Catatan Minor Dua Abad Bandung
Hari Jadi Kota Bandung ke-213 tahun menyisakan catatan muram tentang sampah, polusi udara, kerusakan lingkungan, konflik agraria, ketimpangan sosial, dan masalah HAM
Hari Jadi Kota Bandung ke-213 tahun menyisakan catatan muram tentang sampah, polusi udara, kerusakan lingkungan, konflik agraria, ketimpangan sosial, dan masalah HAM
BandungBergerak.id - Aktor pantomim Wanggi Hoed bersama sejumlah aktivis lingkungan hidup melakukan aksi Global Climate Strike di hutan kota Kampung Cibarani, persis di sisi Sungai Cikapundung, Bandung, Jumat, 15 September 2023. Sebelum sampai Cibarani, mereka berjalan kaki dari Taman Ganesha ke Taman Cikapayang sebagai titik kumpul aksi.
Setelah dibuka dengan orasi sejenak, iring-iringan mulai berjalan kaki menyusuri rute Jalan Ir H Djuanda sampai ke Simpang Dago. Di persimpangan super sibuk ini, mereka diam beberapa waktu sambil membentang poster, berharap pesan-pesan di setiap bentangan poster bisa menggugah kesadaran warga pengguna jalan.
Dari Simpang Dago, mereka kembali berjalan kaki melewati gunungan sampah di TPS Jalan Siliwangi, dan terus berjalan sampai Teras Cikapundung di lembah Sungai CIkapundung atau kerap disebut Lebak Siliwangi. Kawasan ini dulu disebut Lebak Gede, sebuah lembah dengan sawah dan ladang yang subur.
Rombongan aksi masuk ke gang di sisi Teras Cikapundung. Wanggi Hoed memegang poster dengan tulisan “no mime on a dead planet”. Penampilan Wanggi tampak eksentrik, mengenakan hazmat warna kuning menyala, seluruh wajahnya dirias warna putih dan hitam.
Aksi Wanggi Hoed diikuti para aktivis lain yang membentangkan beragam poster kampanye tentang lingkungan. Mereka terus berjalan mengikuti jalur gang yang meliuk naik turun, menembus permukiman padat penduduk Kampung 200 yang ada di bentaran Sungai Cikapundung, dan berakhir di Kampung Cibarani atau Kampoeng Tjibarani.
Kampung Cibarani adalah ruang publik berlokasi di Sungai Cikapundung. Kampung ini berada di antara tegakan pohon-pohon cukup rapat, membentuk hutan kota yang masih bertahan di pinggiran sungai, sementara hutan-hutan kota Cikapundung ke kawasan hilir nyaris punah dan berganti hutan beton.
Aksi serentak Global Climate Strike ini tak berhenti di Cibarani, para aktivis kembali turun ke jalan saat car free day Dago berlangsung pada tanggal 17 September 2023. Narasi yang digaungkan masih sama, tentang perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, dan tentu saja masalah penanganan darurat sampah Kota Bandung.
Aksi ini merupakan sebuah gerakan global yang mengajak seluruh masyarakat, terutama orang-orang muda, untuk menyuarakan tuntutan pada pemerintah dan perusahaan-perusahaan besar agar lebih serius dalam mengatasi krisis iklim akibat industrialisasi yang membabat hutan-hutan tropis di Indonesia dan di tempat lain di dunia. Suhu global saat ini lebih tinggi dari 1,5 derajat celsius. Hal ini menjadi peringatan di tengah masifnya industrialisasi.
Bulan September ini jadi bulan istimewa buat Kota Bandung, yaitu Hari Jadi Kota Bandung atau HJKB ke-213 tahun. Titimangsa tersebut diambil ketika Bandung masih berstatus kabupaten. Dahulu Bandung direncanakan menjadi ibu kota Hindia Belanda, bahkan pernah diusulkan jadi ibu kota sementara pemerintahan darurat Kerajaan Belanda saat Perang Dunia II meluluh lantakan Eropa.
Dari semula kota ini dirancang untuk populasi di bawah 1 juta jiwa. Kini Bandung dipadati 2.469.589 jiwa (data BPS hasil proyeksi tahun 2023), belum termasuk penduduk komuter atau perantau yang belum terdata atau tercatat data kependudukan.
Di bulan September ini juga Kota Bandung diwarnai dengan berbagai masalah pelik terkait padatnya penduduk : polusi, sampah, kerusakan lingkungan, konflik agraria, pelanggaran tata ruang, dan ancaman penggusuran bangunan heritage demi pembangunan jalan layang, sampai masalah pelanggaran HAM.
Setelah digegerkan dengan aksi brutal aparat kepolisian saat membubarkan aksi warga permukiman Dago Elos, di mana polisi menembak gas air mata ke permukiman lalu menangkapi warga yang berunjuk rasa, termasuk memukul dan mengancam wartawan peliput kerusuhan. Aksi kekerasan ini ditanggapi dengan aksi unjuk rasa sejumlah organisasi wartawan di depan Polrestabes Bandung di Jalan Merdeka.
Setelah itu, Kota Bandung kembali dihantui status darurat sampah seperti yang sudah-sudah. Kota ini merupakan produsen sampah terbesar di Bandung Raya, namun penanganannya masih mengandalkan sistem pembuangan landfill di Sarimukti. Saat TPA Sarimukti lumpuh, lumpuh juga sistem pembuangan sampah di kota.
Lalu Pemerintah Kota Bandung berencana membangun tempat pengolahan sampah terpadu di eks TPA Cicabe. Sampah akan dibakar dengan teknologi berbasis RDF dan hasil pembakarannya jadi pelet-pelet pengganti batu bara yang akan diserap oleh pabrik-pabrik besar sebagai bahan bakar pengganti batu bara.
Rencana ini ditolak warga permukiman di sekitar Cicabe. Poster dan spanduk-spanduk besar berdiri mulai dari jalan raya sampai akses ke Cicabe yang lokasinya berdampingan dengan kompek-komplek permukiman.
Belum habis masalah sampah, tiba-tiba pepohonan besar di depan bangunan RPH Ciroyom sekaligus kantor Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung di Jalan Arjuna telah dibabat. Rencananya, di sana akan dibangun jalan layang Ciroyom.
Jalan Layang Ciroyom dibangun untuk mendukung kelancaran feeder kereta cepat Jakarta Bandung dari Padalarang ke Kota Bandung dengan menggusur bagian depan bangunan cagar budaya kelas A RPH Ciroyom. Bandung Heritage mendesak pemerintah meninjau ulang penggusuran bangunan cagar budaya tersebut karena akan jadi preseden buruk jika diteruskan.
Rumah pemotongan hewan rancangan G. Hendriks dan E.H. De Roo dibangun tahun 1928 dan beroperasi tahun 1935. RPH Ciroyom berdekatan dengan stasiun kereta dan bandara untuk mempermudah distribusi ternak.
Di tengah konflik dan permasalahan yang tak berkesudahan, Kota Bandung masih menampilkan upaya-upaya agar wajah kota tercinta ini tak terlalu kumuh dan tercoreng. Berbagai festival dan parade atau helaran digelar.
Ratusan peserta dengan pakaian warna warni bergaya kontemporer, tradisional, atau perpaduan keduanya, melenggang di jalan-jalan raya paling ikonik di Kota Bandung. Sebut saja di Dago, Jalan Diponegoro, dan Jalan Asia Afrika. Seperti sebuah bentuk penegasan bahwa Bandung tetap eksis sebagai barometer kota kreatif di negeri ini.
Masih di jalanan, bentuk penegasan lain juga disuarakan oleh mereka yang dianggap minoritas, nyaris sunyi, jauh dari gembar gembor. Seperti aksi September Hitam yang digagas di ruang publik hanya untuk mengingatkan peristiwa pelanggaran HAM yang tak tuntas terungkap hingga kini.
Aksi tersebut juga menegaskan aparat keamanan masih tetap menangani segala konflik atau aksi unjuk rasa yang panas dengan represi. Tak ada yang namanya HAM di aksi-aksi unjuk rasa panas yang berakhir rusuh. Kerusuhan antara mereka yang bersenjata melawan warga sipil.
Lebih dari dua abad Bandung berdiri, segala sampah, polusi udara, kerusakan lingkungan, konflik agraria, ketimpangan sosial, dan masalah HAM, masih jadi catatan-catatan yang dianggap kecil dan remeh tapi tak pernah tuntas penanganannya. Catatan-catatan kecil ini tenggelam dalam jargon yang diusung pemerintah kota, Bersatu dalam Kolaborasi Wujudkan Bandung Unggul.
*Foto dan Teks: Prima Mulia, simak cerita foto BandungBergerak.id lainnya
COMMENTS