“Fenomena Lupa” Paul Ricoeur, Aksi Kamisan, dan Memori Kolektif Bangsa tentang Pelanggaran HAM
Perspektif filosofis Paul Ricoeur mengeksplorasi bagaimana fenomena lupa menjadi musuh memori dan sejarah, menjadi ancaman bagi keseluruhan kondisi historis bangsa.

Eliezer Mei Kriswanto
Mahasiswa Program Pasca Sarjana Fakultas Filsafat Keilahian (Teologi) Universitas Kristen Duta Wacana (UKSW) Yogyakarta
24 Juni 2025
BandungBergerak.id – Sejarah tragedi kemanusiaan atau pelanggaran HAM di Indonesia yang sangat lekat dan tidak pernah lekang dari sejarah peradaban Indonesia. Pada tahun 2015, Setara Institute mencatat dua garis besar kasus pelanggaran HAM di masa lalu, pertama, kasus pelanggaran HAM yang tidak kunjung ditangani secara proses hukum dan yang, kedua, macetnya kasus pelanggaran HAM di Kejaksaan Agung dan Komnas HAM. Adapun kasus pelanggaran HAM yang dimaksudkan pada bagian, pertama, ialah seperti, kasus Marsinah, kasus Bulukumba, kasus dukun santet, peristiwa Malari, dan pembunuhan wartawan Udin agaknya membawa dampak bagi iklim demokrasi Indonesia. Sementara, menurut kajian yang dilakukan Andalas berjudul Aksi Kamisan: Lamenting Women, State Violence, and Human Security, kasus pelanggaran HAM pada bagian kedua, ialah seperti, peristiwa pembunuhan massal 1965, peristiwa Talangsari di Lampung 1989, tragedi penembakan mahasiswa Trisaksi 1989, tragedi Semanggi I 1998, tragedi Semanggi II 1999, kasus Wasior, kasus Wamena, kerusuhan Mei 1998.
Sepintas lalu, setelah pasca reformasi 1998, Indonesia diwarnai dengan berbagai gerakan-gerakan sosial, salah satunya adalah gerakan sosial Aksi Kamisan atau Aksi Damai Kamisan. Putra pada kajiannya yang berjudul Aktivisme Gerakan Aksi Kamisan Dalam Memperjuangkan Penyelesaian Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa dari hadirnya gerakan pada diri Aksi Kamisan yang adalah gerakan sosial. Putra mengutip tulisan Manalu yang menyebutkan kejadian ini sebagai tanda lahirnya era demokrasi. Maka dengan begitu, dapat dikatakan bahwa pada zaman pemerintahan rezim Soeharto tidak atau sangat minimnya iklim demokrasi di Indonesia. Sebab lahirnya gerakan-gerakan sosial (social movements) salah satunya adalah Aksi Kamisan lahir pasca reformasi atau pasca runtuhnya pemerintahan rezim Soeharto pada tahun 1998 silam.
Pada tulisan Mutiara Andalas sebelumnya, ia juga menyebutkan bahwa penelitian pada Aksi Kamisan masih sangat jarang dilakukan. Hal itu disebabkan karena tiga hal, pertama, sulitnya para peneliti untuk mensistematisasikan ratapan mereka. Yang dilatarbelakangi oleh bahasa yang mereka gunakan lebih “puitis” dan tidak terlalu “prosa” dengan ruang-ruang kosong di antaranya. Kedua, adalah melihat relevansi narasi mereka di Indonesia pasca otoriter, dan kesulitan yang ketiga ialah, mengaitkan Aksi Kamisan dengan isu global tentang ketidakamanan manusia (human security).
Baca Juga: Kasus Penculikan Bukan untuk Diputihkan, Menolak Narasi Melupakan Pelanggaran HAM
Aksi Kamisan Bandung ke-416: Menolak Gelar Pahlawan Suharto, Mengingat Pelanggaran-pelanggaran HAM di Masa Lalu
Bagaimana Proyek Pembuatan Sejarah Resmi Versi Pemerintah Berpotensi Menggerus Inklusivitas, Mengerdilkan Penulisan Sejarah Lokal, dan Menghilangkan Fakta Pelanggaran HAM
Fenomena Lupa
Sehubungan dengan ini, Paul Ricoeur dalam karyanya “History, Memory, Forgetting” menegaskan bahwa fenomena lupa memiliki cakupan yang sama dengan dua kelas besar fenomena yang berkaitan dengan masa lalu, yaitu memori dan sejarah. Ricoeur menekankan bahwa “there is forgetting wherever there had been a trace.” Dalam Aksi Kamisan, jejak-jejak testimoni dan ratapan para korban yang tidak terdokumentasikan dengan baik dalam penelitian akademik berpotensi menjadi “jejak yang hilang” akibat lupa. Kesulitan kedua yang diidentifikasi Andalas (melihat relevansi narasi mereka di Indonesia pasca otoriter) justru mencerminkan apa yang Ricoeur sebut sebagai tantangan untuk mempertahankan “faithfulness to the past” dalam hal memori. Ketika relevansi narasi korban dipertanyakan, maka sedang terjadi proses delegitimasi terhadap memori kolektif yang dapat berujung pada lupa yang sistematis. Aspek yang paling mengkhawatirkan adalah ketika Ricoeur juga menyatakan pada buku ini, bahwa lupa bukan hanya musuh dari memori dan sejarah, tetapi juga dapat menjadi “reserve of forgetting, which can be a resource for memory and for history”. Namun, dalam kasus Aksi Kamisan, kelangkaan penelitian justru tidak menciptakan “reserve of forgetting” yang produktif, melainkan mengarah pada apa yang dapat disebut sebagai “destructive forgetting”, yang bermakna sebuah lupa yang merusak karena tidak ada upaya sistematis untuk mendokumentasikan dan memahami fenomena tersebut
Hipotesis yang dapat dirumuskan adalah bahwa kelangkaan penelitian terhadap Aksi Kamisan, yang disebabkan oleh kesulitan metodologis dalam mensistematisasikan ratapan korban, kesulitan memahami relevansi narasi mereka dalam Indonesia pasca-otoriter, dan tantangan mengaitkannya dengan isu human security global, pada akhirnya akan berkontribusi pada pelenyapan memori kolektif tentang tragedi pelanggaran HAM di Indonesia. Ricoeur mengingatkan bahwa melupakan adalah lambang kerentanan kondisi sejarah secara keseluruhan. Dengan demikian, kelangkaan penelitian terhadap Aksi Kamisan bukan sekadar masalah akademik, tetapi merupakan ancaman terhadap keseluruhan kondisi historis bangsa Indonesia dalam mempertahankan memori kolektifnya tentang pelanggaran HAM. Kondisi ini menuntut urgensi untuk mengembangkan pendekatan metodologis yang mampu menangkap dimensi puitis dan testimonial dari Aksi Kamisan, sehingga dapat mencegah apa yang Ricoeur sebut sebagai “destruction of archives, of museums, of cities—those witnesses of past history.” Dalam hal ini, kehancuran testimoni dan memori kolektif para korban pelanggaran HAM yang tertuang dalam Aksi Kamisan.
Ungkapan ini didukung pula oleh Bagus Laksana dalam bukunya yang berjudul Jalan Melingkar: Menafsir Politik, Etika, dan Agama. Pada kajiannya, ia mengutip tulisan buku berjudul Paul Ricoeur’s Pedagogy of Pardon oleh Maria Duffy. Menurutnya, bagi Ricoeur, sejarah memang berada dalam tegangan amat mendasar antara pengingatan (memory) dan lupa (forgetting). Berhubungan dengan kompleksitas pengingatan dalam filsafat Paul Ricoeur, Maria Duffy dalam buku yang sama menulis bahwa dalam rangka mengantarkan setiap kita agar mengingat para korban dan membawa harapan masa depan agar tidak mengulangi atau mencegah perbuatan kelam di masa lalu. Duffy menulis bahwa dalam setiap bidang, pengingatan telah menjadi penting. Ada penghargaan yang lebih baik terhadap kewajiban untuk mengingat (devoir de memoire), antara lain oleh karena karya-karya Paul Ricoeur yang mengingatkan kita bahwa sejarah biasanya ditulis oleh para pemenang dan di atas penderitaan para korban. Berdasarkan “solidaritas ontologis” yang dimiliki oleh umat manusia dan juga karena adanya empati yang muncul dalam hati manusia terhadap penderitaan orang lain, kemanusiaan memiliki kewajiban etis untuk mengingat. Kita mengingat bukan jadi melankolis atau sentimental, tetapi agar kita tidak mengulang pelbagai ketidakadilan, penderitaan dan kegagalan di masa depan. Dengan demikian, pengingatan berfungsi untuk mencegah tindakan yang keliru di masa depan.
Pengingatan dalam Aksi Kamisan
Di sini tampaknya ada keterhubungan antara ungkapan Duffy mengenai pengingatan (memory) dalam diri Aksi Kamisan, yang dituturkan oleh seorang guru besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara dan anggota serikat Yesuit, Prof. Franz Magnis Suseno SJ, dalam artikel yang berjudul “Aksi Kamisan ke-815” yang dipublikasikan CNN pada tahun 2017 bahwa Aksi Kamisan hendak mengingat dan mengingatkan pemerintah agar tidak melupakan para aktivis HAM yang hilang/penghilangan paksa seperti pada tragedi 1998, nasib keluarga korban pelanggaran HAM yang tewas di tangan rakyat serta para korban yang hilang akibat penghilangan paksa struktural, atau dengan kata lain, bahwa Aksi Kamisan mengingat peristiwa pelanggaran HAM, dan para korban serta mengingatkan negara atau pemerintah. Lebih lanjut, Magnis Suseno SJ, menuturkan bahwa Aksi Kamisan tidak hanya hendak mengingatkan pemerintah dari pelbagai peristiwa sejarah pelanggaran HAM di masa lalu, namun juga hendak mengingatkan korban penting bagi kesembuhan hati bangsa Indonesia.
Pada akhirnya pemikiran filosofis Paul Ricoeur mengundang kita sebagai manusia untuk tidak kehilangan semangat dan tidak menyerah ketika berhadapan dengan berbagai kompleksitas persoalan kehidupan. Sebaliknya, kita ditantang untuk mengembangkan dimensi “poetic” (yaitu kemampuan untuk menciptakan makna baru dari pengalaman yang telah terfragmentasi dan rusak) yang senantiasa kreatif dalam menghadirkan sesuatu yang baru melalui upaya merajut fragmen-fragmen kehidupan menjadi satu kesatuan yang utuh, serta semakin terbuka dalam merangkul realitas dengan pemahaman yang lebih mendalam, meskipun harus melalui lintasan tragedi yang menyakitkan. Dengan demikian, kajian terhadap Aksi Kamisan melalui lensa pemikiran Paul Ricoeur tentang forgetting tidak hanya memberikan pemahaman akademik, tetapi juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga memori kolektif sebagai fondasi untuk membangun masa depan yang lebih berkeadilan. Upaya untuk mendokumentasikan dan memahami Aksi Kamisan secara komprehensif menjadi bagian dari tanggung jawab kolektif dalam mencegah pelenyapan memori tentang pelanggaran HAM, sekaligus mewujudkan apa yang Ricoeur sebut sebagai “faithfulness to the past” demi masa depan yang lebih baik.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB