• Opini
  • Kotanya yang Gagal, Kenapa Anak Sekolah yang “Dihukum”?

Kotanya yang Gagal, Kenapa Anak Sekolah yang “Dihukum”?

Kebijakan masuk sekolah pukul 06.30 di Jawa Barat tidak hanya berbahaya bagi perkembangan anak, tapi juga mengindikasikan ada permasalahan penataan kota yang gagal.

Nurulitha Andini Susetyo

Spesialis pengembangan perkotaan dan keterlibatan masyarakat, menekuni isu tata kelola, kebijakan publik, inklusi sosial, dan pembangunan berkelanjuta

Ilustrasi buruknya layanan transportasi publik. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

24 Juni 2025


BandungBergerak.id – Resmi sudah Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menetapkan bahwa anak sekolah mulai dari PAUD hingga SMA di Jawa Barat harus masuk sekolah mulai jam 06.30. Meski menuai banyak protes terutama dari orang tua, Gubernur Jabar rupanya tetap bergeming untuk tetap menjalankan kebijakan ini. Alasannya tentu untuk melatih kedisiplinan anak-anak sekolah sejak kecil. Program ini juga sejalan dengan upaya Gubernur Jabar ketika mengirim anak-anak “nakal” ke barak militer. Tujuannya sama, untuk kedisiplinan dan melatih mental anak-anak tersebut.

Tapi, benarkah demikian? Apakah dengan mewajibkan seluruh siswa datang lebih pagi bisa membuat siswa menjadi lebih disiplin? Apakah kedisiplinan anak dapat dibentuk dengan menyuruh mereka datang lebih pagi? Atau adakah hal lain yang lebih substansial dapat dilakukan untuk menjaga anak-anak usia sekolah kita?

Dari sisi kesehatan dan pendidikan usia dini, sudah banyak studi yang dilakukan bahwa masuk sekolah lebih pagi justru bersifat kontraproduktif terhadap pencapaian siswa di sekolah. Anak-anak sekolah merasa kelelahan, kurang istirahat, serta sangat berpengaruh terhadap kesehatan mental anak dan orang tua. Terlebih anak-anak usia dini yang masih banyak membutuhkan waktu untuk bermain dan bersosialisasi, tetapi mereka “dipaksa” agar bangun lebih pagi untuk berangkat ke sekolah.

Kebijakan masuk sekolah pukul 06.30 di Jawa Barat ini tidak hanya berbahaya bagi perkembangan anak-anak, tetapi juga mengindikasikan ada permasalahan penataan kota yang gagal.

Baca Juga: Setumpuk Persoalan Jawa Barat Menanti Kerja Serius Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan, dari Pemerataan Pendidikan hingga Pengangguran
Wayang Golek, Ki Dalang, Cepot, Kabayan, tapi Nyi Iteung-nya Mana Kang Dedi?
Permasalahan Mengelola Emosi dalam Kepemimpinan Gubernur Dedi Mulyadi

Kegagalan Penataan Kota

Yang pertama, kegagalan kota untuk menyediakan fasilitas pendidikan berkualitas yang merata, sehingga para orang tua berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah favorit meskipun jauh dari rumah. Meskipun sudah ada kebijakan zonasi sekolah di Jawa Barat, tetapi persebaran sekolah belum merata dan berkeadilan secara spasial. Masih terdapat 128 kecamatan di Jawa Barat yang belum memiliki SMA/SMK negeri. Di samping itu, masih adanya ketimpangan antara kota dan kabupaten di Jawa Barat terkait jumlah sekolah, yang umumnya masih terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Bandung, Bogor, dan Depok.

Yang kedua, kegagalan kota dalam menyediakan sarana transportasi publik yang andal, sehingga banyak dari orang tua yang menormalisasi long commute untuk pergi sekolah. Pergi sekolah di pagi hari buta selama lebih dari satu jam kerap kali ditemukan, terutama di kota-kota besar seperti di Bandung. Ketiadaan transportasi publik yang andal dan terjangkau semakin memperparah ketergantungan akan kendaraan pribadi sebagai moda utama untuk mengantar anak-anak sekolah. Meskipun tidak ada standar khusus, tapi beberapa ahli percaya bahwa waktu tempuh untuk melakukan sebuah perjalanan sekitar 30 menit adalah waktu yang ideal. Di negara maju seperti Inggris, waktu commuting yang diinginkan bahkan sekitar 16 menit saja. Riset dari China juga menunjukkan bahwa semakin lama waktu perjalanan yang ditempuh, maka akan semakin rendah pula kualitas hidupnya.

Yang ketiga, kegagalan kota dalam membangun fasilitas sosial bagi anak-anak dan pemuda seperti perpustakaan, taman, dan gelanggang olahraga. Tidak bisa dipungkiri bahwa anak-anak dan pemuda memiliki energi yang sangat besar untuk disalurkan. Mereka butuh fasilitas pendukung di kota-kota tempat mereka tinggal. Mereka butuh lapangan olahraga, taman, museum, dan berbagai ruang publik lainnya yang dapat mereka akses dengan mudah. Namun hal ini justru belum terjadi di Jawa Barat. Dengan penduduk hampir 50 juta jiwa dimana sepertiga penduduk berusia di bawah 20 tahun, jumlah perpustakaan yang tersedia hanya sebanyak 1.043 bangunan saja. Tentu saja kondisi perpustakaan tersebut berbeda-beda.

Yang keempat, kegagalan kota dalam menjamin hunian yang layak bagi keluarga, sehingga anak-anak sekolah bisa hidup dengan tenang dan fokus untuk belajar. Masih jamak ditemukan anak-anak yang tinggal di rumah yang kondisinya sudah lapuk dan kumuh, berada di lokasi yang rawan bencana atau penggusuran, atau tidak memiliki akses terhadap fasilitas air bersih dan sanitasi yang layak. Di Jawa Barat saja, secara rata-rata, masih terdapat sekitar 44 persen rumah tangga yang tinggal di rumah yang tidak layak untuk dihuni. Kondisi tersebut dapat berpengaruh terhadap prestasi siswa di sekolah karena rumah tidak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar.

Dan yang kelima adalah kegagalan kota dalam menyediakan kota yang menciptakan rasa aman bagi anak-anak dimanapun mereka berada untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan umurnya. Hak anak-anak atas kota yang layak huni dan aman sering diabaikan, sehingga kota tidak dirancang untuk memfasilitasi generasi muda ini untuk berkembang. Kota tidak lagi menjadi ruang aman untuk mereka berekspresi dan beraktivitas. Para orang tua juga cenderung menjadi lebih protektif terhadap anak-anaknya karena kota tidak lagi aman. Kota yang saat ini kita tinggali menjadi “arena pertempuran”, bahkan untuk anak-anak yang seharusnya bisa menikmati masa bermainnya dengan tenang.

Mengapa Anak yang Dihukum?

Tapi mengapa dari semua kegagalan kota tersebut, yang “dihukum” adalah anak-anak? Mewajibkan mereka masuk lebih pagi artinya menormalisasi waktu perjalanan panjang yang lebih awal dan membiarkan mereka hidup di tempat yang tidak layak. Mewajibkan anak-anak masuk sekolah di jam 06.30 justru hanya semakin membuktikan bahwa kota-kota kita tidak dirancang untuk beraktivitas sepagi itu. Kota-kota kita, terutama di Jawa Barat, tidak memiliki infrastruktur sosial, pendidikan, transportasi, dan kesehatan yang memadai untuk mendukung tumbuh kembang anak-anak di periode emas mereka.

Jadi, Pak Gubernur Jabar, mengapa justru anak-anak sekolah yang “dihukum”? Mengapa tidak membuat kebijakan yang lebih substansial dan terstruktur, terutama untuk membenahi kota-kota di Jawa Barat? Bukankah dulu slogan kampanye saat pemilihan Gubernur adalah “Kampung diurus, Kota ditata”? Mengapa sekarang kebijakan yang diambil sangat kontradiktif dengan slogan tersebut?

Kota pun bisa mendidik dan “mendisiplinkan” anak-anak usia sekolah jika itu yang diinginkan oleh Gubernur Jabar. Sebagaimana peribahasa yang sering terdengar: “Monkey see, monkey do. Children see, children do.” Anak-anak sejatinya adalah peniru ulung dari setiap kita orang dewasa yang ada di kehidupannya. Jika kota dibangun dengan mempertimbangkan kebutuhan berkembang anak-anak dan pemuda, termasuk untuk membangun budaya disiplin, tertib, dan teratur, maka anak-anak pun dapat dibentuk untuk memiliki karakter tersebut. Misalnya, jika pemerintah mengadakan sistem transportasi umum yang layak untuk mobilitas anak sekolah dan budaya disiplin mengantre itu diterapkan dengan tegas, maka anak-anak akan belajar dengan sendirinya dan terlatih untuk menjadi teratur. Jika pemerintah tegas menindak pelanggaran lalu lintas, maka anak-anak otomatis akan belajar untuk tetap mematuhi peraturan di jalan raya.

Kota yang ramah anak bukanlah kota yang “menghukum” anak usia sekolah untuk berangkat lebih pagi. Kota ramah anak adalah kota yang menjadi tempat aman anak untuk bisa bertumbuh kembang dengan baik, sehingga siap untuk menjadi generasi emas di masa mendatang.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//