• Kolom
  • CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #32: Ngarit dan Anjing

CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #32: Ngarit dan Anjing

Kami sering diajak ngarit, mencari rumput untuk domba-domba kami di Kampung Dobi, Ciguriang. Di rumah kami juga memelihara beberapa anjing.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Ilustrasi. Warga mencari rumput di area pesawahan Rancasagetan, Cisaranten Kidul, Selasa, 20 Februari 2024. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

2 Juli 2025


BandungBergerak.idDalam beberapa tulisan yang lalu penulis beberapa kali membahas banyaknya hewan peliharaan di rumah kami. Dan hal itu sering menjadi pembahasan jika ada acara berkumpul keluarga besar Abah Ilim. Karena setelah kami dewasa hal-hal yang terjadi pada masa kecil ternyata bisa menjadi kenangan yang memantik tawa, walaupun pada saat itu kami mungkin menjadi anak kecil yang menangisi apa yang terjadi.

Abah Ilim memelihara banyak domba yang kandangnya ada di halaman rumah, terhalang barisan tiang jemuran untuk menunjang aktivitas dobi. Domba-domba itu juga menjadi teman kecil kami. Terkadang mereka dilibatkan dalam permainan kami, atau menjadi alat kami untuk menyembunyikan tubuh kecil kami ketika kami bermain ucing sumput. Karena memiliki domba-domba inilah akhirnya kami banyak mempelajari dan mendapatkan ilmu baru.

Ngarit 

Salah satu konsekuensi memiliki hewan ternak adalah menyediakan pakan. Bersyukur pada saat itu masih banyak tembat-tempat berumput yang bisa dimanfaatkan untuk pakan domba-domba kami. Abah dan Ma Abah sering mengajak cucu-cucunya untuk ikut ngarit, menyabit rumput untuk pakan ini.

Dengan carangka yang cukup besar Abah dan Ma Abah berangkat menuju tegalan yang masih berumput. Untuk menahan panas matahari Abah memakai dudukuy (topi kain) sedangkan Ma Abah menggunakan samping yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai topi. Kami sangat senang jika diajak ngarit karena jarang-jarang bisa bermain sejauh itu. Jadi itu menjadi satu kesempatan untuk kami mengeksplor tempat yang tak biasa menjadi tempat kami bermain. Tempat kami mencari rumput antara lain adalah di Wisma Penka, Jalan Kebonkawung, area Sate Kardjan, Gang Yakin, dan tentu saja Kerkof atau GOR Pajajaran. Dengan senang hati kami cucu-cucu mereka akan mengekor di belakang Abah dan Ma Abah.

“Ngiring wae, resep da mun ameng nyalira mah teu kenging tebih teuing bisi aya culik

[Selalu ikut, senang, karena kalau main sendiri gak diizinkan, takut ada culik],” kenang Jajat, salah satu cucu Abah Ilim. “Di tempat ngarit sok diajarkeun naon wae jukut atau dadaunan nu tiasa janten parab domba [Di tempat menyabit rumput suka diajarkan apa saja rumput atau dedaunan yang bisa jadi pakan domba],” tambahnya.

Lalu Jajat melanjutkan cerita, "(Bari ngantosan) sok ngadu kembang jukut dibeulit-beulit atau ngadu kembang bayem duri, nganggo karet kana paku, terus digésrék ku batu pakuna, supaya kembang bayemna maju, diadu [Sambil menunggu suka main adu bunga rumput dililit-lilit, atau mengadu bunga bayam duri, pake karet dipasang ke paku, lalu digosok pakunya supaya pakunya maju, lalu diadu].”

Atau, sambil istirahat Ma Abah memungut daun dadap kering, atau daun apa pun yang ukurannya lebar, lalu diberi rangka dan tali menjadi sebuah layangan, supaya cucu-cucu mereka anteng tidak berkeliaran terlalu jauh dan mudah diawasi.

“Ingat waktu itu suka main we guling -guling di rumput, pura-pura jadi macan, 'Ne (Ma Abah) mah suka bawa boboko kadang kalo nemu sayur atau lalap yang bisa dimasak suka dimasukin ke situ," sambil tertawa, Hadi, cucu yang lain mengingat kembali tingkahnya waktu itu. Dan penulis yang merupakan cucu perempuan, lebih barkhayal menjadi seorang Laura Ingalls Wilder, ketimbang berpura-pura menjadi macan.

"Seru, menyenangkan, ngangenin, mungkin sekarang mah istilahnya quality time sama nenek. Meskipun tidak banyak interaksi dan pastinya ga banyak bantu juga tapi pasti menguntungkan semua orang, khususnya secara mental," ujar Hadi lagi, tentang kesannya ikut Ma Abah mencari rumput. Ketika waktu pulang tiba, biasanya sambil pulang Ma Abah menjemput kulit-kulit pisang dari penjual gorengan yang dilalui, kulit pisang itu tentu saja akan dimanfaatkan sebagai pakan domba juga. Buat kami, cucu-cucu mereka, ini adalah pengalaman masa kecil yang indah.

Baca Juga: CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #30: Kisah Para Mantri dan Dukun Beranak di Kampung Kami
CIGURIANG, KAMPUNG DOBI DALAM INGATAN #31: Gajah Putih dan Badak Putih

Jimbon Bersaudara dan Kawan-kawannya 

Yang juga tidak bisa kami lupakan dari masa kecil kami adalah serombongan anjing kampung yang kami pelihara, Bonni, Jimbon, Bebi, Boy, Rengkod, dan entah siapa lagi, kami lupa, yang jelas kurang lebih ada 7-8 ekor anjing yang pernah kami pelihara, dan paling banyak 5 dalam waktu bersamaan. Mereka juga menemani kami bermain dan bertumbuh. Anjing-anjing itu menemani kami sampai sekitar tahun 2000.

Masing-masing mempunyai ceritanya sendiri, misalnya saja si Bonni yang menemani bibi saya berlari "marathon" di acara Agustusan, yang membuat peserta lain menyingkir karena takut. Alhasil, bibi saat itu mendapat juara kesatu. Mungkin selain karena ditemani si Bonni, bibi juga dalam kondisi yang memang sudah siap menang. Yang jelas keikutsertaan Bonni waktu itu untuk mengawal bibi sepertinya punya andil juga.

Generasi berikutnya adalah Jimbon dan Rengkod.  Entah seperti apa hubungannya, tak mengerti juga apakan mereka ibu dan anak atau adik kakak. Penamaan Rengkod karena kakinya cacat, sehingga jalannya tak pernah ajeg, selalu ngarampeol, sempoyongan. Rengkod ini galak, dalam arti sangat suka menyalak, apalagi jika ada orang asing yang melintasi tempat tinggal kami. Lalu Bebi, Boy, dan anaknya, Bebi, yang berbulu tebal, jika tidur di  depan pintu, sekilas nampak seperti keset. Kami sering menyebutnya Pulgoso, karena sangat mirip Pulgoso, anjing milik Marimar di telenovela Meksiko yang sedang tayang saat itu.

Banyaknya anjing di tempat tinggal kami memberi warna meriah, tidak saja dengan gonggongannya yang riuh, tapi juga dengan tingkahnya yang sering mengganggu kami jika kami berkegiatan. Terkadang mereka mengikuti kami sampai ke jalan raya jika kami akan pergi sekolah, kuliah, atau bekerja. Sedihnya jika ada teman-teman yang menolak berkunjung karena takut dengan keberadaan mereka. Padahal mereka bukan anjing yang suka menggigit manusia.

Tapi, jasa mereka untuk kami banyak sekali, selain menjadi teman buat kami mereka juga menjadi pengawal kami. 

"Terbaik! Berasa punya bodyguard, tiap pulang sekolah disambut mereka. Teman-teman lain pada ketakutan, aku malah berasa hebat bisa melindungi teman-teman, padahal mah peliharaan sendiri," kenang Hadi lagi. Selain itu, ketika mereka masih ada di lingkungan kami, kampung kami relatif lebih aman dari pencurian.

Ah, bahkan anjing-anjing kami yang jail itu pun bisa membangkitkan rasa rindu.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//