• Opini
  • Jika Saya Jadi Calon Wali Kota Bandung Independen, Siapa Mau Dukung?

Jika Saya Jadi Calon Wali Kota Bandung Independen, Siapa Mau Dukung?

Tugas wali kota adalah memastikan warganya punya akses terhadap negara, yang selama ini justru menjauh.

Delpedro Marhaen

Direktur Yayasan Lokataru

Ilustrasi. Pemilu merupakan ajang demokrasi untuk menentukan pemimpin. (ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

14 Juli 2025


BandungBergerak.id – Saya ingin jujur sejak awal: saya tidak tahu semua masalah di Bandung. Saya tidak punya data lengkap, tidak punya tim riset, dan tidak memiliki akses ke laporan resmi. Tapi saya tahu satu hal –kalau orang muda tidak bergerak, kota ini akan tetap dikuasai oleh mereka yang itu-itu lagi. Mereka yang punya kuasa dan uang, yang korup, menindas, dan telah hafal cara mengatur permainan demi melanggengkan kekuasaan.

Saya bukan siapa-siapa. Tidak dikenal orang. Tinggi saya hanya 165 cm. Berat badan saya 60 kg. Saya bukan anak pejabat, bukan bagian dari dinasti politik, dan tidak memiliki sokongan dari pengusaha besar. Saya tak punya dana untuk menyewa konsultan politik. Bahkan, saya tidak memiliki relawan yang bisa saya bayar. Tapi saya punya satu modal: keyakinan bahwa warga Bandung bisa berpolitik dengan cara yang berbeda. Politik yang lahir dari kekuatan kolektif, bukan dari kontrak dan konsesi.

Saya membayangkan: bagaimana jika kita mengubah cara kita memilih pemimpin kota? Bukan berdasarkan baliho raksasa, bukan karena program-program yang dijanjikan dalam brosur penuh jargon. Tapi karena kita tahu: yang akan jadi wali kota bukan satu orang saja –melainkan ribuan anak muda yang berani mengubah arah kota ini.

Saya –dan kalian– adalah anak-anak muda. Dan karena itu, kita tak perlu takut kehilangan apa pun. Saya bukan sandera politik. Saya bukan pesuruh partai. Tidak ada elite yang harus saya jaga mukanya. Tidak ada beban warisan yang harus saya pertahankan. Kita hadir di ruang publik dengan gaya yang berbeda. Ini bukan soal jaket atau sepatu keluaran terbaru yang mahal, tapi soal ide-ide yang berani. Soal anak-anak muda yang tampil apa adanya, dan berpihak pada kelompok-kelompok rentan yang selama ini tertindas.

Kita tidak perlu ragu untuk bersikap. Kita tidak harus sibuk “menjaga keseimbangan” atau “bermain di tengah.” Kita tahu siapa yang terlalu kuat di atas, dan siapa yang terus diinjak di bawah. Maka, kita tabrak yang di atas, dan kita bela yang di bawah. Itu bukan keberpihakan buta, melainkan keberpihakan yang sadar. Ketimpangan dan ketertindasan sosial yang selama ini terjadi di Bandung telah mengajarkan –dan menuntun– kita untuk teguh dalam sikap ini.

Baca Juga: Bertus Coops, Wali Kota Bandung Pertama
Catatan Minor Dua Abad Bandung
Bandung 24 Jam

Tugas Wali Kota

Saya memang tidak hidup dan tumbuh di tengah penggusuran kota Bandung. Saya tidak besar di rumah-rumah bedeng yang digusur paksa, atau di gang-gang sempit yang dilabeli “kumuh.” Keterpisahan ruang dan waktu saya –dan Anda– dari mereka yang tinggal dan berjuang di sana, tak lantas membuat kita tidak bisa merasakan suasana kebatinan yang sama.

Di kondisi sosial, ruang, dan waktu yang berbeda, kita tetap terhubung oleh satu garis: identitas sebagai anak muda yang menggugat kondisi sosial hari ini. Kita mungkin datang dari masalah yang berbeda, tapi bertemu di garis ketertindasan yang sama –hilangnya jaminan atas masa depan yang lebih baik. Naasnya, hal itu terus-menerus diabaikan oleh kekuasaan yang tak mau berubah.

Maka bagi saya, tugas seorang wali kota bukan menjadi juru selamat dengan segudang janji. Tapi menjadi jembatan dan ruang temu bagi mereka yang paling tahu hidupnya sendiri –dengan segala latar belakang masalah: lingkungan, pendidikan, kesehatan, ruang kota, dan lain-lain. Mereka sendiri yang harus dilibatkan sebagai penentu masa depan mereka. Tugas wali kota adalah memastikan mereka sampai ke titik itu. Memastikan mereka punya akses terhadap negara, yang selama ini justru menjauh. Warga kehilangan kontrol atas orang yang mereka pilih untuk memastikan hak itu dapat dinikmati.

Saya juga sadar bahwa Bandung tumbuh dari kolektif-kolektif dan subkultur yang beragam –komunitas musik bawah tanah, ruang seni alternatif, penerbitan independen, kelompok pecinta sepak bola, forum film, komunitas literasi jalanan– yang tidak semuanya ingin diatur, dan tidak semuanya percaya pada kepemimpinan formal atau hierarki. Dan itu tak masalah. Itu adalah pilihan mereka, dan bagian dari kultur kewargaan kota yang harus dihormati.

Pintu kolektif ini harus terus terbuka. Tapi bukan tugas saya untuk memaksa mereka mempercayai jalur ini. Mereka punya jalan sendiri yang sah dan tidak perlu diseragamkan. Yang perlu kita pastikan adalah: dengan merebut kekuasaan melalui posisi wali kota, kita bisa memastikan negara tidak ikut-ikut mendisiplinkan atau menyeragamkan mereka. Karena itu, kita perlu merebut struktur negara –agar kekuasaan tidak lagi jadi alat kontrol. Sebab jika kita diam, jika kursi itu diduduki orang yang tak memahami nilai ini, cepat atau lambat mereka akan datang menghantam ruang-ruang hidup kita.

Negara tidak selalu harus hadir untuk mengatur kebahagiaan warganya. Negara perlu hadir justru ketika hak-hak mulai dirampas. Selebihnya, biarkan kota ini berdetak dengan cara yang dipilih warganya sendiri. Beginilah seharusnya kota tumbuh: dari ikatan emosional dan partisipasi warga.

Bayangkan, kita bikin rapat-rapat kecil di teras rumah, di warung kopi, di gang-gang sempit, dan di lapangan bola. Kita tidak bahas kampanye, tapi membicarakan masalah-masalah kita sehari-hari: banjir yang terus terjadi di berbagai titik, ruang terbuka hijau yang kian lenyap, anak muda yang bingung mencari pekerjaan, pembangunan olahraga yang tak merata, pedagang kecil yang digusur karena proyek besar, dan berbagai persoalan kewargaan lainnya.

Bayangkan kalau kita bisa membuat program kota dari bawah –bukan dari survei pasar, melainkan dari cerita warga. Dari mereka yang merasakan langsung persoalan. Kita tidak butuh ahli branding politik. Kita hanya butuh keberanian untuk jujur dan mendengar.

Kekuatan Warga

Saya terinspirasi dari mereka yang menang bukan karena kekuatan uang, melainkan karena kekuatan warga. Seperti Chokwe Antar Lumumba di Jackson, Mississippi. Seperti Alexandria Ocasio-Cortez yang mengalahkan politisi kawakan lewat kampanye door-to-door dan donasi kecil. Seperti Brandon Johnson, guru dan aktivis serikat guru yang kini menjadi Wali Kota Chicago. Atau Zohran Mamdani, anak imigran dari Uganda dan India, yang memenangkan kursi legislatif di New York lewat kampanye radikal penuh solidaritas –tanpa kompromi dengan kekuasaan lama.

Mereka semua adalah bukti bagaimana politik kewargaan bisa menang. Politik yang lahir bukan dari ruang rapat elite, tapi dari lorong-lorong rumah warga, dari komunitas, dari gerakan akar rumput. Mereka menunjukkan bahwa kekuatan warga bisa menumbangkan raksasa politik.

Saya tidak tahu apakah saya benar-benar akan maju. Tapi jika saya maju, saya tidak mungkin menang sendirian. Saya butuh kalian semua –bukan sebagai penonton, tetapi sebagai bagian dari politik kewargaan ini.

Saya butuh kalian yang bisa bikin desain poster, yang bisa bikin konten media sosial, yang bisa bantu cetak selebaran. Saya butuh kalian yang bisa masak untuk rapat warga, yang bisa nyanyi di acara komunitas, yang bisa jaga anak-anak saat orang tuanya ikut diskusi kota. Saya butuh kalian semua yang percaya bahwa Bandung bisa lebih adil, lebih ramah, dan lebih hidup –kalau kita kerjakan bersama.

Dan jika di tengah jalan perjuangan ini kita bertemu dengan sosok lain yang lebih layak, lebih siap, dan lebih disepakati secara kolektif untuk maju –maka saya siap digantikan. Sebab ini bukan soal saya. Ini soal idenya. Ini soal bagaimana kita merebut kembali ruang politik untuk warga.

Pilkada mungkin masih lama, setidaknya hingga tahun 2030. Tapi segalanya harus mulai disiapkan dari sekarang. Paling dasar, kita harus bisa mengumpulkan minimal 121.705 salinan kartu tanda penduduk (KTP) dukungan masyarakat –atau 6,5 persen dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Kota Bandung yang berjumlah 1.872.381 jiwa.

Dukungan ini juga harus tersebar di setidaknya 16 kecamatan –atau 50 persen plus satu dari total 30 kecamatan di Bandung. Ini bukan kerja satu-dua orang. Ini kerja yang membutuhkan keterlibatan banyak orang dengan waktu yang sempit. Dan ini hanya akan mungkin, jika kamu ikut ambil bagian.

Kalau kamu membaca ini dan merasa terhubung dalam ide, seraya mengucap, “Saya juga lelah dengan keadaan sekarang,” maka saya ingin bilang: Prung. Géra Tarung!

Kota ini punya sejarah merayakan identitas kewargaan lewat kemenangan yang menyatukan. Saat Persib juara, kita turun ke jalan bukan sekadar merayakan gelar juara –tapi merayakan rasa memiliki. Kita tahu betul bagaimana rasanya menang bersama, tanpa sekat kelas, tanpa perlu undangan. Maka sekarang, saatnya kemenangan politik juga mempersatukan kita –dan kelak, kita rayakan lagi di jalanan.

Sebab kota ini pernah membuat keputusan paling sunyi sekaligus paling lantang dalam sejarah republik: dibakar oleh warganya sendiri, demi sebuah harga diri.

Bandung Lautan Api bukan sekadar cerita heroik dalam buku pelajaran. Ia adalah pengingat –bahwa warga kota ini pernah memilih kehilangan segalanya, daripada tunduk pada kekuasaan yang tak mereka kehendaki.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//