• Narasi
  • Menyelami Sunyinya HOWL, Sudut Literasi Baru di Kota Bandung

Menyelami Sunyinya HOWL, Sudut Literasi Baru di Kota Bandung

Pendiri perpustakaan HOWL menginginkan perpustakaannya menjadi ruang eksplorasi dan kolaborasi. Sebuah rumah literasi dan oase bagi para pecinta buku.

Bunga Adelia Haramain

Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

Potret tiga Lantai HOWL, perpustakaan kreatif yang menyediakan kedai kecil dan ruang interaktif. (Foto: Bunga Adelia Haramain)

8 Juli 2025


BandungBergerak.id – Sebuah papan kayu berukuran mungil tampak menyapa di atas pagar rumah di Jalan Cisatu, Ciumbuleuit, Bandung. Papan itu tak sekadar penanda, melainkan undangan bagi siapa pun yang lewat. Bergambar, seekor burung hantu berwarna coklat tampak manis, mata belo khasnya, seolah mengamati setiap tapak kaki yang masuk ke halaman bangunan itu. Di bawahnya, huruf-huruf kapital membentuk nama: HOWL.

HOWL, atau House of Wonder and Learning, adalah sebuah perpustakaan kreatif yang baru seumur jagung. Jejak literasinya baru saja dimulai satu bulan silam, namun gemanya telah menyusup ke telinga para penikmat buku di Bandung.

Mendengar kata “perpustakaan kreatif”, mungkin saja orang akan mengira pendirinya adalah tokoh literasi kawakan, atau setidaknya seseorang yang menempuh studi perpustakaan, sastra, atau yang sekiranya masih satu ranah sosial. Namun, bayangan akan bagaimana latar belakang si pendiri itu segera runtuh begitu mengenal lima sosok di balik HOWL.

Syawal, satu dari lima pendiri HOWL, membagikan perjalanan kisahnya. “Kami berlima sama-sama alumni Institut Teknologi Bandung, dan kebetulan berasal dari Palembang,” ujarnya mengawali cerita.

Pertemuan mereka bermula dari organisasi mahasiswa Bina Sriwijaya, sebuah wadah bagi perantau Palembang yang menuntut ilmu di ITB. “Organisasi itu tempat bagi kami yang sama-sama merasa jauh dari rumah dan kampung halaman. Dari situ, kami bertemu dan merasa senasib,” Syawal mengenang, nadanya seolah menerawang ke masa lalu.

Meskipun berasal dari organisasi yang sama, kelima sahabat ini memiliki latar belakang studi yang beragam. Syawal dari Teknik Mesin, Abista dari Teknik Fisika, Abel dari Kriya, Nanda dari Planologi, dan Mutia dari Desain Interior.

“Sebenarnya, kami enggak cuma karena sama-sama dari Palembang saja, yang benar-benar menyatukan kami itu justru kecintaan pada buku dan sastra,” ungkap Syawal, nadanya meninggi riang.

Kecintaan pada buku itu ternyata telah tumbuh sejak masa kuliah. Mereka sering menghabiskan waktu luang menelusuri berbagai perpustakaan di Bandung. “Kami tuh dulu sering keliling perpustakaan di Bandung. Setiap tempat punya warna dan keunikan masing-masing. Dari situ, kami terinspirasi untuk bikin ruang literasi yang punya warna kami sendiri,” jelas Syawal.

Nyatanya, kegemaran itu tak luntur meski mereka kini meniti karir di bidang masing-masing. Justru, kerinduan akan ruang literasi yang punya warna sendiri seperti mimpi mereka, mendorongnya mewujudkan mimpi bersama –membangun sebuah rumah literasi yang menjadi oase bagi para pecinta buku.

Maka, lahirlah HOWL. Nama yang sekilas terdengar seperti plesetan dari “owl” –burung hantu dalam bahasa Inggris– namun ternyata mengandung makna lain yang bersemayam di dalamnya.

“Nama HOWL itu sebenarnya terinspirasi dari Bait al-Hikmah di Baghdad, House of Wisdom pada masa keemasan Islam. Dari sana, kami memilih House of Wonder and Learning. Kami ingin tempat ini jadi rumah keajaiban dan pembelajaran,” papar Syawal, dengan lugas.

Pengunjung yang sedang membaca di lantai dua HOWL, Bandung. (Foto: Bunga Adelia Haramain)
Pengunjung yang sedang membaca di lantai dua HOWL, Bandung. (Foto: Bunga Adelia Haramain)

Baca Juga: Tiga Perpustakaan Pertama di Bandung yang Tinggal Sejarah
Membaca Sambil Ngobrol ala Perpustakaan Jalanan Bandung
Lahirnya Perpustakaan-perpustakaan Independen di Bandung, Gerakan Literasi tak Pernah Mati

Ruang Kreatif

Suara Syawal yang bercerita kala itu terasa sangat jelas dan lantang, mungkin karena benar rumah ini terbalut dengan sunyi dan keheningan. Padahal tiap sudut ruangannya berisikan para kepala yang sibuk dengan sebuah buku penuh kata di dalamnya.

Rumah tiga lantai di Jalan Cisatu itu pun menjelma menjadi oase literasi yang hidup dalam warnanya sendiri. Setiap lantai dirancang dengan sentuhan kreativitas yang interaktif. “Karena ada yang dari seni rupa, desain interior, dan perencanaan kota, kami bisa sama-sama membangun ruang kreatif, lengkap dengan galeri dan area lokakarya,” jelas Syawal.

Misalnya, di lantai tiga ruang membaca tersusun kanvas-kanvas bercorak warna hingga sebuah kriya patung mini. Di Pinggir ruang duduk pembaca itu, terselip pameran kecil yang memajang karya lukis mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB angkatan 2023. Lalu, untuk ruang lainnya dihiasi alat main interaktif, meja diskusi, dan sudut-sudut nyaman untuk membaca.

Konsep HOWL seolah menolak bayangan semestinya dari sebuah perpustakaan, dengan menciptakan sebuah warna yang beda dari biasanya. “Biasanya, di perpustakaan itu enggak boleh makan minum, tempatnya juga monoton, cuma meja dan rak buku. Nah, kami pengen bikin yang beda. Di sini ada kedai kecil, ada alat main, dan ruang-ruang interaktif,” ujar Syawal.

HOWL menyediakan sekitar lima ratus karya literasi cetak dari berbagai genre, dari sastra, seni, hingga sains populer. Namun, perlu disadari kembali, HOWL punya corak warnanya sendiri. Bangunan tiga lantai ini juga rutin mengadakan acara kolaboratif: pameran seni, bedah buku, kelas yoga, hingga pematerian bersama.

“Di lantai tiga, kami pernah adakan pameran bersama, bedah buku, kelas yoga, dan pematerian. Kami ingin HOWL jadi ruang eksplorasi dan kolaborasi, bukan cuma tempat membaca,” katanya lagi.

Perpustakaan Berbayar

Namun, menjadi perpustakaan independen dengan warna baru tentu tak luput dari adanya tantangan. Tidak adanya dana dari institusi besar mana pun yang menopang operasional, menjadi salah satu faktornya.

“Kalau kita tuh independen. Jadi makanya buat masuk aja harus bayar. Soalnya kan buat ngebiayain alat-alat ini, alat-alat lukis, alat-alat seni, dan operasional lainnya. Nah, perpustakaan berbayar tuh masih enggak lumrah,” ujar Syawal, suaranya sedikit menurun.

Tiket masuk HOWL dipatok Rp 25.000 untuk sesi pagi sampai sore, dan Rp 35.000 untuk sore hingga malam, masing-masing berdurasi enam jam. “Sebenarnya, harga tiket itu bukan cuma untuk akses buku, tapi juga untuk suasana, pengalaman, dan kudapan yang kami sediakan,” jelasnya.

Dengan menambah Rp10.000, pengunjung bisa menikmati artisan tea dengan berbagai pilihan rasa. “Jadi, harga tiket itu bukan cuma untuk akses buku, tapi juga untuk menikmati suasana dan kudapan. Kami ingin pengunjung merasa nyaman dan betah berlama-lama di sini,” tambah Syawal.

Hal ini kemudian menjadi tantangan utama bagi HOWL yakni,  mengedukasi masyarakat bahwa perpustakaan independen memang membutuhkan dukungan finansial. “Ini memang tantangan, karena perpustakaan berbayar itu masih belum umum. Tapi kami ingin mengedukasi bahwa biaya itu untuk mendukung operasional dan menjaga kualitas ruang ini,” katanya.

Meski ada kegetiran ketika ia berkisah mengenai tantangannya, optimismenya akan warna baru ini tidak surut. Ia kembali bercerita, bahwa sejauh ini, tanggapan para pembaca sangat positif. “Kalau orang-orang yang ngobrol sama aku atau teman-teman yang ngisi kritik saran di Google Form, sejauh ini bagus-bagus banget. Mereka pada suka, mungkin karena memang jarang atau belum pernah ketemu tempat kayak gini,” ujar Syawal, kali ini dengan nada optimis.

Kembali, menjejakkan kaki pada pintu area pintu masuk dan melihat selembaran peta dengan 20 titik literasi di Bandung, lalu menyadari apakah kini HOWL sudah mengisi titik ke-21 dalam peta literasi ini? Menambah warna baru dalam deretan sudut literasi kota ini.

Setiap lantainya seolah menyimpan cerita, setiap sudutnya menawarkan ruang hangat bagi siapa saja yang ingin singgah, membaca, atau sekadar menikmati secangkir teh di tengah sunyi yang bernaung.

Syawal lantas mengakhiri kisahnya dengan sejumput harapan, “Kami ingin HOWL terus berkembang, menjadi ruang aman dan nyaman bagi siapa saja yang ingin belajar, bereksplorasi, dan berkolaborasi. Semoga kami bisa terus melebarkan jejak kami, menjadi bagian dari perjalanan literasi di Kota Bandung.”

Di balik papan kecil bergambar burung hantu itu, nyatanya bersemayam sebuah harapan besar, bahwa ruang literasi bukan hanya soal membaca, tapi juga tentang sebuah ruang sunyi yang bisa membangun komunitas, dan menciptakan ruang-ruang baru untuk tumbuh bersama. 

HOWL, dengan segala sunyi dan uniknya, adalah angin segar bagi jejak literasi kreatif di Bandung yang nyatanya masih terus bertumbuh, menyambut dan menyapa siapa saja yang ingin singgah dan berlama-lama dalam pelukan kata.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//