Kesan, Pesan, dan Kenangan
Ingat, menulis pada hakikatnya adalah upaya mengekspresikan apa yang dilihat, dialami, dirasakan, dan dipikirkan ke dalam bahasa tulisan.

Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
2 Juli 2025
BandungBergerak.id – Udara malam menyelinap dingin, menusuk hingga ke pori-pori. Dalam keheningan itu, waktu kembali membuka buku Teori dan Aktivitas Dakwah di Internet karya Moch. Fakhruroji, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Bacaan serius tentang dakwah digital ini mengajakku menyusuri halaman demi halaman, sampai tiba di bagian kesebelas, Internet dan Aktivisme Dakwah.
Namun, kesunyian itu tiba-tiba dipecah oleh notifikasi WhatsApp. Pesan dari istriku masuk. Rupanya dari grup orang tua murid yang diteruskan.
Assalamualaikum...
Ananda sholih–sholihah, untuk mengisi liburan, boleh menulis kesan dan pesan selama satu tahun di kelas 4 Abul Wafa. Bisa tentang teman-teman maupun Bapa/Ibu Guru. Ditulis di selembar kertas, boleh HVS dibagi dua, buku gambar, atau buku tulis. Silakan dihias atau diwarnai agar menarik. Hari Senin dibawa ke sekolah, nanti kita tempel di papan tulis.
Saat itu, istri bersama anak ketiga kami, Kakang (4 tahun), sedang mudik ke Tangerang, sekaligus menjemput perulangan Kaka Fia, anak pertama kami yang baru naik dari kelas tiga ke empat Mondok di Pesantren Al-Kamil.
Ya aku perlihatkan pesan dari istri kepada Aa Akil, anak kedua kami yang sedang duduk di sampingku. Usianya sepuluh tahun yang asyik membaca koran Pikiran Rakyat, kebiasaan yang melekat sejak kecil. Paling suka rubrik “Tunggu Dulu”, karikatur Mang Ohle, terlebih berita Persib paling setia dilahapnya lebih dulu.
“Bah, kira-kira nulis kesan dan pesan apa ya?” tanyanya polos.
Aku tersenyum. “Mangga, kumaha Aa wae. Nya nu jelas mah nyerat wae naon nu Aa rasakeun.”
Anak kelas empat yang sebentar lagi dibagi rapor itu malah merenung, menggaruk kepala yang baru dicukur sore tadi. Lalu matanya berbinar, menatapku.
“Dulu Bah, waktu SD di Bungbulang, suka nulis kesan dan pesan enggak sebelum naik kelas?”
Pertanyaan itu membawaku ke lorong waktu. Kampung Bungbulang Garut Kidul, dengan aroma tanah basah dan gemercik sungai kecil, hadir kembali di kepala. Aku teringat momen samenan saat perpisahan kelas 6, sekitar tahun 1996. Tak ada kesan-pesan tertulis waktu itu. Hanya panggung bambu ala kadarnya, nyanyian sederhana, dan senyum polos anak kampung yang siap melangkah ke jenjang SMP (Tsanawiyah), Mondok atau putus sekolah, terus nikah.
“Zaman kapungkur mah hente aya, Aa,” jawabku pelan. “Beres sakola paling langsung ngurek di sawah, ngojay ka Cibalubur Loa Cibalubur Sasak, Cekdam, Cirompang botram jeung babaturan. Nya sakali-kali ngangon Domba, Eme, Munding di sawah Pa H!.”
Aa tertawa, “Enak ya, Bah. Zaman dulu mah enggak banyak tugas.”
Aku mengangguk sambil membalas, “Tapi zaman ayeuna ogé istimewa, Aa. Menulis kesan-pesan sapertos kieu bagean tina ngarawat nikmat diajar. Satahun di kelas eta pasti aya berkah, mibanda ngalap elmu. Pan dina Islam, menulis teh kaasup amal jariyah, kusabab ti bag-bagan nyerat eta sok aya nu ka taji, inspirasi, motivasi jadi modal keur nyiar pangaweruh!”
Anak kedua dari empat bersaudara itu terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. “Berarti Aa nulisnya harus sungguh-sungguh ya, Bah?”
“Muhun, Aa. Elmu teh amanah. Satiap kenangan ka guru jeung rerencangan bisa jadi berkah. Engke pami Aa tos ageung teras maca tulisan eta deui, Aa pasti emut, Aa kantos diajar, soson-soson, sareng syukuran.”
Obrolan malam itu ditutup dengan kesepakatan, tugas kesan dan pesan dari Sekolah akan dikerjakan esok pagi setelah jalan-jalan ringan. Siapa tahu, udara segar, kokok ayam pelung, sambil ditemani secangkir bandrek hangat bisa membantu menghadirkan inspirasi. Karena setiap langkah kecil di jalan ilmu, bila dilandasi niat baik, bisa menjadi bagian dari jalan menuju ridha Sang Pencipta.

Baca Juga: Gusti, Toleransi, dan Narasi
Tradisi, Haji, dan Hiji
Festival, Sosial, dan Spiritual
Proses Kreatif
Dalam liputan Kompas bertajuk "Kemampuan Membaca dan Menulis Anak Berkembang Lebih Baik dengan Latihan Menulis Tangan", ditegaskan bahwa anak-anak tetap membutuhkan latihan menulis tangan di era digital saat ini. Latihan menggunakan pensil dan kertas terbukti bermanfaat bagi perkembangan kemampuan membaca dan menulis mereka.
Di tengah semakin akrabnya anak-anak dengan perangkat elektronik dan kecakapan mereka dalam menggunakan papan ketik di gawai, riset terbaru dari University of the Basque Country, Spanyol, mengungkapkan bahwa kemampuan membaca dan menulis anak-anak justru berkembang lebih baik jika mereka rutin dilatih menulis secara manual.
Penelitian ini memperkuat pentingnya latihan menulis tangan sebagai bagian esensial dalam proses belajar, bahkan di tengah arus digitalisasi pembelajaran yang semakin masif. (Kompas, Jumat 13 Mei 2025).
Ingat, menulis pada hakikatnya adalah upaya mengekspresikan apa yang dilihat, dialami, dirasakan, dan dipikirkan ke dalam bahasa tulisan. Hampir setiap orang agaknya pernah melakukan aktivitas menulis. Misalnya menulis pesan, memo, surat, buku harian, laporan, opini, naskah, buku, dan lain-lain. Jadi, ada beragam macam bentuk dan jenis tulisan. Setiap orang mungkin pernah menulis, dari bentuk yang paling ringan dan sederhana sampai yang luas dan yang mendalam.
Jika kita masih (agak) kesulitan memulai membikin model tulisan yang bersifat luas dan mendalam, maka kita bisa melihat latihan dengan cara membuat jenis tulisan yang ringan dan sederhana. Misalnya saja dimulai dari membikin surat pembaca dan diary (buku harian). Bikinlah surat pembaca dan buku harian seteliti dan sebagus mungkin, mulai dari segi tema, isi sampai cara penanggapannya. Walhasil, ada beberapa tulisan yang berasal dari (sekedar) buku harian yang diterbitkan menjadi buku dan disambut dengan hangat. Sebut saja Catatan Harian Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie, Pergolakan Pemikiran Islam-nya Ahmad Wahib.
"Akal orang-orang mulai terletak pada ujung-ujung penanya." “Siapapun yang terhibur dengan buku-buku, kebahagiaan tak akan sirna dari dirinya." (Ali bin Abi Thalib)
Syarat mutlak untuk menjadi penulis adalah rajin membaca. Ketika memulai menulis (artikel) dan berjuang menjinakkan dan merangkai kata, tanda baca, dan kalimat, kita harus sabar, cermat dan telaten. Jika menulis kita hayati sebagai profesi yang mengasyikkan, maka bukanlah merupakan beban yang menjenuhkan, melainkan suatu pekerjaan yang serba enjoy, menggairahkan dan menggembirakan. (M. Arief Hakim, 2008:15-16 dan 24-25)

Merawat Ingatan
Keesokan harinya, rencana tinggal rencana. Padahal sejak kemarin sudah semangat mau jalan-jalan ke Pasar Tumpah 46 yang cuma ada setiap hari Minggu. Tapi apa daya, setelah salat Subuh Aa tiba-tiba minta ditemani ke kampus.
Aku protes, “A, naha bet hente janten ka pasar?”
Dengan santai Aa jawab, “Tidak Bah, ke kampus saja, sambil nyari informasi, terus download gambar anime.”
Ternyata oh ternyata, penyuka gambar kartun itu memang ada tugas. Kepergiannya ke sekitar perguruan tinggi Islam negeri di kawasan Bandung Timur itu bukan sekadar jalan-jalan. Rupanya, sedang mencari bahan gambar dan ilustrasi untuk tugas membuat pesan dan kesan dari Sekolah yang akan dikumpulkan pada hari Senin.
Ya sudah, daripada debat panjang, aku ikut saja. Namanya bocah cilik, kalau sudah ada maunya, susah dibantah. Selesai mengumpulkan bahan dan gambar, Aa sempat-sempatnya nonton video lucu bertema “anomali tung tung tung sahur”. Ketawa-ketiwi sebentar, lalu kami pulang ke rumah.
Begitu sampai di ruang tengah imah, tanpa banyak jeda, langsung tancap gas, ngerjain tugas sekolah. Papan dada, kertas HVS, pensil warna, penghapus, sampai cepuk. Semuanya dikeluarkan dari tas. Alat-alat itu disulap jadi senjata untuk menulis, menggambar, dan mewarnai.
Di tengah proses itu, ada obrolan kecil tentang apa yang mau ditulis untuk Ibu Guru. Kalimat demi kalimat muncul dari hati, ditulis pelan-pelan, sambil tetap santai.
Setelah salat Zuhur, aktivitas sempat terjeda. Jadwal les di Rumah Belajar Musi menanti dari pukul 12.30-14.30 WIB. Tapi begitu salat Ashar selesai, proyek kreatif ini kembali dilanjutkan. Hasil akhirnya? Satu tugas sekolah yang penuh warna dan gambar yang unik. Mewakili rasa terima kasih, haru, dan semangat dari seorang anak yang sedang belajar mengekspresikan dirinya.
Dalam Islam, ilmu adalah cahaya. Menulis menjadi salah satu cara untuk menjaga cahaya itu agar tidak padam. Rasulullah SAW bersabda, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya.” Ayo biarkanlah anak-anak menulis, menggambar, dan mewarnai dengan cara mereka sendiri.

Meskipun hanya satu paragraf sederhana tentang teman sebangku, atau tentang guru yang terlihat galak, kaku, tapi sebenarnya berhati lembut. Pasalnya, dari tulisan-tulisan kecil tangan itu, mereka mulai belajar mengenali diri, belajar bersyukur, dan perlahan-lahan menapaki jalan menjadi insan yang bermanfaat.
Saat sedang mencari referensi soal pentingnya menulis dengan tangan, tiba-tiba masuk pesan dari seorang kawan lama semasa SD. Memang kami sudah lama tidak bertemu, hanya sesekali bertegur sapa lewat WhatsApp atau media sosial.
Isi pesannya berupa video pendek, disertai tulisan, “Sugan apal kénéh lagu perpisahan tutup tahun sakola dasar jaman baheula.”
Ternyata video itu menampilkan anak-anak SD dengan seragam merah putih, berdiri berjejer di atas panggung sederhana. Di latar belakang panggung, terlihat tulisan besar: Tutup Tahun 1993/1994. Lagu yang diputar adalah lagu perpisahan andalan zaman dulu. Penuh nostalgia dan kenangan yang hangat.

Sapu Nyere Pegat Simpay
Ririungan urang karumpul
Meumpeung deukeut hayu urang sosonoan
Macangkrama bari ngawadul
urang silih tempas silih eledan
Moal lila jeung babaturan
Hiji wanci anu geus ditangtukeun
Bakal pisah bakal pajauh
Bakal mopohokeun katineung urang
Sapu nyere pegat simpai bakal kasorang
Takdir ti Gusti Hyang Widi pasti kalakon
Urang rek papisah urang rek pajauh
meumpeung deukeut hayu urang sosonoan
Usai lagu Sapu Nyere Pegat Simpay diputar, rindu terhadap kampung halaman di Bungbulang, Garut Kidul, semakin menggebu. Satu per satu kenangan bermunculan, membangkitkan kembali suasana hangat yang dulu pernah begitu akrab. Jalanan berbatu, licin tanah beureum, udara pegunungan yang sejuk, endah dan tawa riang masa kecil yang tak terlupakan. Sungguh indah untuk dikenang. Cag Ah!
*Kawan-kawan bisa membaca tulisan lain dari Ibn Ghifarie, atau artikel-artikel lainnya tentang tradisi