Dekalog, 10 Jam yang Mendatangkan Pertobatan
Film apik dari Polandia yang disutradarai oleh Krzysztof Kieslowski, Dekalog, adalah film di mana kita bisa memahami Tuhan dengan cara yang berbeda.

Ruth
Warga Biasa
3 Juli 2025
BandungBergerak.id – Selalu ada perenungan batin dalam diri saya setiap menyelesaikan sebuah film. Estetika ragawi seperti keindahan sinematografi, dan kesyahduan musik di sepanjang film, mengalir bersama dialog yang menawarkan pertanyaan, perspektif, dan keterlibatan filosofis yang mendalam.
Sebuah film apik dari Polandia yang disutradarai oleh Krzysztof Kieslowski yakni "Dekalog", semakin meyakinkan saya bahwa film bukan hanya sekedar medium estetis, melainkan sebuah jembatan dialog filosofis yang mendudukkan perspektif tentang kenikmatan, seni, representasi, bahkan agama.
Bagaimana kesepuluh hukum Allah yang berasal dari alkitab Kuno itu bertemu dengan kehidupan modern Eropa yang skeptis? Hal ini dibahas dalam film yang berdurasi 10 jam ini, yang dalam tiap satu jamnya merupakan pencarian dan komentar terhadap salah satu dari sepuluh perintah Allah.
Apakah Dekalog merupakan film religius? Kiewslowski sendiri mengatakan bahwa Dekalog sendiri tidak dibuat untuk menggurui tapi untuk mengingatkan bahwa ada nilai lama yang dilupakan oleh masyarakat modern.
Baca Juga: Nonton Bareng Film Pesta Oligarki di Perpustakaan Ajip Rosidi, Rakyat Hanya Jadi Penonton
Analisis Film Leviathan (2014): Kekuasaan, Hukum, dan Yang Tak Bernama
Kematian Rakyat Seperti di Film-film
Sinema Religi
Dekalog tentu saja sangat berbeda dari kebanyakan film religius di Indonesia. Film religi Indo yang menabukan dosa, berbanding terbalik dengan Dekalog yang menganggap dosa sebagai suatu medium kudus pencarian jati diri. Tidak ada protagonis yang gemar beribadah di film ini, tidak ada bahasan pahala, atau azab yang secara repetitif hadir dalam sinema religi Indonesia. Seruan sepuluh perintah injili ini diwartakan bukan melalui tembok gereja, tapi dijalankan dan dipertanyakan secara kritis melalui kehidupan kesepuluh protagonis dalam film ini. Agama, Tuhan, digambarkan secara eksplisit.
Dengan deskripsi singkat di atas, lagi-lagi, apakah Dekalog merupakan film religius? Aku sendiri akan menjawab ya, film ini meninggalkan sejenis perasaan religius yang agung, sejumlah pertanyaan filosofis yang memiliki estetikanya sendiri. Kehadiran seorang laki-laki misterius (yang selalu hadir di tiap episode film ini pun), yang selalu melihat ke arah kamera, seolah memaksa kita untuk merenung.
Film ini menjejalkan suatu nyanyian sederhana, bahwa melanggar salah satu dari hukum-Nya adalah bukti bahwa manusia adalah memang manusia. Mungkin yang membedakan film Dekalog dari film religius Indonesia yang lain, adalah film ini mengenangkan agama dan Tuhan dengan manusiawi. Tidak ada azab, tidak ada pertobatan yang melibatkan ibadah dan pakaian agamis, tapi apa memang pertobatan itu? Bukankah itu subjektif? Para protagonis bertobat dengan cara mereka sendiri, dengan perenungan yang luhur, dengan tangis yang tulus, dengan cinta yang baru, dan luka yang menguatkan. Dan yang paling utama adalah penerimaan diri.
Ada beberapa sudut pandang lain dalam film ini, salah satunya adalah universalitas dalam kemanusiaan, bahwa kita semua sama di hadapan Tuhan. Tidak ada yang lebih menonjol dan lebih hebat, pada diri kesepuluh protagonis film ini. Mereka miliki kehidupan berbeda dan cerita unik masing-masing, perjuangan yang berbeda. Sederhana namun indah. Belum lagi pergerakan kamera yang luar biasa indah, yang menampilkan emosi tiap protagonis dengan intens. Efek film, dan lampu. dengan warna gelap, terang, malam siang, ataupun objek dan simbol seperti foto Yesus (bagian satu Dekalog yang seolah-olah menangis karena lilin meleleh turun di atas matanya, sungguh indah, bukan hanya manusia yang menyesali dosanya, tapi Tuhan pun ikut menyesali kekhilafan kita.
Simbol dalam Dekalog
Setiap episode dirangkai dengan begitu menakjubkan bagai suatu kolase, salah satu yang khas dari film ini adalah close up tangan, tangan yang saling terentang untung saling meraih, memutar, hingga gagal untuk merangkul.
Dalam Dekalog 7 (Thou shalt not steal) sang anak yang bernama Anya ingin meraih tangan Ayahnya, namun dengan ketenangan Wojtek berusaha untuk membebaskan dirinya tanpa menyakiti Anya, Wojtek menyayangi Anya, namun tidak melepas tangan Anya berarti terus membiarkan Anya hidup dalam bayang-bayangnya, dalam tanggung jawabnya, ataupun dalam Dekalog 9 (Thou shallt not covet thy neighbours wife), episode ini menampilkan Roman dan istrinya Hanka. Tangannya tidak berani untuk menepuk pundak Hanka, dan sekedar bertanya soal keresahan hatinya, karena tangannya tidak berani, ia meraih benda lain yaitu telepon rumah, dan menyadap percakapan istrinya dengan pria lain. Tangan adalah salah satu indra yang berbicara banyak selain mulut, hadirnya mampu menghapus air mata, ataupun menghasilkan air mata.
Selain tangan, cahaya juga menjadi bagian yang membuat film ini menjadi utuh, efek-efek cahaya yang beragam, menghadirkan ekspresi protagonis yang simbolik. Depresi dan kesedihan dipersepsikan dengan warna gelap, dan kegembiraan dengan terang, meskipun malam. Dekalog 5 (Thou shallt not kill) menghadirkan warna kuning sebagai warna dari film itu, cahaya kuning memberi efek yang tidak nyaman, bagaimana Jacek si tokoh utama melakukan hal yang menegangkan yaitu membunuh sopir taksi yang ditumpanginya, lalu perdebatan antara pengacaranya yang simpatik kepada rekan hukumnya yang lain, hingga eksekusi matinya yang tragis, sungguh kuning yang paling tidak nyaman yang pernah kulihat. Yang jelas cahaya ini sendiri memberi spoiler hal-hal ekstrem dan tidak nyaman apa yang akan kita saksikan setelahnya.
Dalam Dekalog 3 (Remember the sabbath day, to keep it holy), sumber cahaya, di rumah Janush, si tokoh utama diganti dengan lampu-lampu yang baik intensitas cahaya dan warnanya beragam. Bagaimana warna-warnanya menjelaskan kekacauan batin kedua tokoh itu, perselingkuhan yang miris namun puitis. Hebat sekali cahaya-cahaya dan mimik wajah protagonis itu membuat aku luluh dan simpati terhadap keserongan mereka, hari yang seharusnya suci itu dipakai untuk berselingkuh, tapi toh perenungan kudus itu akhirnya terjadi, meski diiringi oleh air mata yang mungkin abadi.
Dalam Dekalog 2 (Thou shallt not take the name of the Lord thy God in vain), komposisi pencahayaan yang menyinari si pesakitan yang hampir mati, memberikan asosiasi terhadap tokoh Lazarus yang dibangkitkan dari kematiannya oleh Yesus. Juga menarik bagaimana dokter yang bersumpah demi nama Tuhan kalau si pesakitan tidak akan sembuh ternyata sembuh juga, ya jangan menyebut nama Tuhan Allah dengan sembarangan.
Dekalog sendiri hadir sebagai film yang menawarkan moral dan kasih sebagai penawar dari tekanan politik dan ekonomi di Polandia pada saat itu. Serial ini direkam saat Polandia masih berada di bawah rezim komunis, di Polandia sendiri kritik terhadap komunisme merupakan hal yang lumrah.
Lingkungan yang banyak digambarkan dengan warna abu-abu, wajah protagonis yang canggung dan minim ekspresi protagonis ditujukan agar penonton memahami bagaimana kondisi orang-orang Polandia di zaman itu. Depresif, muram, dan canggung!
Lalu pada akhirnya, pertanyaan itu muncul lagi, apakah Dekalog merupakan film religius, apakah Dekalog hanya menjabarkan kondisi keagamaan orang-orang Polandia di saat itu? Mungkin keduanya benar, karena merutku sendiri begitu.
Tapi dari semua itu, Dekalog adalah film di mana kita bisa memahami Tuhan dengan cara yang berbeda. Yah film ini memang menghadirkan banyak pertanyaan. Tapi toh di situ letak indahnya, letak estetikanya.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB