• Berita
  • Keselamatan Satwa Dipertaruhkan dalam Konflik Dualisme Manajemen Kebun Binatang Bandung

Keselamatan Satwa Dipertaruhkan dalam Konflik Dualisme Manajemen Kebun Binatang Bandung

Sengketa pengelolaan Kebun Binatang Bandung (Bandung Zoo) ditakutkan berimbas pada keselamatan satwa-satwa liar. Konflik berlarut, hewan menjadi korban.

Polisi berjaga di Bandung Zoo atau Kebun Binatang Bandung dampak dari konflik dualisme manajemen di Bandung, 3 Juli 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah9 Juli 2025


BandungBergerak.idKonflik internal di tubuh pengelola Kebun Binatang Bandung mengundang keprihatinan. Sorotan publik tertuju bukan pada keberhasilan konservasi atau kelahiran satwa langka, melainkan kisruh berkepanjangan yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan satwa.

Kekhawatiran publik terhadap keselamatan satwa Bandung Zoo terjadi sejak mencuatnya perebutan pengelolaan antara dua kubu yang mengaku sebagai pengelola sah Kebun Binatang Bandung mulai awal 2025. Situasi memanas setelah Kejaksaan Tinggi Jawa Barat menyita aset kebun binatang dan menetapkan dua orang, RBB dan S, sebagai tersangka dalam dugaan penguasaan lahan secara ilegal.

Kubu pertama, Yayasan Margasatwa Tamansari yang dipimpin Gantira Bratakusuma dan GM Petrus Arbeny, merujuk pada akta nomor 41 tahun 2024 sebagai dasar legalitas. Sementara itu, kubu John Sumampau mengklaim legalitas berdasarkan akta tahun 2017, yang menurut mereka telah mendapat pengesahan dari Kejati Jabar setelah penyitaan aset tahun sebelumnya.

Tujuh Satwa Mati, Penutupan Mendadak

Imbas dari konflik tersebut muncul dalam bentuk penutupan mendadak Kebun Binatang Bandung pada 3 Juli 2025, yang menimbulkan kekecewaan masyarakat. Kebun binatang dibuka kembali sehari kemudian.

Humas Bandung Zoo Sulhan Syafii menyatakan, penutupan dilakukan demi pembenahan internal. Ia juga mengakui kondisi menjadi tidak kondusif akibat dualisme manajemen. Menurutnya, perawatan satwa sempat terabaikan yang menyebabkan kematian tujuh ekor satwa.

"Satwa yang meninggal itu terjadi antara tanggal 20 Maret sampai yang terakhir kemarin. Salah satunya adalah burung pelikan. Jadi total ada tujuh satwa, termasuk pelikan, yang mati dalam rentang waktu tersebut," kata Sulhan kepada wartawan pada Jumat, 4 Juli 2025.

Namun, Sulhan menjelaskan bahwa pengelolaan dilakukan secara profesional dengan mengedepankan kasih sayang. Kematian satwa terjadi karena faktor alami.

“Profesional kita itu mungkin ala ketimuran, ya. Artinya, kita merawat satwa dengan baik, dengan penuh kasih sayang. Kalau pun satwa mati, itu pun mestinya karena proses alami, bukan karena kelalaian,” ujarnya.

Pernyataan berbeda disampaikan Keni Sultan, peneliti dari Riset dan Konservasi Taman Safari Indonesia (TSI). Keni menyebut tidak ada laporan kematian satwa saat TSI mengambil alih pengelolaan Kebun Binatang Bandung pada 23 Maret 2025.

“Dari data kami, tidak ada kematian satwa rinturong dari 21 Maret sampai 1 Juli. Jika disebutkan ada kematian, individu mana? Tanggal berapa? Kami bisa telusuri karena semua data terdokumentasi dan dibagikan ke Balai Besar,” ujar Keni saat ditemui di Hotel Dago 101, Kota Bandung, Jumat, 4 Juli 2025.

Keni menegaskan bahwa setiap kematian satwa harus disertai berita acara resmi. Taman Safari Indonesia juga menerapkan berbagai prosedur sejak awal, termasuk screening genetika dan trauma. Ia mencontohkan pemindahan siamang bernama Masda dari kandang ke area pameran.

“Kami latih dia perlahan. Ada error sedikit, itu wajar. Tapi kini sudah terbiasa,” jelasnya. Keni juga menekankan pentingnya konsistensi dalam pengelolaan, termasuk waktu pemberian makan satwa yang disesuaikan dengan perilaku alami.

Cafe di Bandung Zoo atau Kebun Binatang Bandung nonaktif dampak dari konflik dualisme manajemen di Bandung, 3 Juli 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)
Cafe di Bandung Zoo atau Kebun Binatang Bandung nonaktif dampak dari konflik dualisme manajemen di Bandung, 3 Juli 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Seruan Etis: Satwa Tidak Boleh Jadi Korban

Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Johan Iskandar menyoroti dampak konflik internal terhadap kesejahteraan satwa. Menurutnya, kebun binatang merupakan bentuk konservasi ex-situ yang bertujuan menyelamatkan spesies langka.

“Tujuannya sangat penting dan mulia, yakni menyelamatkan jenis-jenis satwa langka agar bisa hidup berkelanjutan,” ujar Johan yang juga dosen ahli ekologi manusia, etnobiologi, dan manajemen agroekosistem, Jumat, 4 Juli 2025.

Ia menekankan bahwa semua satwa harus dirawat secara teliti, dan konflik manajemen tak boleh mengganggu prosedur standar. Johan menyatakan bahwa satwa merupakan bagian dari tanggung jawab etis manusia.

“Imbasnya, yang jadi korban adalah satwa-satwa itu sendiri. Padahal, keberadaan mereka sebagai koleksi manusia memberi kita tanggung jawab etis untuk merawatnya dengan benar,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan soal regulasi perlindungan satwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Satwa dilindungi tidak boleh dipelihara, diperdagangkan, atau diburu sembarangan.

“Kita wajib memperlakukan satwa secara bijak dengan memperhatikan ‘keperibinatangan’. Ini bagian dari tanggung jawab moral kita,” tandasnya.

Dari Memori Kolektif Menjadi Pusaran Konflik

Kebun Binatang Bandung, dikenal masyarakat sebagai Dereten, memiliki sejarah panjang sejak diresmikan pada 20 Mei 1933. Penulis Atep Kurnia dalam bukunya Jejak-Jejak Bandung (ProPublic.info, 2020) mengenang masa kecilnya mengunjungi kebun binatang yang menjadi ruang edukasi dan hiburan.

“Di masa kecil, momen tersebut sangat menggembirakan. Betapa tidak, selain dapat mengenal dunia di luar kampung, dapat pula hewan-hewan yang sebelumnya hanya bisa sempat saya lihat pada majalah kanak-kanak di rumah tetetangga,” kenang Atep dalam bab berjudul Dereten Bandung 1930-an.

Menurut Atep, pembangunan kebun binatang diawali inisiatif Dewan Kota dan Bandoeng Vooruit untuk mendirikan Bandungsch Zoologisch Park (BZP). Koleksi awalnya meliputi singa, gajah, hingga burung kasuari. Pendanaan awal mencapai 2.000 gulden.

Atep juga mencatat, berdasarkan arsip media lama seperti Sipatahoenan, jumlah pengunjung pada tahun 1933 mencapai 21.000 orang. Jumlah itu meningkat signifikan di tahun-tahun berikutnya, disertai pembangunan dan promosi dalam ajang seperti Jaarbeurs.

Atep menelusuri harga tiket dan jam kunjung sebagaimana diwartakan oleh Majalalah Mooi Bandung antara 1933-1939. Jadwal kunjungan ke BZP dibuka setiap hari antara pukul 8 hingga pukul 6 sore. Dari 1933-1939 biaya tiket cenderung sama. Dengan rincian, kalangan Eropa dan Timur Asing membayar f.025, anak-anak f.015, pribumi f 01.10, rombongan murid sekolah dan gurunya f.1.

Riwayat dan dokumentasi yang dipaparkan oleh Atep tahun 1930-an tidak hanya memperlihatkan proses pembangunan lembaga konservasi, melainkan mengambarkan juga dinamika sosial, kolonial, dan partisipasi lintas kelompok dalam proyek kebudayaan.

Baca Juga: Satwa Liar Kebun Binatang Bandung dalam Pusaran Sengketa Lahan
Membela Kesejahteraan Satwa di Tengah Konflik Aset Kebun Binatang Bandung

Dari Lahan Warisan ke Aset Sengketa

Kini, Kebun Binatang Bandung menjadi objek sengketa lahan yang kompleks. Sebanyak 11 pihak pernah mengklaim kepemilikan atas lahan seluas 13,4 hektare. Pada 2015, lahan ini bahkan pernah diiklankan di situs jual beli daring dengan harga 1,2 triliun rupiah.

Tercatat juga, pihak Kebun Binatang Bandung pernah membayar sewa ke Pemkot Bandung. Pembayaran sewa lahan dihentikan sepihak sejak 2013, dan tercatat sebagai piutang yang belum dibayar.

Salah satu konflik memuncak sejak gugatan Steven Prartana pada 2021 terhadap Pemkot Bandung, BPN, dan Yayasan Margasatwa Tamansari. Ia mengklaim sebagai pemilik sah dengan dasar girik C nomor 417 dan dokumen perjanjian jual beli. Namun gugatan hingga bandingnya kandas.

Berikutnya, konflik antara Yayasan Margasatwa dan Pemerintah Kota Bandung terjadi hingga berujung pada penyegelan sejumlah aset oleh Kejati. Segel dipasang di kantor opersional, gedung, dan gedung milik yayasan, setelah Kejati menetapkan sita.

Penyegelan itu dilakukan menyusul proses hukum terhadap dua tersangka S dan RBB yang diduga mengusai lahan kebun binatang secara ilegal tanpa menyentor keuntungan ke kas daerah.

Tanggal 23 Mei 2024, Kejati Jabar menetapkan dan menahan mantan Sekretaris Kota Bandung Yossi Irinato atas dugaan korupsi penguasaan aset tanah negara yang digunakan untuk Kebun Binatang Bandung.

Yossi diduga terlibat dalam penyalahgunaan aset Pemkot Bandung yang dikelola oleh Yayasan Margasatwa Tamansari, bersama dua tersangka lainnya, S dan RBB. Akibat perbuatan tersebut, negara mengalami kerugian.

Seusai menjalani pemeriksaan selama delapan jam, Yossi ditahan di Rutan Kebon Waru selama 20 hari. Ia dijerat dengan pasal-pasal dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Namun, konflik belum selesai dengan adanya sengketa antara kubu Gantira Bratakusuma dan GM Petrus Arbeny versus John Sumpauw. Bahkan konflik berlanjut ke ranah hukum dan aksi fisik. Pada 2 Juli 2025, terjadi dugaan pengambilalihan paksa ruang keuangan Kebun Binatang Bandung. Pihak John Sumampau melaporkan kejadian ini sebagai tindak perusakan dan pendudukan ilegal.

Beberapa barang, termasuk perangkat CCTV dan NVR, dirusak dan diambil. Barang-barang ini disebut merupakan bukti dalam kasus korupsi yang sedang ditangani Kejati Jabar, dengan dugaan kerugian negara mencapai 25 miliar rupiah.

“Biar bagaimanapun aset ini aset kota kok. Dan selalu akan jadi milik kota,” kata John Sumampau dalam konferensi pers di Hotel 101 Dago, Jumat, 4 Juli 2025.

John menjelaskan, konflik bermula sejak 2017 saat Romly Bratakusuma menunjuk Tony Sumampau sebagai pengelola. Namun, setelah Romly wafat pada 2022, struktur yayasan diubah sepihak.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//