• Opini
  • Kebijakan Populis Tanpa Pertimbangan Akademis

Kebijakan Populis Tanpa Pertimbangan Akademis

Kebijakan populis sering kali mengabaikan data, analisis dampak, dan kebutuhan kelompok rentan yang tidak vokal.

Kiki Esa Perdana

Urang Sunda asli, lahir di Bandung, KTP Cimahi, menaruh perhatian pada budaya populer dan komunikasi politik.

Populisme menjadi realitas politik kita saat ini. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

4 Juli 2025


BandungBergerak.id – Saya seorang dosen di Jakarta dan Bandung, peneliti komunikasi politik, yang juga kebetulan adalah orang tua dari seorang anak yang baru masuk SD. Daerah kami berada di salah satu kabupaten di provinsi Jawa Barat. Berbatasan dengan provinsi Banten yang tidak tersentuh transportasi umum dan jalanan penuh dengan truk besar bermuatan tambang yang sudah memakan banyak korban. Oh ya, saya masih ber-KTP Kota Cimahi, bagian dari Jawa Barat, tidak begitu jauh dari Gedung sate –keluar tol, masuk Jalan Pasteur langsung Jalan Diponegoro, Gedung Sate.  

Dari beragam definisi, kebijakan populis adalah jenis kebijakan yang dibuat untuk menarik simpati atau dukungan luas dari masyarakat, sering kali dengan cara merespons isu-isu yang sedang ramai diperbincangkan atau mencerminkan suara mayoritas. Meski belum tentu kebijakan tersebut merupakan solusi terbaik secara jangka panjang atau berdasarkan analisis mendalam.

Saya sangat paham jika Gubernur Jabar Dedi Mulyadi ingin membangun, ingin menanamkan nilai-nilai karakter yang terkandung dalam konsep Pancawaluya, yakni cageur (sehat), bageur (berbudi pekerti), pinter (berpengetahuan), singer (cekatan), dan bener (berintegrasi) pada generasi muda, sehingga saat dewasa akan terbentuk juga karakter yang kuat. Saya ingin mencoba ulas kebijakan sekolah masuk pukul 6.30 di Jawa Barat. Saya melihat di beberapa konten di TikTok, bahwa beberapa siswa senang jalan kaki ke sekolah tanpa menggunakan kendaraan umum. Hanya jalan kaki, dengan pemandangan indah gunung dan sawah.

Baca Juga: Yang Rusak Bukan Rumput, tapi Cara Pandangmu: Jalan Sesat Logika Dedi Mulyadi
Dari Taman Siswa ke Barak Militer, Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2025
Kotanya yang Gagal, Kenapa Anak Sekolah yang “Dihukum”?

Situasi di Daerah yang Beragam

Media sosial politik memang sering kali ter-fabrikasi dan menciptakan selalu hal yang indah, #ups. Namun di kami tidak ada itu pemandangan gunung dan sawah, jika ingin ke sekolah. Yang ada gunung tambang dan truk tambang, full debu dan menyambut ISPA dengan kehangatan. Truk tambang yang melintas ini besarnya mungkin setara dengan truk transformers. Pada tahun 2023, tercatat 17 kecelakaan yang melibatkan truk, menyebabkan 12 orang meninggal dunia dan 8 lainnya luka-luka. Secara keseluruhan, selama beberapa tahun terakhir, diperkirakan lebih dari 200 orang telah kehilangan nyawa akibat kecelakaan di jalur Parung Panjang.

Kedua, di daerah kami kebanyakan orang tua adalah pekerja di Jakarta yang sudah sedari Subuh sudah di KRL menuju Stasiun Tanah Abang, jadi yang mengantarkan anak biasanya teteh-teteh yang bekerja di rumah menggunakan kendaraan roda dua. Iya, mereka setiap hari berjibaku dengan truk transformers itu, dan para orang tua setiap hari pula pasti waswas akan keadaan anak mereka, termasuk saya, karena aturan hampir tidak bekerja di daerah kami, lawless, mirip restoran burger. Loh kenapa tidak naik transportasi umum? Maaf, tidak ada, yang ada kendaraan “preman” yang harganya “nembak” tidak tentu dan ugal-ugalan. Tidak ada pilihan.

Saya juga sempat membaca pengamat analisis kebijakan pendidikan, Prof. Cecep Darmawan, yang mengatakan bahwa SD dan SMP di pelosok daerah kabupaten yang jauh dari perkotaan, sekolahnya jauh dari rumah, dan mungkin kendaraan belum tersedia atau agak susah kalau jam pagi segitu. Saya sangat-sangat setuju. Kedua, Menteri Pendidikan Dasar, kementeriannya telah mengatur pelaksanaan kegiatan belajar siswa, mulai dari berapa lama siswa belajar dalam sehari hingga jumlah hari sekolah dalam seminggu, yang memang tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Pada pasal 2, disebutkan bahwa hari sekolah dilaksanakan 8 jam dalam 1 hari atau 40 jam selama 5 hari dalam seminggu. Ketiga saya juga setuju dengan Kepala Bidang Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri yang dibuli di media sosial oleh pendukung “bapa aing” karena pendapatnya berlawanan, dia menilai kebijakan sekolah dimulai pukul 6 pagi perlu dikaji lebih lanjut.

Kebijakan Populis yang Instan

Menganalisis kebijakan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi saya kira ini menunjukkan ketidaktahuan pejabat yang bersangkutan akan kondisi di daerahnya sendiri, karena kondisi geografis, sosial, dan infrastruktur antardaerah di Jawa Barat sangat berbeda jauh. Kebijakan publik yang disusun berdasarkan bukti akademis dan data memiliki peran penting dalam memastikan efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan suatu program atau regulasi. Dengan mengandalkan hasil riset, kajian ilmiah, serta data kuantitatif maupun kualitatif, pembuat kebijakan dapat memahami permasalahan secara lebih mendalam dan merancang solusi yang relevan serta berdampak nyata bagi masyarakat.

Pendekatan berbasis bukti ini juga membantu mencegah kebijakan yang bersifat reaktif, populis, atau hanya mengikuti tekanan opini publik tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang. Selain itu, transparansi dalam penggunaan data memperkuat akuntabilitas pemerintah di mata publik dan memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam mengawasi proses kebijakan. Dengan demikian, kebijakan yang dirancang berdasarkan bukti bukan hanya menunjukkan integritas dalam tata kelola pemerintahan, tetapi juga mencerminkan komitmen terhadap pelayanan publik yang adil, terukur, dan berorientasi pada kebutuhan riil masyarakat.

Sedangkan kebijakan populis cenderung menghasilkan dampak jangka pendek yang bersifat instan namun kurang memperhatikan keberlanjutan, keadilan struktural, dan efisiensi kebijakan. Karena fokus utamanya adalah merespons keinginan mayoritas atau tekanan publik yang sedang dominan, kebijakan ini sering kali mengabaikan data, analisis dampak, dan kebutuhan kelompok rentan yang tidak vokal.

Saya tutup artikel ini dengan peribahasa Sunda yang selalu saya ingat sejak lama tentang rasa keadilan: “Kudu nyanghareupan ka nu luyu, kudu nyanghareupan ka nu salah.”

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//