• Narasi
  • Trilogi Harmoni Cirendeu: Ketahanan Pangan, Ekonomi Sirkular, dan Spiritualitas Agraria

Trilogi Harmoni Cirendeu: Ketahanan Pangan, Ekonomi Sirkular, dan Spiritualitas Agraria

Masyarakat Kampung Adat Cireundeu membuktikan bahwa pembangunan berkelanjutan bisa diwujudkan tanpa mengorbankan alam dan kearifan lokal.

Herwanto Weya, Dicky Yudha Ananda, Willfridus Demetrius Siga

Mahasiswa dan Dosen Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Kawasan Kampung Adat Cireundeu terdiri dari 4 hektare lahan untuk permukiman dan 60 hektare untuk lahan pertanian. Sebagian dari lahan pertanian itu digunakan untuk menanam singkong yang dijadikan makanan utama bagi warga adat. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

25 Juni 2025


BandungBergerak.id – “Setiap jengkal tanah adalah nafas, setiap benih yang ditabur adalah gairah, setiap panen adalah asa, dan setiap derap eksploitasi adalah  ekspresi kegundahan akan langkah yang perlahan berhenti.

Tanah dipersepsikan sebagai manifestasi sumber kehidupan yang harus dijaga. Di tengah ancaman krisis pangan global dan eksploitasi lingkungan yang masif, Masyarakat Kampung Adat Cireundeu tetap konsisten menawarkan sebuah penggalan narasi tentang ketahanan pangan. Sejak tahun 1918, komunitas ini telah mengganti konsumsi beras dengan singkong sebagai makanan pokok. Mereka meyakini bahwa praktik ini bukan sekedar tradisi, melainkan strategi cerdas untuk membangun kemandirian pangan. Keputusan ini berakar dari kesadaran kolektif akan kerentanan sistem pertanian berbasis beras, terutama di masa kolonial.

Pilihan untuk menanam lebih dari 10 varietas singkong di lahan kering dan pekarangan, menciptakan sistem pangan yang tangguh. Diversifikasi tanaman memastikan ketersediaan pangan sepanjang tahun, sementara ketahanan singkong di wilayah tropis dan ancaman kekeringan diyakini dapat mengatasi risiko gagal panen dan paceklik. Ketika Indonesia masih bergantung pada impor beras, Masyarakat Kampung Adat Cireundeu justru mencatat surplus pangan sebagai pembuktian bahwa kearifan lokal berkontribusi langsung pada program ketahanan pangan nasional.

Kemandirian pangan ini tidak terpisah dari praktik ekonomi sirkular yang berkelanjutan. Masyarakat Cireundeu mengadopsi prinsip agroekologi turun-temurun, menghindari pupuk kimia dan pestisida sintetis. Mereka mengandalkan pupuk organik dari kotoran ternak dan pestisida alami berbahan dasar bawang putih serta tembakau. Ini dibuktikan dengan mematenkan 3 resep pestisida alami dengan bahan dasar tembakau pada tahun 2022. Limbah singkong pun diolah menjadi biogas, guna memenuhi kebutuhan energi rumah tangga secara mandiri.

Hasil panen biasanya disimpan dalam “leuit”, lumbung komunal yang menjadi simbol solidaritas dan ketahanan kolektif. Dari lumbung ini, singkong diolah menjadi tepung mocaf bernilai tinggi, dijual ke pasar modern dengan harga yang lebih mahal dari tepung olahan. Giat koperasi adat mengelola pendapatan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur desa, serta mengurangi ketergantungan pada pihak eksternal. Meski mendapat tawaran investasi skala besar, Masyarakat Kampung Adat Cirendeu tetap konsisten menolak dengan berpegang pada prinsip bahwa tanah adalah warisan untuk generasi mendatang, bukan komoditas yang dapat dieksploitasi demi keuntungan sesaat. 

Baca Juga: Masyarakat Adat Sunda Mengarungi Arus Budaya Globalisasi
Kampung Adat Cireundeu Bertahan dalam Perubahan Zaman
Cerita di Balik Beras Singkong Kampung Adat Cirendeu

Spiritualitas sebagai Fondasi

Kesuksesan sistem pangan dan ekonomi ini tidak lepas dari spiritualitas agraria yang sudah mengakar dalam cara pandang dan cara hidup leluhur. Bagi Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, tanah adalah “ibu” yang menghidupi, bukan hanya sekadar sumber daya yang bisa diperdagangkan. Filosofi ini terwujud dalam ritual ngaruwat bumi, upacara syukur tahunan yang menempatkan hasil panen sebagai persembahan simbolis. Tanah ulayat dilarang diperjualbelikan, dan jika pemiliknya meninggal, lahannya dikembalikan ke komunitas untuk didistribusikan kembali. Konsep kepemilikan kolektif ini menjadi keutamaan dan benteng pertahanan dari alih fungsi lahan di tengah kepungan area industri dan proyek pemukiman. Ritual dan nilai-nilai sakral ini juga memperkuat kohesi sosial, menjadikan leuit bukan hanya tempat penyimpanan pangan, tetapi juga ruang musyawarah dan mengambil keputusan kolektif. 

Spiritualitas adalah fondasi adaptasi. Ritual ngaruwat bumi menjadi momen yang sangat sakral dengan menyelipkan doa untuk keseimbangan iklim dan keberlanjutan ekologi, sementara leuweung larangan (hutan terlarang) seluas 15 hektar dipertahankan sebagai laboratorium alami untuk mengelola ketahanan ekosistem. Filosofi teu meunang dilebur (tak boleh dihancurkan) tidak hanya berlaku untuk tanah, tetapi juga mencakup perlindungan atas warisan pengetahuan tradisional. Trilogi: ketahanan pangan, ekonomi sirkular, dan spiritualitas agraria mewakili 3 pilar kebajikan lokal yaitu: kemakmuran, kesejahteraan, dan keabadian.

Praktik baik yang dihidupi oleh Masyarakat Kampung Adat Cirendeu tentu tidak lepas dari tarik menarik peradaban. Perubahan iklim memicu musim kemarau yang lebih panjang, mengganggu siklus tanam. Secara sosial, Sebagian generasi muda lebih tertarik bekerja di kota, meski banyak yang kemudian kembali untuk meneruskan warisan tradisi ini. Status hukum tanah adat yang belum sepenuhnya diakui juga menjadi perjuangan tersendiri. Untuk tidak terus berkutat dengan tantangan, Masyarakat Kampung Adat Cireundeu berinovasi dengan membuat terobosan ekowisata edukatif, menggandeng peneliti untuk meningkatkan produktivitas dan produk olahan singkong, serta memanfaatkan peluang digitalisasi untuk memperluas pasar. 

Selain itu, peran perempuan Masyarakat Kampung Adat Cirendeu dalam sistem ketahanan pangan patut diapresiasi. Perempuan adat mengelola 70 persen proses produksi tepung mocaf, mulai dari fermentasi singkong hingga pengemasan. Kelompok perempuan juga mengelola bank benih lokal yang menyimpan 12 varietas singkong asli, dan mengatur pola konsumsi rumah tangga. Melalui Koperasi Rasi Mandiri, para perempuan menginisiasi UMKM yang mengembangkan inovasi pengolahan produk turunan singkong seperti cookies gluten-free dan berbagai jenis cookies serta kripik dari olahan singkong dengan menyasar peluang pasar alternatif pangan.

Kisah Cireundeu bukan sekadar romantisisme masyarakat adat, melainkan bukti bahwa pembangunan berkelanjutan bisa diwujudkan tanpa mengorbankan alam dan kearifan lokal. Mereka menolak dikotomi “tradisi vs modernitas” dengan mengadopsi teknologi tepat guna, seperti penggunaan mesin penggiling untuk pengolahan tepung mocaf. Dalam konteks global yang menargetkan pembangunan yang berkelanjutan dalam 17 pilar Sustainable Development Goals (SDGs), Masyarakat Kampung Adat Cireundeu telah mempraktikkan konsep keberlanjutan selama lebih dari seabad - melalui prinsip, nilai, dan aksi nyata.

Model yang dihidupi oleh Masyarakat Adat Cirendeu menjadi cermin bagi dunia yang kerap terjebak dalam paradigma eksploitatif, menunjukkan bahwa harmoni antara manusia, ekonomi, dan alam bukanlah utopia, tetapi keniscayaan yang bisa dilakukan bersama. Solusi krisis pangan bukan terletak pada industrialisasi pertanian, tetapi pada presisi kearifan lokal yang dipadukan dengan data dan teknologi. Bagi mereka, setiap gumpal tanah adalah arsip hidup, setiap batang singkong adalah manifesto perlawanan.

Alasan di balik bertahannya tradisi didasarkan pada tiga elemen yaitu, keterhubungan antara manusia, tanah, dan hutan (alam) yang terkoneksi secara langsung dengan spiritualitas Masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Kesadaran bahwa eksploitasi hutan dan kapitalisasi tanah bukan hanya akan berdampak pada sistem sosial mereka, tetapi juga merusak sistem mata pencaharian dan ekonomi. Artinya, keterhubungan spiritualitas dijaga melalui sistem sosial. Kerusakan alam dan praktik transaksi jual-beli tanah, jika tidak disikapi secara serius perlahan akan merusak sistem kepercayaan dan tradisi lokal. Sebab bagi mereka, spiritualitas diekspresikan dengan mempertahankan nilai dan norma adat yang diwariskan secara turun-temurun.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//