• Narasi
  • Rumah Cinta Insani, untuk Mereka yang Berjuang namun Terlupakan

Rumah Cinta Insani, untuk Mereka yang Berjuang namun Terlupakan

Rumah Cinta Insani menjadi rumah singgah bagi mereka yang tengah berjuang menjalani pengobatan rutin di rumah sakit.

Namira Wahyudia

Mahasiswa Jurnalistik Universitas Padjadjaran (Unpad). Redaksi Pers Mahasiswa, dJatinangor.

Rumah Cinta Insani. (Foto: Namira Wahyudia)

14 Juli 2025


BandungBergerak.id – Di balik pintu sederhana sebuah bangunan yang berdiri di tengah hiruk pikuk Kota Bandung, ada puluhan cerita yang tidak terucap namun sangat terasa. Rumah Cinta Insani, di Jalan Kaum Cipaganti 2, disebut sebagai Rumah Singgah, bukan sekadar tempat berteduh melainkan penawar luka, penyambung nyawa, dan rumah dalam makna cinta sesungguhnya. 

Galih (16 tahun) merupakan pasien tertua di Rumah Cinta Insani. Kondisi finansial yang terbatas, kondisi tubuh yang melemah, ditambah langkah yang terhalang oleh kilometer bisu, membuat perjalanan berobat pulang-pergi menjadi tidak mungkin dilakukan. 

“Saya sakit Leukimia sejak 2023. ⁠Saya lelah tetapi saya masih bersemangat untuk berobat dan Insyaallah saya akan sembuh. Rumah Cinta membuat saya terbantu dan nyaman, di sini saya merasa baik-baik saja,”  ucap Galih.

Galih tidak sendiri. Saat ini ada 25 pasien yang  berbagi dalam empat kamar, bahkan gudang dimaksimalkan untuk tempat mereka beristirahat sejenak. Pasien yang berusia di bawah lima tahun, tinggal ditemani ibu atau ayahnya, penghuni Rumah Cinta menyebutnya sebagai “pendamping”.  

Jika dihitung-hitung, sejak tahun 2011 sudah lebih dari seribu orang yang pernah berteduh di Rumah Cinta. Memori yang kini abadi dalam dinding sunyi dan pelukan waktu. 

Rumah Cinta ini tidak memungut biaya sepeser pun dari penghuninya. Banyak dari mereka yang datang dari daerah yang jauh, dan bersinggah di sini karena harus menjalani perawatan secara rutin. Tempat ini menjadi rumah kedua mereka yang sedang menjalani pengobatan. 

“Jika mereka tidak menyerah dalam sakit dan kekurangan, bagaimana mungkin kita menyerah dalam upaya membantu mereka?” kata ketua Rumah Cinta Insani, Henri (40 tahun).

Rumah Cinta tak lahir dari kelebihan, melainkan tumbuh dari luka. Berawal dari Supendi, sosok yang kini berada di alam yang kekal. Kala itu ia memiliki anak pejuang kanker yang harus menempuh perjalanan jauh, tanpa cukup ongkos, hanya berbekal cinta dan harap.

Tidur di lorong-lorong rumah sakit menjadi hariannya dengan buah hati sembari menunggu panggilan berobat di salah satu rumah sakit Bandung yang menempuh perjalanan jauh dari tempat tinggalnya, Garut. Bukan karena pilihan, tapi karena tidak ada tempat lain. Hari demi hari dilewati, namun takdir berkata lain, buah hatinya tak tertolong dan pergi mendahuluinya dalam pelukan waktu. 

Di tengah luka dan lelah, Supendi tergerak hatinya melihat bukan hanya ia jiwa yang berjuang, melainkan banyak jiwa senasibnya. Bermodal niat dan dana seadanya, lahirlah Rumah Cinta. Dengan harapan cinta yang memiliki bentuk kasih sayang, berlandaskan nilai kasih dan ketulusan untuk para jiwa yang berjuang. 

Udara harapan memenuhi ruang dan kesedihan yang diam-diam membentuk dinding kekuatan. Dinding sederhana ini makin kokoh bermodal kebersamaan yang mereka bangun sehari-hari. 

Sharing love, program kecil mingguan yang mereka isi dengan berbagi motivasi antara pasien satu dengan yang lain. Cerita demi cerita mengalir, tentang harapan yang nyaris padam dan tentang tubuh lelah namun hati tetap berjuang. Berbagi peluk dan sorotan mata pasien yang harus menanggung beban di usianya yang belia. 

Baca Juga: Kabar dari Para Penyintas
Rumah dan Kesejahteraan untuk Manusia Gerobak
Pekerjaan Rumah Pemkot Bandung Memberikan Pelayanan Maksimal Bagi Warga di Kantong-kantong Padat Penduduk

Lentera di Balik Dinding Rumah Cinta

Pendamping bukan hanya orang tua, terdapat relawan yang merupakan secercah cahaya, mereka berjumlah 8 orang yang ikut andil dari segi pikiran, air mata, tenaga, bahkan biaya. 

“Kita pasti usahakan buat menuhin itu semua. Misalnya lagi enggak ada donor ya pake dana sendiri, sebisa-bisa kita kebutuhan pasien kita penuhin. Apalagi soal medis, pasti kita utamain itu,” tutur Davika (23 tahun), relawan Rumah Singgah yang telah 4 tahun mengabdi.

Namun, menjaga cahaya tetap menyala di rumah cinta bukan perkara yang mudah. Tak ada donatur tetap, sehingga tak ada jaminan besok masih ada cukup dana untuk mengantar ke rumah sakit, makan, dan membeli susu.

Tanpa dukungan tersebut, para relawan kerap menjadi tumpuan terakhir. Mereka merogoh kocek pribadi demi memastikan kebutuhan pasien tetap terpenuhi.  

“Kita bikin rumah cinta ini sebagai rumah edukasi dan motivasi,” ucap Davika. 

Untuk mereka yang seharusnya sekolah dan bermain tanpa harus merasa berbeda, seakan menambah luka yang tak tampak makin mendalam dalam jiwanya. Edukasi dan motivasi menjadi satu di rumah ini. Meski demikian, hingga kini, belum ada tenaga profesional seperti guru atau psikolog dan pendamping spiritual yang rutin mendampingi pasien. Bukan abai, tetapi karena keterbatasan sumber daya dan dana yang masih menjadi tantangan. 

Galuh (16 tahun) pasien Leukimia di Rumah Cinta Insani. (Foto: Namira Wahyudia)
Galuh (16 tahun) pasien Leukimia di Rumah Cinta Insani. (Foto: Namira Wahyudia)

Bisikan untuk Sang Penguasa

Bertahan dengan donatur selayaknya sang penguasa tak pernah “mengatur”. Berjuang pada cintanya sendiri, kritik kerja dan kolaborasinya-pun sungkan terdengar di telinga mereka yang memerlukan cinta. 

Kayak bantuannya, atau misalnya sekedar apa ya, hadir atau mampir gitu, enggak ada sih gitu. Bantuan yang saya tahu hanya pas waktu Covid, gitu aja,” tutur Davika.

Walau Rumah Singgah ini terdaftar secara resmi di Kementerian Sosial dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, untuk mendukung perjuangan, mereka mencari sendiri dengan mengandalkan donatur. 

“Misalnya enggak ada fasilitas Rumah Singgah, penglihatan saya, banyak anak-anak yang dengan penderita sakit beratnya, enggak bertahan lama sih,” ucap Davika. 

Ia juga menjelaskan kalau fasilitas untuk pasien mulai dari ongkos perjalanan dan makanan, Rumah Singgah ini akan berjuang untuk memenuhi itu.

“Kalau misalnya tidak ada fasilitas ini, kenapa saya bilang enggak bertahan lama? Soalnya tidak ada dukungan dari mana-mana mereka tuh. Jadi cepat nyerah aja, kalau misalnya enggak ada bantuan kayak di Rumah Singgah itu,” jelasnya. 

Saat ini mereka memiliki kendaraan operasional biasa difungsikan sebagai mobil antar-jemput pasien. Sayangnya, hal ini masih kurang optimal. Davika menjelaskan dalam situasi mendesak, risiko keterlambatan penanganan dapat meningkat, sehingga keberadaan ambulans, menjadi penting untuk membantu mempercepat penanganan medisnya.

Henri selaku ketua yayasan Rumah Singgah, bertutur bahwa Rumah Singgah ini dapat bertahan karena ia melihat anak kecil yang tetap tersenyum menahan nyeri dan seorang ibu yang tetap kuat demi keluarganya. Hal ini membuatnya menjadi kekuatan tersendiri. 

“Pemerintah cenderung berfokus pada aspek medis, padahal pasien kanker juga butuh dukungan mental, rohani, dan sosial yang tidak kalah penting dalam proses penyembuhan. Rumah Cinta sebagai proses sementara untuk pasien luar kota yang sedang menjalani pengobatan, kami sediakan tempat tinggal, makanan sehat dan suasana yang mendukung proses pemulihan mereka,” kata Henri.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//