• Kolom
  • CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #31: Gajah Putih dan Badak Putih

CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #31: Gajah Putih dan Badak Putih

Di waktu tertentu banyak orang berkumpul berpakaian pangsi hitam. Mereka berlatih pencak silat di Kampung Dobi, Ciguriang. Disaksikan anak-anak.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Berlatih pencak silat di wanawisata Pasir Ipis, Desa Jayagiri, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, 5 September 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

23 Juni 2025


BandungBergerak.idDi masa kanak-kanak, salah satu hobi kami, bocah-bocah cucu Abah Ilim, adalah memanjat pohon jambu batu di dekat kandang domba, atau bermain di lahan di bawahnya yang cukup lapang buat kami. Lahan yang kami gunakan bermain itu memisahkan tempat tinggal kami dengan mata air Ciguriang. Salah satu hal yang kami ingat tentang pohon jambu batu itu adalah adanya ukiran pada batang pohon jambu batu. Ukiran itu berbentuk gambar kepala gajah, dengan tulisan Gajah Putih. Dan memang pernah ada Gajah Putih dan Badak Putih di Kampung Dobi.

Banyak Orang Berpangsi Hitam di Ciguriang

Antara tahun 1975 sampai sekitar tahun 1979, di Ciguriang banyak orang-orang berpakaian pangsi berwarna hitam-hitam. Mereka biasa berkumpul pada waktu-waktu tertentu. Ya, mereka berlatih pencak silat bersama. Ada laki-laki, perempuan, dewasa, remaja dan juga anak-anak berkumpul melakukan latihan pencak silat tepat di lahan yang cukup luas di bawah pohon jambu batu tersebut. Kurang lebih dua kali dalam seminggu, di sore hari, halaman rumah kami itu ramai, banyak orang yang berkumpul di sana, sebagian berlatih pencak silat, sebagian lagi sekadar menonton mereka yang melakukan latihan.

“Saya masih duduk di bangku sekolah dasar saat itu, kelas tiga,” kenang Nia, salah satu narasumber penulis, yang juga merupakan salah satu anggota perguruan silat tersebut. Nia menjadi salah satu dari sekian banyak anak-anak yang mengikuti latihan rutin pencak silat di Ciguriang.

Suasana sore yang sejuk di tengah kampung yang masih banyak pepohonan besar di sekelilingnya, suara gemercik air dari pancuran-pancuran di kolam cuci di seberang mata air, suara domba yang bersahutan, ayam dan bebek yang berkejaran, meningkahi orang yang antusias berlatih. Sesekali terdengar derai tawa menimpali canda tawa dan perbincangan mereka.

Perguruan silat yang saat itu melakukan latihan di Ciguriang bernama Badak Putih dan perguruan Gajah Putih.

Atos lami pisan Na, latihanna oge, pelatihna ge tos teu araya [Sudah lama sekali Na, latihannya, pelatihnya sudah tiada],” kata Pak Dodo, saya menyebutnya Mang Dodo, ketika saya bertanya tentang keterlibatannya pada latihan silat saat itu. Menurut Mang Dodo pula pelatih pada saat itu adalah Dayono atau A Yono, dari Gajah Putih dan Tubagus Mulya yang juga dipanggil Aa, dari perguruan Badak Putih. Mang Dodo adalah salah satu peserta yang juga mengikuti latihan bersama warga lainnya.  

Saya sendiri yang masih anak prasekolah, sedikit mengingat suasana seru saat itu. Merekam suasana menyenangkan, melihat aktivitas budaya yang ada di depan mata. Menikmati dan mengapresiasi dengan cara pandang anak kecil yang selalu tertarik dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Hal yang paling melekat dalam ingatan adalah ketika menonton pagelaran sederhana yang menampilkan para pesilat dengan iringan tabuhan gendang dan tiupan terompet.

Menyenangkan rasanya sambil bermain bersama teman-teman, menonton pagelaran silat, dengan angin sepoi-sepoi, terkadang berlari mengejar bebek, teriakan anak-anak, tawa khas bapak-bapak, aroma kopi, dan bertambah ramai oleh suara kendang yang ditabuh untuk mengiringi para pesilat; serta sesekali terdengar suara tepuk tangan dari penonton. Bahkan adik saya yang masih balita pun menikmati suasana meriah saat itu. Dia suka menirukan suara gendang dengan versinya sendiri, “Ba.. tu ting.. ba ba ba tu ting ba ba ti keung…!

Mengingat irama kendang dalam pagelaran pencak silat itu membawa ingatan pada sosok Pak Aris, seorang seniman yang dimiliki Kampung Ciguriang saat itu, seorang penabuh gendang yang terampil dan sering mengiringi para pesilat yang sedang tandang. Selain Mang Aris, penabuh kendang lainnya adalah Pak Soma.

Baca Juga: CIGURIANG KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #29: Rosenlaan, Kebun Mawar yang Hilang Tanpa Jejak
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #30: Kisah Para Mantri dan Dukun Beranak di Kampung Kami

Hiburan untuk Warga, Menguatkan Karakter Peserta

Ambu menyampaikan salah satu kenangannya tentang kegiatan pencak silat di Ciguriang ini.

Mbu masih ngaput pangsi pesenan nu silat, harita nuju ngandung Jajat, malah sempet nongton heula nu silat nu nganggo pangsi nu dikaput ku Mbu. Ngalahirkeun saatos nongton [Mbu masih (sempat) menjahit baju pangsi pesanan pesilat, saat itu sedang mengandung Jajat (adik bungsu penulis), malah sempat menunton dulu (penampilan) silat pesilat yang memakai baju pangsi yang dijahit Ambu. Melahirkan setelah selesai menonton,” kisahnya pada penulis.

Memang hadirnya kedua perkumpulan silat di kampung kami menjadi hiburan tersendiri untuk warga. Selain itu berkumpul secara berkala juga mengeratkan silaturahmi antarwarga dan memberikan kegiatan positif buat anak-anak juga warga yang berusia dewasa. Nia sebagai salah satu peserta pada saat itu mengungkapkan banyak hal yang didapatkan dari latihan silat yang ditekuninya.

Menurut Nia, dirinya mendapatkan banyak manfaat, antara lain menanamkan kedisiplinan, meningkatkan rasa percaya diri, melatih kekuatan fisik dan mental, dan tentu saja menguasai teknik bela diri. Selain itu kegiatan pencak silat di masa kanak-kanaknya itu meninggalkan kesan yang cukup mebekas padanya, keseruan karena bisa berlatih bersama teman sebaya, rasa bangga karena bisa menjadi anggota perkumpulan silat, juga bisa berlatih untuk ikut kejuaraan. Juga rasa senang karena akhirnya mempunyai banyak pengalaman dalam melewati tahapan-tahapan ketika mengikuti latihan silat. Tentu saja ada hal lain yang mungkin tidak disadari banyak anak yang menjadi peserta ataupun sekadar menjadi penonton pada saat itu, yaitu tumbuhnya rasa cinta pada budaya tradisional, khususnya budaya Sunda.

Menurut Nia pula, ada prestasi yang sempat ditorehkan salah seorang anak peserta silat, yaitu ketika mengikuti pertandingan di KONI Jawa Barat, dan mendapatkan juara. Bahkan hal itu sempat menjadi kebanggaan warga karena dimuat pada berita di salah satu surat kabar ternama di Jawa Barat.

Saat ini jejak fisik maraknya kegiatan pencak silat di kampung Ciguriang mungkin sudah hilang sama sekali. Termasuk pohon jambu batu yang pada batangnya terdapat ukiran simbol perguruan Gajah Putih, yang juga sudah musnah. Tapi hal itu tetap akan tercatat di dalam perjalanan perkembangan kampung Dobi Ciguriang.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//