• Kolom
  • TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Perkebunan Baroe Adjak, Masa-masa Tahun 1960-an #1

TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Perkebunan Baroe Adjak, Masa-masa Tahun 1960-an #1

Kawasan Baroe Adjak terletak di selatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Terletak pada lembah di antara Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Lembang (Bukit Bosscha).

Malia Nur Alifa

Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian

Ilustrasi kawasan Baroe Adjak dalam majalah misi bulanan Kruisheeren tahun 1947 yang didapat dari situs Delpher. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)

12 Juli 2025


BandungBergerak.id – Setiap minggunya saya selalu menanyakan kepada para pembaca setia kolom saya, topik apalagi yang ingin saya bahas dan tuliskan, dan hampir 75  persen para pembaca mengatakan bahwa mereka sangat penasaran akan kisah Baroe Adjak di masa kemerdekaan dan berdasarkan kisah-kisah riset saya di sana selama kurang lebih 8 tahun (dari total 12 tahun riset). Memang ini topik yang sangat “sensitif“ di Lembang, karena kawasan Baroe Adjak ini sangat lekat sekali dengan kasus sengketa tanah, namun di sini saya akan tekankan bahwa yang akan saya bahas hanyalah tentang pengetahuan sejarah kawasan.

Ada beberapa narasumber yang saya temui di Baroe Adjak dalam kurun waktu 8 tahun, mereka kebanyakan adalah mantan pegawai sejak tahun 60-an. Selain itu saya mendapatkan banyak informasi lisan dari keluarga Billy Jansz, karena  pada saat masa pendudukan Jepang, beliau salah satu warga keturunan Eropa yang harus tinggal di kamp interniran Jepang di Baroe Adjak. Selain itu salah satu sumber lisan saya adalah Ronie Noma (Ursone) yang saya temui di pertengahan 2017 hingga awal 2018. Setelah pandemi, saya menemukan data lisan kembali sebagai penutup di 2022 yaitu dari keluarga jongos van Blommestein yang saya temui di Utara Cimahi.

Baroe Adjak dalam majalah misi bulanan Kruisheeren tahun 1947 yang didapat dari situs Delpher. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)
Baroe Adjak dalam majalah misi bulanan Kruisheeren tahun 1947 yang didapat dari situs Delpher. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)
Selain dari kisah-kisah lisan, saya menemukan beberapa kisah tertulis tentang Baroe Adjak, terutama dari  buku, majalah, dan artikel koran yang saya dapatkan dari situs Delpher. Salah satu buku yang menuliskan kisah Baroe Adjak pasca kemerdekaan adalah buku Tonggak- Tonggak Keuskupan Bandung  yang diterbitkan tahun 1984. Di buku tersebut dituliskan bahwa kawasan Baroe Adjak memang terdapat sebuah kapel indah. Bahkan dalam majalah misi bulanan Kruisheeren tahun 1947, dituliskan dengan jelas dan terperinci tentang kapel indah tersebut, dan dilengkapi foto dokumentasinya.

Ketika telah banyak kisah lisan yang saya rangkum, saya menemukan sebuah PDF tentang skripsi tahun 1960 milik R. A. Ma’soem Prawira Subardjah. Beliau menuliskan skripsi dengan judul “Masyarakat Buruh Perkebunan dan Perusahaan Susu Baroe Adjak di Lembang Bandung 1960“. Skripsi ini ditujukan untuk mata pelajaran Sosiografi Indonesia, yang disampaikan untuk Panitia Ujian Jurusan Ilmu Pendidikan Masyarakat, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Padjajaran.

Skripsi ini secara tidak langsung adalah sarana saya untuk “make sure“ tentang data lisan yang selama bertahun-tahun saya kumpulkan. Saya semakin yakin akan data saya tersebut karena apa-apa yang dikatakan para narasumber tersebut juga tertulis nyata pada skripsi. Mungkin dalam tulisan kolom saya beberapa minggu ke depan, saya akan mencoba menjabarkan seperti apa keindahan Baroe Adjak di tahun 1950 dan 1960-an berdasarkan kedua hal tersebut di atas.

Skripsi tahun 1960 karya R. A. Ma’soem Prawira Subardjah tentang Baroe Adjak. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)
Skripsi tahun 1960 karya R. A. Ma’soem Prawira Subardjah tentang Baroe Adjak. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)

Gambaran Baroe Adjak

Baroe Adjak terletak pada suatu daratan yang merupakan sebuah lembah antara Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Lembang (Bukit Bosscha), tepatnya berada di selatan Lembang. Saking luasnya perkebunan dan peternakan susu Baroe Adjak hingga tercatat pada tahun 1933 merupakan peternakan sapi perah terbesar se-Asia Tenggara, dengan jumlah sapi mencapai 3.000 ekor di kawasan Baroe Adjak  saja. Sedangkah 3.000 ekornya lainnya tersebar di wilayah lain seperti kediaman tuan de Root di Cikole (cikal bakal Balai Inseminasi Buatan, sekarang kawasan Balitsa), hingga sapi-sapi tersebut berada di kawasan  Pangjebolan yang tidak jauh dari peneropongan Bosscha.

Luas kawasan Baroe Adjak ini sekitar 360 bau atau kurang lebih 257 hektar. Pabrik susu, kandang ternak dan kompleks perumahan pegawai dan petinggi perusahaan terletak di desa Lembang, sebuah desa yang berada di kecamatan Lembang (Desa Lembang di Kecamatan Lembang). Letaknya kurang lebih 1 kilometer dari Pasar Lembang sekarang, jaraknya dari KM 0 Bandung kurang lebih 15 kilometer.

Pada tahun 1960-an ciri khas dari kawasan Baroe Adjak ini adalah memiliki jalan yang luas. Di kanan kirinya terdapat jajaran bunga mawar merah yang merekah indah dan diselingi pohon cemara (sekarang berganti dengan jajaran pohon kersen yang menjuntai sehingga seperti terowongan).

Ilustrasi kawasan Baroe Adjak dalam majalah misi bulanan Kruisheeren tahun 1947 yang didapat dari situs Delpher. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)
Ilustrasi kawasan Baroe Adjak dalam majalah misi bulanan Kruisheeren tahun 1947 yang didapat dari situs Delpher. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)

Di tengah-tengah perkebunan rumput untuk pakan ternak terdapat jalan-jalan kecil yang memisahkan dengan perkebunan lainnya yaitu kebun kentang, sayuran, jagung dan havermut. Saat itu (tahun 1960) selain pohon belendung terdapat pula sisa-sisa dari perkebunan kina, pohon-pohon kina masih dengan mudah ditemukan di pojok-pojok kebun. Terdapat juga pagar kawat yang sangat panjang, memanjang dari arah timur perkebunan dan peternakan hingga ke arah Cijeruk (Pasar Lembang sekarang) yang saat itu masih merupakan pemakaman tua.

Setiap hari Minggu atau hari-hari libur lainnya, kawasan Baroe Adjak banyak didatangi oleh para pelancong dari luar kota yang hanya sekedar untuk melepas penat, karena hawa dan kondisi dari Baroe Adjak bak tempat tetirah pada saat itu.

Menurut penuturan para narasumber, pada saat itu saking luasnya kawasan Baroe Adjak, maka terdapat pula kawasan-kawasan yang disewakan lahannya kepada para penduduk terutama warga keturunan Tionghoa, dengan sistem memberikan 20 persen dari keuntungan para penyewa tersebut kepada pihak Baroe Adjak. Para petani Tionghoa banyak yang bercocok tanam sayuran dan bunga potong, yang menjadi cikal bakal berkembangnya pertanian bunga hias dan bunga potong di Lembang.

Saat itu perkebunan Baroe Adjak telah mampu menanam kol yang pada saat itu masih jarang ditemui, karena bibit kol belum dapat dihasilkan di Lembang melainkan masih di impor dari negeri Belanda (tahun 1950-1960-an ).

Minggu depan saya akan bercerita tentang denah  Baroe Adjak secara detail, sehingga mampu memberikan gambaran kepada para pembaca tentang indah dan syahdunya kawasan Baroe Adjak ini yang kini kian sekarat dan memprihatinkan.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//