Refleksi Hari Bhayangkara di Taman Cikapayang, Seruan Reformasi Struktural dan Kultural Polri
Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Antikriminalisasi (Kertas Putih) di Bandung menyampaikan kritik melalui orasi, puisi, teater, dan musik.
Penulis Tim Redaksi2 Juli 2025
BandungBergerak.id – Masyarakat sipil di Kota Bandung memperingati Hari Bhayangkara dengan cara berbeda. Tanggal 1 Juli menjadi momen reklektif untuk mengingat kembali tindakan-tindakan represif serta kriminalisasi yang menimpa warga sipil. Mereka yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Antikriminalisasi (Kertas Putih) menampilkan orasi, puisi, teater, dan musik di acara bertajuk Anti Hari Bhayangkara di Taman Cikapayang, Dago, Kota Bandung.
Selain melontarkan kritik terhadap korps baju cokelat, mereka menyerukan solidaritas terhadap 7 orang massa aksi yang ditetapkan tersangka dalam aksi penolakan RUU TNI dan Mayday 2025 lalu. Aksi ini sekaligus mengingatkan pentingnya reformasi struktural dan kultural di tubuh Polri, sehingga selaras dengan tema peringatan HUT Bhayangkara ke-79: Polri untuk Masyarakat.
Salah satu kritik di Taman Cikapayang muncul dalam lirik lagu yang dibawakan Senandung Sumbang dengan iringan gitar akustiknya. Band ini membawakan lagu Efek Rumah Kaca berjudul Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa, dan beberapa lagu lainnya, seperti Polusi—pelesetan dari kata Polisi.
“Hei anak ku jikalau besar nanti kau bisa jadi apapun yang kau mau, asal jangan jadi Polisi,” begitu penggalan awal lagu Polusi.
Senandung Sumbang menjelaskan, lagu tersebut diciptakan pada tahun 2017, di saat panas penggusuran proyek rumah deret Tamansari. Ia menyaksikan langsung bagaimana tindakan represif aparat terhadap warga yang mempertahankan rumahnya dari penggusuran. Peristiwa ini membekas sampai sekarang.
Selain Senandung Sumbang, panggung Kertas Putih di Taman Cikapayang menampilkan Abah Omtris (solois balada), I Hate Summber (alternative rock), Dongker (punk rock), Senandung Sumbang (folk), Gloath (crusty punk), Under Negative Mind (hardcore), serta Kapsul (nu-metal). Semua penampil menyuarakan kritiknya pada aparat negara.
Frey, Gildef, dan Nalo, vokalis, drummer, dan gitaris band Kapsul, menyoroti pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan polisi. Menurut mereka, institusi ini mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat karena banyaknya pelanggaran yang terjadi.
“Acara ini juga biar mereka (polisi) sadar gitu di hari mereka merayakan (hari Bhayangkara) kita juga merayakan ketidakpercayaan kita terhadap mereka,” ujar Nalo.
Di panggung Kertas Putih, Band Under Negative Mind (UNM) berharap polisi menjadi pelayan masyarakat, bukan sebaliknya. Damario, basis UNM mengungkapkan acara ini menjadi ruang untuk bersolidaritas bagi korban kriminalisasi.
“Pastinya kita ingin saling berkumpul bersama teman-teman ntuk menyuarakan teman kita yang sekarang lagi di tahan di dalam (penjara),” ujarnya.
Hal serupa diungkapkan personel dari Dongker, Arnold (rhytem gitar) dan Delvi (lead gitar) yang terlibat pentas karena merasa memiliki hak untuk berbicara dan berekspresi. Mereka menyerukan reformasi di tubuh Polri. “Institusi besar ini tidak pernah mau kalah dan selalu selalu merasa benar,” ungkap mereka.
Maarif Muhamad, gitaris I Hate Summer sepakat bahwa kehadiran mereka sebagai ruang untuk bersolidaritas. “Bahwa penindasan yang dilakukan oleh negara pada hari ini itu sangat harus kita tentang bersama-sama,” katanya, seraya menambahkan bahwa bandnya hadir untuk mendampingi masyarakat akar rumput yang tidak mendapatkan keadilan.
“Menurut kami gerakan rakyat adalah masalah prinsipal,” tegas Maarif.
Kritik terhadap Kekerasan Struktual
Dalam catatan pengabdi bantuan hukum LBH Bandung Fariz Hamka, aksi-aksi unjuk rasa akhir-akhir ini kerap direspons dengan represi, mulai dari intimidasi, kriminalisasi, hingga kekerasan fisik. Menurutnya, rangkaian kekerasan terjadi di aksi RUU Pilkada, Peringatan Darurat, penolakan terhadap RUU TNI, dan May Day 2025.
Di sisi lain, ia juga menyoroti sejumlah kasus yang mandek di kepolisian, misalnya perkara kekerasan seksual yang ditangani LBH Bandung. Fariz menegaskan, peringatan hari Bhayangkara ini sebagai kritik terhadap kekerasan struktual yang selama ini terjadi.
Hal senada dikatakan Ahmad Sajali dari Divisi Kampanye dan Jaringan KontraS mengingatkan tentang kewenangan polisi akan semakin luas seiring disahkannya Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana yang baru. Hadirnya KUHP dikhawatirkan semakin meningkatkan pelanggaran HAM.
Tidak hanya itu, dalam setahun terakhir kebebasan berekspresi dan berkumpul bagi ancaman nyata masyarakat sipil. Oleh karena itu, Sajali menegaskan, reformasi kepolisian sangat penting. Menurutnya, selama ini tidak ada koreksi atau evaluasi yang jelas dari negara terhadap institusi kepolisian.
Sajali mengingatkan, Hari Bhayangkara menjadi momen penting bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi, saran, dan kritik terhadap kepolisian. “Kita juga punya hak dan suara kritis terhadap situasi polisi hari ini,” jelasnya.
Baca Juga: Reformasi Kepolisian Menjadi Keniscayaan di Tengah Merosotnya Kepercayaan Publik pada Penagakan Hukum
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian: Besarnya Kewenangan Polri tidak Dibarengi Pengawasan Internal dan Eksternal sehingga Memicu Penyelewengan Kekuas
Catatan KontraS
KontraS mencatat 602 kekerasan dilakukan oleh polisi setahun terakhir (Juli 2024-Juni 2025), di mana penembakan menjadi bentuk kekerasan paling dominan. “Itu data yang kami catat. Kemungkinan besar jumlah riilnya bisa lebih banyak,” kata Ahmad Sajali.
Ia menyebut beberapa kasus yang sempat menjadi sorotan publik antara lain, tragedi Kanjuruhan, kematian Afif Maulana di Sumater Barat, siswa SMA bernama Gamma di Semarang, dan lain-lain.
Momen Hari Bhayangkara ini menyodorkan tantangan bagi kepolisian untuk selalu mengayomi masyarakat, khususnya bagi warga yang sedang dalam konflik agraria, seperti yang terjadi di Sukahaji.
Maka, masyarakat sipil di Bandung menyuarakan: menghentikan proses penyidikan terhadap 5 orang massa aksi May Day dan 2 orang massa aksi Tolak RUU TNI 2025 di Bandung; Presiden dan DPR RI segera melakukan reformasi secara kultural dan struktural terhadap institusi kepolisian dengan berpedoman pada prinsip dan standar HAM;
Desakan lainnya, DPR RI dapat menjalankan fungsi legislasi dengan mengedepankan aspirasi rakyat yang berkaitan dengan reformasi Polri demi menciptakan Polri yang berintegritas dan profesional;
Anggota Polri diminta menghentikan segala bentuk ancaman terhadap gerakan masyarakat sipil yang merupakan manifestasi dari hak kebebasan berekspresi/menyampaikan pendapat dan hak kebebasan berkumpul secara damai; segera proses dan tuntaskan kasus kekerasan berbasis gender yang mandek, berikan sanksi yang tegas terhadap aparat yang menghambat proses hukum, dan pastikan hak korban dan saksi dilindungi sepanjang proses hukum;
Tuntutan lainnya dari koalisi masyarakat sipil, menolak Revisi Undang Undang Polri yang memberikan Polri menjadi lembaga superbody yang berpotensi melemahkan demokrasi, melanggar hak asasi manusia, dan membuka penyalahgunaan kekuasaan sistematis.
Berpihak Kepada Rakyat
HUT Polri diperingati dalam Upacara Peringatan ke-79 Hari Bhayangkara di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Selasa, 1 Juli 2025, yang dipimpin Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto . Dalam amanatnya, Prabowo menekankan bahwa Polri harus berada di tengah-tengah rakyat dan menjadi pelindung utama bagi mereka yang lemah dan tertindas.
Kepala Negara juga mengingatkan bahwa sejarah membuktikan tidak ada negara yang berhasil tanpa institusi kepolisian yang unggul.
"Kepolisian rakyat selalu di tengah-tengah rakyat, selalu membela rakyat, selalu melindungi rakyat, terutama mereka-mereka yang paling lemah, yang paling tertindas, dan yang paling miskin. Sejarah manusia sepanjang ribuan tahun mengajarkan kepada kita tidak ada negara yang berhasil tanpa kepolisian yang unggul dan tangguh," kata Presiden, dalam keterangan resmi.
*Reportase ini dikerjakan reporter BandungBergerak Muhammad Akmal Firmansyah dan Yopi Muharam