• Narasi
  • Sebuah Refleksi tentang Sepi

Sebuah Refleksi tentang Sepi

Dunia modern menciptakan lebih banyak alat untuk menghindari sepi, tetapi semakin menenggelamkan kita di dalamnya.

Wahyu Agil Permana

Mahasiswa Sejarah Universitas Lampung

Ilustrasi. Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

25 Juni 2025


BandungBergerak.id – Sepi bukanlah lawan dari suara, tapi lawan dari keberadaan. Ia datang bukan karena dunia berhenti berbicara, melainkan karena diri tak lagi merasa hadir. Dalam sunyi yang menggema, manusia tiba-tiba sadar bahwa segala hiruk-pikuk hanya topeng yang dikenakan agar ia tak perlu menatap dirinya sendiri di cermin waktu.

Sepi bukan diam; ia lebih menyerupai gema dari dalam batin, sebuah gaung dari jurang yang tak berujung di dalam diri manusia.

Ada malam-malam di mana lampu menyala, tetapi hati redup. Di mana tubuh masih bergerak, tetapi jiwa sudah menetap dalam kehampaan. Dalam ruang-ruang yang penuh manusia pun, sepi bisa menjadi penguasa mutlak, menancapkan takhtanya dalam dada dan menggantungkan tanda tanya di langit-langit pikiran.

Kita bisa dikelilingi oleh tawa, tetapi tidak merasa disapa. Kita bisa duduk dalam percakapan, tetapi merasa seperti hantu yang hanya lewat di antara kata-kata.

Sepi bukan sekadar perasaan, ia adalah kondisi ontologis. Sebuah titik di mana manusia berhenti menjadi bagian dari apa pun kecuali kegelisahannya sendiri. Ia menjelma jadi dinding transparan yang memisahkan kita dari dunia –tak terlihat, tapi nyata.

Kita berbicara, tertawa, bahkan mencintai, tetapi seperti aktor dalam panggung absurd, kita menyadari bahwa yang kita sapa hanyalah bayangan. Bahkan cinta, jika tak benar-benar hadir, hanyalah proyeksi akan ketakutan kita terhadap kesendirian.

Keterasingan bukanlah kutukan, melainkan kodrat. Sebab, di tengah keramaian sekalipun, manusia tetaplah makhluk yang sendirian dalam dirinya. Ia bisa memeluk, tapi tak pernah sepenuhnya menjangkau. Ia bisa menyentuh, tapi tak benar-benar menyatu. Eksistensialisme mengajarkan bahwa kita dilahirkan tanpa tujuan, dilempar ke dunia tanpa petunjuk, dan dituntut untuk menciptakan makna dalam kekacauan. Tapi bagaimana mencipta jika alat-alat penciptaan kita –akal, rasa, iman– justru tercabik oleh kenyataan bahwa segala sesuatu bersifat fana?

Baca Juga: Puisi Sebagai Refleksi Pemikiran dan Perasaan dari Setiap Insan Manusia
Neoliberalisme dan Epidemi Kesepian
Refleksi Lebaran, Apa Salah Masyarakat Sipil?

Pencarian Makna

Di tengah upaya mencari makna, sepi menjadi guru yang kejam. Ia tak memberi jawaban, hanya memantulkan pertanyaan yang lebih dalam. Untuk apa aku ada? Apakah keberadaanku berarti bagi yang lain? Siapa aku jika semua nama dan peran dilucuti?

Di hadapan sepi, tidak ada gelar, tidak ada status sosial, tidak ada citra. Yang tersisa hanyalah kesadaran telanjang bahwa aku adalah aku—dan aku pun tak mengenalnya. Sepi memaksa kita berhadapan dengan absurditas: bahwa mungkin hidup memang tidak punya makna, dan justru dari situlah kita harus menciptakannya.

Ironisnya, dunia modern menciptakan lebih banyak alat untuk menghindari sepi, tetapi semakin menenggelamkan kita di dalamnya. Media sosial, hiburan instan, rutinitas sibuk –semuanya menjanjikan pelarian, tetapi tak pernah benar-benar memberi kehadiran. Kita tersambung oleh jaringan, tapi tercerabut dari makna. Kita saling melihat, tapi tak saling memahami.

Dan di ujung semua itu, kita pulang ke kamar masing-masing, duduk dalam diam yang nyaring. Kita hidup dalam zaman di mana bunyi menjadi pelindung dari kekosongan, dan notifikasi menjadi pengganti perjumpaan.

Namun mungkin, sepi tidak selalu musuh. Dalam bentuknya yang paling purba, ia adalah panggilan pulang. Sebuah undangan untuk kembali menengok sumur terdalam di dalam diri.

Di sana, dalam keheningan total, mungkin kita akan menemukan bahwa keberadaan bukanlah tentang pengakuan, tetapi tentang penghayatan. Bahwa menjadi bukanlah menonjol, tetapi menyatu –dengan waktu, dengan ruang, dengan ketakterhinggaan. Sepi bisa menjadi jalan pulang menuju kesadaran akan diri yang utuh, tak tergantung pada penilaian dan pandangan luar.

Maka, biarkan sepi duduk bersamamu. Jangan buru-buru mengusirnya dengan layar atau lagu. Dengarkan bisiknya. Rasakan napasnya. Biarkan ia menggali reruntuhan yang kau kubur rapat dalam dada. Sebab mungkin, dalam sunyi yang utuh, kita akan menemukan kembali hakikat menjadi manusia: rapuh, sadar, dan terus mencari, meski tak tahu akan ke mana. Dan bukankah pencarian itulah yang menjadikan kita hidup?

Dalam pencarian itu, sepi adalah medan perjumpaan –dengan yang ilahi, dengan sesama, dan dengan diri sendiri, yang selama ini mungkin paling asing di antara semua yang pernah kita temui.

Sepi adalah ruang yang, meskipun menyakitkan, mampu melahirkan pemahaman yang sejati. Di sana, kita belajar menjadi manusia yang tak hanya hadir, tetapi juga mengada.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//