sebagai syarat musyawarah. Maka dari itu, kebebasan berpendapat dijamin oleh negara melalui Pancasila, dalam hal ini melalui sila ke-4. Dipertegas lewat UUD pasal 28 (3) yang mengatur kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,  menjadi dasar UU yang menjamin kebebasan semua masyarakat Indonesia.

Jika melihat pembatasan terhadap kerja jurnalistik dari sudut pandang sila ke-4 lebih dalam, intimidasi yang dilayangkan kepada para jurnalis merupakan penikaman berlapis pada sila ini. Seperti disinggung di awal, bahwa jurnalis merupakan lidah deliberasi yang menjembatani negara dan rakyatnya.

Sila ke-4 menempatkan permusyawaratan sebagai mekanisme sentral dalam pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Permusyawaratan tersebut dapat tercipta jika akses informasi yang didapat rakyat itu luas dan akurat.  Maka dari itu, sudah seharusnya perlindungan terhadap kerja-kerja jurnalis dan kebebasan rakyat semakin ditingkatkan. Selain itu pembungkaman terhadap jurnalis menjadikan asas kerakyatan yang ditawarkan tidak bernilai.

Perlindungan Negara

Negara sudah seharusnya memberikan perlindungan, bukan hanya menonton pembungkaman akan sebuah kebebasan. Permusyawaratan yang ada dalam sila ke empat seharusnya menjadi landasan, bagi negara menjamin kebebasan lewat undang-undang. Namun faktanya ancaman terhadap kebebasan berpendapat terus tumbuh subur. Padahal, UUD pasal 28E sudah menawarkan jaminan akan hak bersuara setiap warganya, tapi dalam UU Pers No.40/1999 hanya mengatur sanksi denda ringan, tanpa perlindungan fisik. Hal tersebut menjadi sebuah Implementation Gap, seolah-olah memberikan ruang bagi mereka yang mudah tersinggung dengan kritikan, melanggengkan aksi-aksi intimidasi tanpa adanya kompensasi.

Pemerintah sibuk mengampanyekan revolusi mental, tanpa memberantas mental teror yang menguasai ruang publik. Membuat aturan tanpa implementasi yang benar menjadi sebuah kebohongan dengan dalih legalitas. Kondisi tersebut membuat hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi dan hukum yang ada

Ironisnya, hukum malah dijadikan alat pemotong lidah deliberasi. Undang-undang yang seharusnya melindungi kebebasan berpendapat, berbalik menjadi alat untuk mengkriminalisasi suara-suara kritis rakyat melalui UU ITE. Menurut data LBH Pers 2025 mencatat 41 jurnalis dilaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik, karena kritis meliput kebijakan publik. Padahal seharusnya negara tegas melarang kriminalisasi kritik sebagai bentuk kebebasan berpendapat. Di titik ini negara gagal menepati janji konstitusionalnya. Insiden-insiden represi terhadap jurnalis tersebut, menjadikan Indonesia turun 16 peringkat dalam WPS (World Freedom Index) 2025, dengan peringkat 127 dari 180 negara.

Kepala babi yang diterima Fransisca menjadi metafora bangsa yang memilih menjadi bisu. Jika ancaman kebebasan dibalas “dimasak saja”, peran negara dalam melindungi masyarakatnya dipertanyakan. Kemerosotan indeks kebebasan pers dalam peringkat WPS bukan hanya sekadar angka statistik biasa, namun sebuah bukti ketidakberdayaan negara dalam menjamin hak masyarakatnya. Perlindungan terhadap jurnalis bukan sekadar formalitas hukum, tetapi keharusan moral dan konstitusional demi menjaga nyawa demokrasi itu sendiri.

Sudah saatnya negara tidak hanya menjanjikan kebebasan, tetapi benar-benar hadir menjaganya –bukan sebagai penonton, apalagi pelaku pembungkaman. Sebab tanpa kebebasan berpendapat, sila keempat Pancasila hanya akan menjadi jargon kosong yang kehilangan makna dalam praktik kenegaraan. Jika hari ini jurnalis dibungkam dan rakyat dipenjara hanya karena bersuara, maka esok hanya ada satu kata “kediktatoran”

 

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//