Lagu Lama Kaset Kusut, Heroisme Kabur Militer
Orde Baru sukses mengubur peran intelektual sipil dalam catatan sejarah Indonesia. Tentara-polisi diberikan porsi lebih di kancah politik dan ekonomi.

Raihan Immaduddin
Warga Biasa
25 Juni 2025
BandungBergerak.id – Bukankah akan sangat menggairahkan ketika anak-anak sekolah dasar secara sadar dan penuh keyakinan menyebut tokoh-tokoh besar macam Soekarno, Hatta, Agus Salim, Kwee Bok Kwie, Semaun, Achmad Mochtar, Johannes Leimena, SK Trimurti, Pramudya, BJ Habibie, atau AA Navis sebagai idola dan model cita-citanya di masa mendatang? Tak lagi melulu berkata, “saya ingin jadi tentara, saya ingin jadi polisi. Saya ingin memiliki pistol dan laras panjang untuk menembaki penjahat.”
Tak ada cita-cita yang buruk apalagi hina. Semua pekerjaan mulia selama dikerjakan dengan kejujuran, kompetensi, dan niat baik. Petani tupoksinya mengelola tanah, nelayan mencari ikan, guru mendidik, pebisnis membangun usaha, agamawan berdakwah, teknisi mengurus mesin, tentara serta polisi menjaga pertahanan dan keamanan negara.
Menjadi masalah ketika peran-peran ini saling tumpang tindih dan dikerjakan oleh orang yang inkompeten. Semisal, petani yang dipaksa mengurus pasien di rumah sakit, agamawan yang berlenggak-lenggok di panggung, atau tentara-polisi yang ditugasi urusan padi, jagung, sawit, minyak, pagar laut, kuota haji, rental mobil, dan lain sebagainya. Tentu, kinerja mereka tidak akan maksimal sebagaimana fungsi dan peran seharusnya.
Ada baiknya mengenal sejauh mana kapasitas dan fungsi pekerjaan yang kita pilih. Jangan bertindak selalu bisa mengerjakan apa pun, sebab bisa jadi akan merugikan orang lain ataupun menimbulkan masalah baru. Tentara-polisi sudah seharusnya berada di barak. Tidak perlu repot-repot menjadi “alat bantu” penguasa-pengusaha menjalankan bisnis kotor, apalagi sampai harus menembak warga sipil, membakar rumah jurnalis, bersiaga di rumah bordil dan judi, serta menodongkan pistol ke demonstran.
Dari sederet kasus dan skandalnya, toh, menjadi tentara dan polisi masih begitu prestise di sebagian orang. "Belum jadi orang kalau belum masuk tentara atau polisi," katanya. Cukup menyebalkan memang. Namun, apa boleh buat, pikiran sempit orang tua hasil didikan Orde Baru tampak selalu begitu. Sering juga dikata, "Seorang abdi negara tidak mungkin hidup sengsara. Hidup mereka seratus persen untuk negara maka negara jugalah yang mesti menanggung kesejahteraan hidup mereka. Tanpa kehadirannya, tak mungkin negara Indonesia merdeka. Banyak-banyak berterima kasihlah kepada mereka agar bangsa ini senantiasa besar dan tidak lupa sejarah."
Bila orang tua kalian termasuk dalam bagian yang mengamini narasi di atas. Mulai sekarang, tolong, nasihati mereka baik-baik agar narasi tersebut tidak lagi menyebar ke generasi-generasi di bawahnya. Sebab kenyataannya, tentara-polisi (dalam konteks sebelum Reformasi 1998 disebut ABRI atau militer. Selanjutnya ditulis militer) tidaklah seheroik itu. Benar, militer memiliki peranan besar dalam memerdekakan bangsa ini. Namun, apakah klaim bahwa mereka lebih vital dan berjasa dibanding profesi lain sudah sesuai dengan fakta sejarah yang ada? Saya masih begitu sangsi akan hal itu.
Satu fakta sejarah yang sulit disangka adalah peran dan keterlibatan militer dalam membunuh 500 ribu sampai 3 juta komunis/simpatisan/terduga pasca 30 September 1965. Mengonsolidasikan mahasiswa, tokoh agama, dan organisasi kemasyarakatan untuk ikut serta dalam proyek genosida terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Narasi dibangun sedemikian rupa sehingga publik percaya bahwa komunis adalah musuh bersama. Tokoh-tokoh intelek-progresif diburu, diculik, diasingkan, dan ditembak mati tanpa proses pengadilan resmi. Nama dan jasa mereka tenggelam tanpa sisa
Perkawinan militer dengan kekuasaan telah nyata-nyata meninggalkan lubang trauma dan aib bagi sejarah bangsa; mengaburkan peran sipil, menormalisasi kekerasan, memonopoli kebenaran, menumbuhsuburkan korupsi, kolusi, nepotisme, dan pseudosains. Militer mengurus segala hal tentang sipil, mulai dari ideologi, pilihan politik, lauk dan pangan, buku bacaan, pertandingan olahraga, tata busana, sampai hubungan seksual suami-istri. Semuanya hal ditata dan diatur sesuai keinginan komandan besar. Rakyat tidak punya pilihan lain selain tunduk-patuh pada aturan-aturan ini. Sebab, pasal subversif dan peluru tajam mengintai di mana-mana.
Baca Juga: Di Atas Normal, Uraian Singkat Mengenai Darurat Militer
RUU TNI, Penguatan Citra Mesianistis Militer, dan Kenapa Kita Harus Menolaknya
Dari Taman Siswa ke Barak Militer, Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2025
Prestise Pekerjaan Bukan Soal Seragam
Masih menganggap militer sehebat dan se-power full itu? Coba pikirkan dan baca tulisan ini baik-baik.
Balik ke masa-masa awal kemerdekaan, data Kemendikbud menyebut 97 persen rakyat Indonesia pada tahun 1945 masih buta aksara. Lebih dari itu, orang-orang kolonial Belanda bahkan terbiasa menyamaratakan rakyat Indonesia dengan anjing (verboden voor honden en inlanders). Bayangkan, seorang manusia yang mampu berjalan tegak, punya volume otak maksimal, dan memiliki iman dan rasa malu, disamakan dengan anjing yang bisa menyalak, bersenggama, dan buang air kapan dan di mana saja. Betapa hinanya bangsa ini dahulu di mata para penjajah.
Lalu apa bagaimana respons para pendiri bangsa saat mendapat diskriminasi dan penghinaan sebesar itu? Mereka tidak serta-merta mengangkat senjata. Mereka tidak mendoktrin rakyat dengan semangat kosong. Mereka menulis, membaca, dan mendidik. Para pendiri bangsa kita melawan dengan cara mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka menyadari bahwa hanya lewat pendidikan, bangsa ini bisa bangkit dan diperhitungkan.
Sebagaimana diketahui, para pendiri bangsa kita merupakan penulis dan pembaca yang tekun. Beberapa bahkan mendirikan surat kabarnya sendiri. Mereka lihai dalam mengolah gagasan, pandai menyusun strategi dan propaganda, mengesankan dalam beretorika, jernih ketika berdiplomasi, serta tuntas saat mengorganisasi massa. Semua itu dikerjakan lewat kerja-kerja otak, bukan kekerasan, komando atasan, apalagi todongan laras panjang.
Semaun misalnya, di usia yang belum genap dua puluh tahun sudah memimpin salah satu aksi pemogokan buruh terbesar di Jawa. Lebih hebatnya lagi, ia menjadi ketua Sarekat Islam Semarang dengan jumlah anggota 20.000 saat berumur 19 tahun. Lain cerita dengan Achmad Mochtar. Achmad Mochtar menjadi pribumi pertama yang memimpin Lembaga Eijkman di tengah dominasi peneliti Belanda dan kentalnya stigma pribumi tidak lebih pintar dan berbudaya ketimbang monyet.
Ki Hajar Dewantara dan Agus Salim bahkan terang-terangan menyindir kolonialisme dengan begitu mengerikan. Sedangkan Pramudya, tulisannya meledak di mana-mana, mengharumkan nama Indonesia sampai filsuf masyhur, Jean-Paul Sartre, menghadiahkannya mesin tik agar tetap menulis walau di kamp pengasingan. Ya, ia diasingkan oleh rezim otoriter cum militer bernama Orde Baru. Kolonialisme model baru.
Orde Baru sukses mengubur peran intelektual sipil dalam catatan sejarah Indonesia. Banyak dari mereka yang meninggal dalam keadaan mengenaskan; dijauhkan dari keluarga, dituduh pengkhianat dan anti Tuhan, sampai membakar habis karya-karyanya. Jangankan diberi jaminan hari tua macam pensiunan militer, mendapat jaminan nama baik dan karyanya dibaca publik saja sangat sulit. Celakanya, cara dan pola Orde Baru mulai tampak kembali di rezim Prabowo Subianto. Tentara-polisi diberikan porsi lebih di kancah politik dan ekonomi. Kekerasan terjadi di mana-mana, jargon-jargon nasionalisme kopong menyeruak ke mana-mana, "Kita ini bangsa besar, kita ini bangsa yang patriotik, kita harus jadi warga yang nasionalis."
Entah apa yang dimaksud nasionalis menurut versinya. Namun, tentu bukan nasionalis dalam artian berani berpikir kritis, memperjuangkan keadilan, menghormati perbedaan, dan membangun masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Mitos heroisme dan patriotik ala militer harus dikikis dari narasi maupun percakapan publik hari ini. Anak-anak muda hari ini berhak tumbuh dalam bangsa yang menjunjung tinggi pikiran, bebas berimajinasi dan berekspresi. Bangsa yang meninggikan derajat guru, ilmuwan, penulis, seniman, petani, dan semua profesi yang membangun negara ini dengan keringat dan akal, bukan sekadar rasa takut.
Prestise pekerjaan bukan soal seragam, senjata, atau seberapa dekat dengan corong kekuasaan, melainkan tentang bagaimana seseorang warga negara mampu memberi manfaat dan pengaruh baik ke sesama. Menjadi tentara, baik. Menjadi Semaun dan Tan Malaka juga sama baiknya. Menjadi polisi, terpuji. Menjadi Ibu Soed, Fatmawati, dan Kartini, juga tak kalah gagah. Menjadi Pramoedya, Hatta, Hamka, ataupun Leimena adalah emas. Namun, menjadi tentara-polisi arogan, angkuh, anti kritik, hedon, dan penjilat, itu aib terbesar bangsa.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB