BEM SI Kerakyatan Jawa Barat Mengawal Uji Materi UU TNI, Juducial Review Merupakan Hak Konsitusional
BEM SI Kerakyatan Jawa Barat menolak tudingan Marcella Santoso yang mengklaim sebagai penggerak protes massal terhadap pemerintah.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah1 Juli 2025
BandungBergerak.id - Aksi protes terhadap revisi Undang Undang TNI kembali menggema di Kota Bandung, Senin, 30 Juni 2025. Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) SI Kerakyatan Jawa Barat menggruduk Gedung DPRD Jawa Barat dan menyatakan kemarahan terhadap pernyataan DPR RI dan pemerintah yang menyebut masyarakat atau aktivis tidak memiliki legal standing melakukan uji materi (judicial review) UU TNI. Berbagai poster dan spanduk nada-nada protes dibentangkan, mereka juga mencoret-coret ruas jalan, seperti “Cabut UU TNI”.
Koordinator Aksi BEM SI Kerakyatan Jabar Raka Algifari mengatakan, judicial review sebagai hak konsitusional masyarakat. Ketika suara rakyat dibungkam melalui jalur hukum, maka turun ke jalan menjadi ruang yang sah untuk perjuangan.
“Dari statement tersebut ini jadi kepentingan awal kita semua untuk memanaskan kembali UU TNI ini tidak selesai karena pada dasarnya DPR RI tidak melakukan transparansi terkait UU TNI dan tidak disebarluaskan,” kata Raka, kepada wartawan.
Proses revisi UU TNI selama ini dinilai terjadi secara diam-diam dan minim partisipasi publik. Raka mengatakan, sampai hari ini draft hasil revisi belum diterbitkan secara resmi di laman DPR RI. Menurutnya, aksi ini merupakan bentuk dukungan terhadap upaya judicial review lanjutan yang sedang dilakukan mahasiswa Unpad. Mahasiswa menyatakan perjuangan di ruang sidang harus mendapatkan pengawalan gerakan di jalan.
"Padahal ini menyangkut masa depan demokrasi sipil-militer. Tapi publik tidak diajak bicara, bahkan tidak diberi tahu. Mereka melawan di ruang yudisial, kami berdiri di barisan massa. Ini pemantik awal dari perlawanan yang lebih besar,” jelas Raka.
Dalam kesempatan aksi ini, mahasiswa dari BEM se-Jabar ini membantah atas tundingan aksi yang ditunggani atau dibiayi oleh pihak tertentu. Mereka turun ke jalan murni berasal dari hati nurani dan keresahan.
Raka menegaskan, aksi-aksi mahasiswa yang menolak kenaikan PPN 12 pesen, pagar laut, sampai Indonesia Gelap merupakan keresahan menumpuk. Mereka turun ke jalan bukan karena uang, melainkan disebabkan pemerintah tidak lagi berpihak kepada rakyat.
Mahasiswa menolak tudingan Marcella Santoso—tersangka dalam kasus perintangan penyidikan berkaitan dengan korupsi CPO, korupsi impor gula, dan perkata tata naiaga komoditas timah—yang turut disebut terlibat dalam aksi sebagai pihak yang mengklaim sebagai penggerak kekacauan nasional dan RUU TNI. Mahasiswa mengecam pernyataan Marsela.
“Kami tidak pernah kenal Marsela Santoso, kami tidak ada hubungan dengan beliau. Aksi ini bukan agenda pribadi siapa pun, ini murni dari rakyat dan untuk rakyat,” jelas Raka.
BEM se-Jawa Barat ini menyampaikan ultimatum. Hingga aksi selesai menjelang malam, tidak ada satu pun anggot DPRD Jabar yang menemui mereka dan memberikan tanggapan.
Mereka melemparkan kotoran ke gerbang DPRD Jabar sebagai aksi simbolik. Perwakilan lain dari BEM SI Kerakyatan Jabar Tubagus menyatakan, pemerintah hari ini kotor dan lalai dalam menyelesaikan masalah rakyat. Pelemparan kotoran ini sebagai bentuk perlawanan.
“Aksi simbolik pelemparan kotoran bahwa sebagai bentuk pemerintahan saat ini kotor dan lalai. Dalam menanggulangi masalah masyarakat. Kami setelah ini akan konsolidasi tentang aksi hari ini untuk menjadi semangat perjuangan bersama,” jelas Tubagus.
Setelah aksi, BEM se-Jabar akan menggelar kembali konsolidasi dan merancang ekslasi lebih luas. Mereka menyatakan, perjuangan tidak akan berhenti sampai tuntutan rakyat dipenuhi.
Baca Juga: Mahasiswa Unpad Menggugat UU TNI yang Dinilai Cacat Formil ke Mahkamah Konstitusi
RUU TNI, Penguatan Citra Mesianistis Militer, dan Kenapa Kita Harus Menolaknya
Koalisi Masyarakat Sipil Membantah Pernyataan DPR RI
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menggelar sidang lanjutan terhadap Pekara Uji Formil Undang-Undang Nomor 3 tahun 2025 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dalam sidang ini digelar agenda mendengarkan keterangan DPR RI dan Pemerintah untuk perkara nomor 45, 56, 69,75, dan 81.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik, pernyataan DPR RI yang menyatakan masyarakat sipil tidak memiliki legal standing mencerminkan sikap antidemokratis. Koalisi menyebut, warga negara memiliki hak konstitusional untuk mengawal dan mengoreksi pembentukan undang-undang, terutama soal TNI yang berdampak luas.
Keterlibatan masyarakat sipil penting dalam reformasi militer. Dalam keterangan resminya, KontraS mengingatkan bahwa militer memiliki sejarah panjang kekerasan serta pelanggaran HAM di Indonesia. Oleh sebab itu, publik harus dilibatkan secara bermakna dalam setiap proses legislasi.
KontraS juga meminta Mahkamah Konstitusi segera mengabulkan permohonan provisi untuk menunda keberlakuan UU TNI dan mendesak DPR RI serta pemerintah menyerahkan seluruh dokumen pembahasan ke MK sesuai perintah majelis hakim.
“Kami mengajukan Permohonan Provisi yang pada intinya meminta MK memerintahkan Pemerintah untuk tidak mengeluarkan kebijakan dan menunda keberlakuan Revisi UU TNI. Sayangnya, meskipun sidang sudah memasuki agenda Sidang Pemeriksaan, tetapi MK belum pula mengeluarkan Putusan Sela terhadap permohonan provisi yang telah diajukan dalam permohonan a quo,” kata Koalisi, sebagaimana dikutip Selasa, 1 Juli 2025.
Koalisi meminta Presiden dan DPR RI taat atas perintah Mahkamah Konstitusi untuk menyerahkan seluruh informasi dan dokumen yang menunjukkan ada atau tidaknya partisipasi publik yang bermakna dalam setiap tahapan pembentukan Revisi UU TNI.
“Hal ini juga penting karena mendorong keterbukaan dokumen yang selama proses pembahasan tidak dapat diakses oleh publik,” kata koalisi.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB