• Opini
  • “Undak-usuk” Bahasa Sunda dan Pengaruh Suku Jawa

“Undak-usuk” Bahasa Sunda dan Pengaruh Suku Jawa

Stratifikasi pada bahasa Sunda muncul karena adanya pengaruh Kerajaan Mataram. Bahasa Sunda hingga akhir abad ke-16 cenderung bersifat egaliter atau setara.

Rifkia Ali

Alumnus Sastra Sunda Universitas Padjadjaran dan Co Founder Bandoeng Waktoe Itoe.

Mengenal aksara Sunda langkah awal mengaji manuskrip kuno nusantara. Akan sulit memahami isi manuskrip tanpa memahami huruf-huruf Sunda. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

8 Juli 2025


BandungBergerak.id – Suku Sunda adalah masyarakat yang sebagian besar mendiami wilayah Pulau Jawa bagian barat. Berdasarkan pada data yang dipublikasi di situs resmi Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat, jumlah penduduk Jawa Barat berada diangka 50 juta lebih jiwa. Sedangkan untuk penutur bahasa Sunda mengacu pada data dari dinas Kebudayaan Provinsi Jawa Barat  tahun 2022, penutur aktif berada diangka 36 juta jiwa.

Dalam bahasa Sunda tentu kita mengenal undak-usuk bahasa atau tingkatan bahasa yang digunakan bergantung pada siapa lawan bicara atau pada situasi bahasa itu digunakan. Setidaknya dikenal ada tiga tingkatan dalam berbahasa Sunda yaitu lemes, loma, dan kasar. Bahasa Sunda lemes biasa digunakan kepada orang yang lebih tua,  loma biasanya digunakan kepada orang yang seusia atau di bawahnya. Kasar biasanya digunakan penutur dalam lingkup pergaulan.

Tentu menjadi sebuah pertanyaan sejak kapan dan kenapa tingkatan bahasa tersebut muncul? Mari kita bahas!

Baca Juga: Pergeseran Nama Orang Sunda, dari yang Unik hingga Modis
Trias Politika dalam Naskah Kuno Sunda
Mungkinkah Bahasa Sunda Punah?

Pengaruh Kerajaan Mataram

Stratifikasi pada bahasa Sunda muncul karena adanya pengaruh dari masa ketika Kerajaan Mataram berhasil menaklukkan daerah Priangan Timur pada sekitar abad ke 17 Masehi. Mengacu pada penuturan Salehudin Fauzi, seorang pengajar di Sastra Sunda Universitas Padjadjaran pada Maret 2023. Ia menambahkan, jika bahasa Sunda merupakan bahasa kedua yang digunakan oleh rakyat biasa, sedangkan kalangan kerajaan berbahasa hingga bersurat menggunakan bahasa Jawa untuk situasi formal.

Situasi Priangan Timur yang mulai dikuasai Mataram mendorong pula terjadinya migrasi orang Jawa ke tatar Priangan. Salah satunya pembukaan lahan. Karena wilayah Priangan dijadikan lumbung padi untuk menyokong logistik Kerajaan Mataram serta mendukung kekuatan militer Kerajaan Mataram.

Karena dalam kekuasaan politik Kerajaan Mataram yang sudah menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa formal, tentu saja para pejabat sekelas bupati di wilayah Priangan yang sudah takluk di bawah kekuasaan Mataram ikut pula “terjawanisasi” dengan mengikuti budaya Jawa dan berbahasa Jawa sebagai bentuk loyalitas.

Jika menelisik lebih jauh Suku Sunda awalnya cenderung egaliter dalam budaya dahulu,  termasuk penggunaan bahasa. Pada abad 15-16 Masehi –kata maneh dipakai sebagai kata ganti orang kedua. Kata maneh pada hari ini tentu dikategorikan sebagai bahasa kasar atau bahasa pergaulan. Hal ini tercermin dalam naskah kuno Sri Ajnyana, teks yang mungkin ditulis sekitar abad ke-15/16: na manéh sang Sri Ajnyana  (engkau, Sri Ajnyana). Tetapi dalam masa ini di Sunda belum ada stratifikasi bahasa (undak-usuk) seperti sekarang. Malah dalam bahasa Sunda Kuno, aing dan sia digunakan sebagai kata ganti orang pertama dan kedua. Bahasa seperti ini dapat juga dilihat dari naskah Carita Parahyangan yang ditulis sekitar akhir abad ke-16, sebelum Kerajaan Mataram mengusai Priangan secara politik dan memunculkan stratifikasi bahasa yang meniru dari bahasa Jawa.

Seperti diketahui dalam bahasa Jawa terdapat stratikasi yang dibagi menjadi tiga bagian seperti:

  1. Ngoko: Bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya, orang yang lebih muda, atau orang yang memiliki status sosial lebih rendah.
  2. Krama: Bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua, orang yang dihormati, atau orang yang memiliki status sosial lebih tinggi.
  3. Krama Inggil: Bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang sangat dihormati, seperti raja, bangsawan, atau orang tua yang sangat dihormati.

Selain pada stratifikasi atau tingkatan dalam menggunakan bahasa yang tergantung pada siapa yang menjadi lawan bicara, Bahasa Jawa pun turut memengaruhi dalam kosakata. Terdapat bahasa yang mirip atau hampir serupa dalam bahasa Jawa salah satu contohnya ialah dalam bahasa Sunda terdapat bahasa wengi yang berarti malam hari. Sedangkan dalam bahasa Jawa terdapat kosakata seperti bengi yang berarti malam hari. Kedua kosakata ini, meskipun dari bahasa daerah yang berbeda nyatanya hampir serupa, hanya dibedakan oleh satu fonem atau saruan terkecil dalam bahasa yaitu w dan b.

Bahasa Sunda Kuno Cenderung Egalitar

Mengacu pada (Moriyama, 2005). Ia berpendapat bahwa 30 persen strata lemes dalam bahasa Sunda modern berasal dari bahasa Jawa. Hal ini rasanya tidak lagi mengejutkan jika melihat sejarah panjang kekuasaan Kerajaan Mataram khususnya abad ke-17 Masehi di bawah pimpinan Sultan Agung berhasil menaklukkan wilayah Priangan secara politik.

Inilah yang menjadi cikal bakal peralihan dari bahasa Sunda Kuno yang dapat dilihat di naskah Sunda hingga akhir abad ke-16, yang cenderung egaliter atau setara, berubah menjadi mengenal stratifikasi (undak-usuk) dalam bahasa Sunda. Suka atau tidak, seperti ini bahasa Sunda yang kita kenal saat ini.

Perbedaan suku bangsa dapat saling memengaruhi budaya satu sama lainnya. Dalam konteks ini bahasa. Apalagi bahasa sebagai alat komunikasi sudah tentu digunakan dalam berbagai kegiatan sehari-hari. Dengan sifat bahasa yang manasuka rasanya bukan hal aneh jika bahasa dari zaman ke zaman terus mengalami perubahan yang dinamis. Selagi itu disepakati dan dipahami oleh para pengguna bahasa itu sendiri.

Bahasa Jawa menempati urutan pertama sebagai bahasa daerah dengan penutur terbanyak saat ini. Bahasa Sunda berada di urutan kedua dengan penutur terbanyak di Indonesia. Optimisme terus digaungkan untuk terus menjaga penggunaan bahasa daerah oleh para penuturnya dari berbagai lapisan, mulai dari pemerintah, komunitas, hingga individu yang masih fasih berbahasa daerah. Walaupun pada kenyataan secara statistik penutur bahasa daerah cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri jika bahasa daerah merupakan salah satu yang terpenting untuk menjaga eksistensi suatu suku bangsa.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//