• Cerita
  • Cerita di Balik Beras Singkong Kampung Adat Cirendeu

Cerita di Balik Beras Singkong Kampung Adat Cirendeu

Warga Kampung Adat Cirendeu bertahan di saat harga beras bergejolak. Pernah didiskriminasi karena agama dan dituduh komunis.

Jajat (43 tahun), warga Kampung Adat Cirendeu, Kota Cimahi. Sabtu, 9 September 2023. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah16 September 2023


BandungBergerak.id - Warga Kampung Adat Cirendeu, Leuwigajah, Kota Cimahi sampai saat ini masih menjadikan beras singkong (rasi) sebagai makanan pokok. Beberapa penghargaan ketahanan pangan dari tingkat daerah hingga nasional disematkan pada masyarakat adat ini. Namun bagi mereka, rasi lebih dari sekadar ketahanan pangan tetapi juga kedaulatan pangan.

“Mulai dari budidaya, mengolah, dilakukan sendiri. Bahkan bisa dibilang daulat pangan,” kata Jajat (43 tahun), warga Kampung Adat Cirendeu, saat ditemui bandungbergerak.id, Sabtu, 9 September 2023.

Penghargaan ketahanan pangan diraih Kampung Adat Cireunceu mulai dari level wali kota, gubernur, menteri, sampai presiden. Pada 2008, mendapatkan penghargaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika Indonesia mengalami gejolak harga beras.

Pada 2008, pemerintah pusat berencana membuka sawah baru di Kalimantan. Tapi rencana ini gagal. Kampung Adat Cireundeu kemudian dilirik sebagai masyarakat adat yang memiliki makanan alternatif, yaitu rasi alias beras singkong. Bahwa ada alternatif lain selain nasi dari beras (Padi).

“Mulailah ada penghargaan dari Wali Kota, Gubernur, Menteri dugi Presidén. Akhirna Cirendeu dikenal ketahanan pangan dugi kiwari,” tutur Jajat.

Rasi sendiri merupakan sebutan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat. Sementara warga kampung adat menyebut rasi dengan istilah sangeun.

“Kenapa dinamakan Rasi? Agar mudah menyebutkannya, kalau orang di luar Jabar main ke sini susah untuk menyebutkannya (sangeun). Lalu ada istilah Indonesianya, rasi,” beber Jajat.

Seabad Makan Rasi

Lebih dari seabad masyarakat adat Cirendeu mengonsumsi rasi sebagai makanan pokok. Mereka teguh menjaga dan melestarikan warisan leluhur.

Dalam kurun waktu tersebut Kampung Adat Cireundeu tidak terpengaruh dengan harga beras di pasaran ketika sedang bergejolak. Jajat menuturkan awal mula masyarakat adat Cirendeu mengonsumsi rasi terkait dengan penjajahan.

Pada 1918, sesepuh Kampung Adat Cireundeu menitahkan warganya agar beralih makanan pokok. Tujuannya agar mereka merasa merdeka lahir batin. Mereka mulai mencoba berbagai sumber karbohidrat yang tumbuh di tanah mereka, seperti jagung, hanjeli, talas, dan lain-lain.

“Akhirnya disepakati naon ku sepuh teh masyarakat nurut. Tahun eta teu tuang sareng béas,” kata Jajat.

Titah leluhur tersebut dilakukan karena penjajah kolonial Belanda sangat menguasai pangan. Monopoli ini menyebabkan krisis pangan dan kelaparan. Sesepuh Kampung Adat Cirendeu mengajak warganya berhenti makan beras sebagai perlawanan terhadap politik kolonial.

Tahun demi tahun dilewati oleh masyarakat adat Cirendeu dengan tidak begitu mudah. Di tahun 1924, masyarakat adat menemukan teknologi dan cara mengolah singkong menjadi rasi. Penemu teknologi ini adalah seorang perempuan warga adat bernama Omah Asnanah. Jajat menyebut Omah Asnanah dengan panggilan ibu sepuh.  

“Ibu sepuh juga yang mensosialisasikan tak hanya ke masyarakat Cirendeu untuk tidak memakan beras nasi. Pada sosialisasi tersebut, ibu sepuh sering menyebutkan kata merdeka. Apabila sudah bisa menahan lapar, itu tandanya mereka akan merdeka,” cerita Jajat.

Pada tahun 1924 ibu sepuh sampai harus mengalami dipenjara karena kampanye makan nasi singkong yang dilakukannya. Ia bertamu kepada siapa pun untuk mengkampanyekan rasi dan kemerdekaan.

“Lamun urang bisa nendeun kersa nyai, tanda-tanda kemerdekaan teh dekeut. Akhirna, eta dianggap ku penjajahan mah bahaya, bisa ngangkat semangat kanggo ngalawan atau berjuang. Akhirna ditewak salami 100 dinten di Sukamiskin,” cerita Jajat.

Baca Juga: Kampung Adat Cireundeu Bertahan dalam Perubahan Zaman
Kampung Adat Cireundeu Mengajarkan Kita agar tidak Tergantung pada Beras
Nonton Film The Indigenous di Cireundeu, tentang Masyarakat Adat sebagai Korban Teori Ilmiah dan Dimarjinalkan Negara

Sampai saat ini setelah 78 tahun Indonesia merdeka, masyarakat adat Kampung Adat Cirendeu setia mengkonsumsi rasi sebegai bentuk menghargai apa yang diamanatkan oleh leluhur. Bagi Kampung Adat Cirendeu, kemerdekaan bukan berarti hidup bebas dari segala masalah. Bahkan lebih dari itu, sesepuh Cirendeu telah memprediksi pajamanan yang akan lebih berat dari zaman penjajahan.

“Jaga mah alam tempat cicing urang teh bakal herin ku tangtung,” demikian kata sesepuh Cireundeu, seperti dikatakan Jajat.

Maka dari itu, Kampung Adat Cirendeu tetap mengkonsumsi rasi. Leluhur telah berpesan agar makan rasi dilanjutkan generasi ke generasi Cireundeu.

“Kumargi situasi pajamanan teh bakal leuwih beurat ti jaman panjajahan. Di mana sawahna jadi perumahan, jadi pabrik, hal eta tos kaprédiksi ku sepuh-sepuh Cirendeu. Maka kabiasaan kanggo dituluykeun saatosna teh ibu sepuh dipasihan penghargaan ku Wedana Cimahi tahun 1964, Pahlawan Pangan,” lanjut Jajat.

Meski demikian, masyarakat adat Kampung Cireundeu tetap menaruh hormat pada padi atau beras. Buktinya, mereka tetap memuliakan Dewi Sri melalui upacara mindah-mindahkeun rasa pare atau padi agar kekuatan dari padi beralih ke rasi. Singkatnya, upacara ini meyakinkan warga bahwa rasi pun sama baiknya dengan padi sebagai makanan pokok. 

Wujud dari penghormatan mereka pada padi terlihat dari setiap rumah-rumah di Cireundeu selalu ada ikatan padi dan tangkainya yang digantung di ruang depan.

Prosesi doa bersama dalam rangkaian upacara Seren Taun di Kampung Adat Cireundeu. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Prosesi doa bersama dalam rangkaian upacara Seren Taun di Kampung Adat Cireundeu. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Lolos dari Krisis Pangan

Warga Kampung Adat Cireundeu memegang teguh pepatah leluhur atau karuhun mereka: “Teu nanaon teu boga huma ge asal bogapare. Teu nanaon teu boga pare ge asal boga beas. Teu nanaon teu boga beas ge asal bisa ngejo. Teu nanaon teu bisa ngejo ge asal bisa nyatu. Teu nanaon teu bisa nyatu  ge asal bisa hirup.”

Peniliti dari Insitut Seni Budaya (ISBI) Bandung Gibran Ajib Jabbaril mengungkapkan, tradisi mengkonsumsi rasi sebagai makanan pokok menjadi bukti kemandirian masyarakat adat Cirendeu yang tak bergantuk pada beras yang menjadi bahan pokok mayoritas masyarakat Indonesia.

“Semua dinamika yang terkait dengan beras seperti naiknya harga atau kelangkaan pasokan beras tidak terlalu berpengaruh bagi kehidupan mereka,” tulis Gibran Ajib Jabbaril, dalam artikel ilmiah berjudul: Ketahanan Hidup Masyarakat Kampung Adat Cirendeu Dalam Perspektif Antropologis (2008), diakses Jumat, 15 September 2023.

Konsumsi rasi ini, lanjut Jabbaril, bukti keberhasilan masyarakat adat Cirendeu mampu menjaga eksistensi dan independensinya dari intervensi kekuasaan politik. Bahkan di zaman Orde Baru sekalipun yang memberlakukan penyeragaman konsumsi beras, masyarakat Kampung Adat Cirendeu tetap mengkonsumsi nasi singkong.

“Warga Cireundeu luput dari penyeragaman konsumsi beras di era Orde Baru yang menafikan keberagaman pangan nusantara,” jelasnya.

Tak hanya itu, Kampung Adat Cirendeu telah lebih dulu mempraktikkan diversifikasi pangan yang belakangan digaungkan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada beras.

“Liberalisasi dan komersialisasi komoditi pangan yang cenderung mematikan daya beli konsumen dari kalangan miskin serta mengamputasi para produsen pangan lokal pun tidak dirasakan masyarakat Cireundeu,” tulis Jabbaril.

Masyarakat Adat Cireundeu terhindar dari bencana kelaparan seperti yang dialami oleh penduduk Papua dan Maluku yang menjadi korban dari kebijakan berasisasi Orde Baru yang menyalahi kondisi geografis.

Sekelompok anak laki-laki mengenakan pangsi dan ikat kepala mengikuti upacara Seren Taun di Kampung Adat Cireundeu. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Sekelompok anak laki-laki mengenakan pangsi dan ikat kepala mengikuti upacara Seren Taun di Kampung Adat Cireundeu. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Agama dan Tuduhan Komunis

Saat ini Kampung Adat Cireundeu dihuni sekitar 60 Kepala Keluarga (KK). Jumlah ini terbilang menyusut seiring dengan merangseknya budaya modern. Jajat mengatakan, dahulu masyarakat Kampung Adat Cireundeu adalah mayoritas yang tinggal di dua kampung. Kini sebaliknya, mereka menjadi minoritas.

Pada masa transisi dari Orde Lama ke Orde Baru, masyarakat Kampung Adat Cireundeu bahkan pernah dituduh komunis. Ini disebabkan karena mereka tak memeluk agama resmi negara.

“Cireundeu pernah dianggap komunis karena tidak memeluk agama resmi negara,” katanya.

Orde Baru menggunakan isu komunis untuk membabat lawan-lawan politiknya atau pihak yang dinilai mengancam rezim militer ini. Orde Baru menggulingkan pengaruh Orde Lama dengan isu komunisme. Di saat yang sama, masyarakat Kampung Adat Cireundeu berpihak pada perjuang nasionalis seperti Sukarno.

Bertahun-tahun masyarakat Kampung Adat Cireundeu mengalami diskriminasi dari negara. Mereka kesulitan mendapatkan adminstrasi kependudukan atau kewarganegaraan. Menurut Jajat, masih banyak warga kampung adat yang tak memiliki surat nikah negara.

“Seuseurna mah nikah adat jadi teu kacatet ku negara,” jelas Jajat.

Pada tahun 80-an, kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) masyarakat adat Cireundeu banyak yang dikosongkan, ditulis strip, atau ada yang dipaksa diisi dengan agama tertentu. Di era e-KTP, beberapa warga berani mengisi kolom agama dengan menyatakan kepercayaan mereka, yaitu Sunda Wiwitan, namun ada juga yang masih ditulis tanda strip.

“Tapi 2012 pas perekaman e-KTP anu wani mah, agamanya apa pak, Sunda Wiwitan, pokoknya saya tidak memeluk agama itu. Agama saya itu. Makanya ada sebagian masyarakat anu agamana strip,” kata Jajat.

Tuduhan aninisme dan sinkretisme kerap juga terstigma pada masyarakat Kampung Adat Cireundeu. Padahal bagi Jajat, kepercayaan masyarakat adat memiliki ritualnya sendiri sebagai bentuk komunikasi dengan leluhur atau karuhun.

Ritual dan upacara yang dilakukan oleh masyarakat adat merupakan bentuk penghargaan pada leluhur sebagaimana seorang anak mendoakan orangtuanya. “Nyebat nami leluhur, karuhun. Sebagai anak sholeh hargaan atuh kolot urang,” tutur Jajat.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//