• Berita
  • Pekerjaan Rumah Pemkot Bandung Memberikan Pelayanan Maksimal Bagi Warga di Kantong-kantong Padat Penduduk

Pekerjaan Rumah Pemkot Bandung Memberikan Pelayanan Maksimal Bagi Warga di Kantong-kantong Padat Penduduk

Warga di kantong padat penduduk Kota Bandung membutuhkan akses ke lapangan pekerjaan, permukiman, peningkatan kapasitas. Ini menjadi tanggung jawab Pemkot Bandung.

Awan hitam di atas Jalan Layang Pasteur Surapati (Pasupati) yang melintasi Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung, 26 Februari 2021. (Foto: Iqbal Kusumadirezza/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana5 Juli 2024


BandungBergerak.idPermasalahan sosial di Kota Bandung tumbuh semakin kompleks seperti berlomba dengan kepadatan penduduk yang bertambah setiap tahunnya. Fenomena pertambahan penduduk ini tentu menjadi tanggung jawab Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung mellaui penyelenggaraan program-program layanan publik bagi semua lapisan masyarakat termasuk warga miskin kota.

Khusus di kantong-kantong padat penduduk Bandung, layanan publik tersebut menjadi hal krusial. Warga di sana membutuhkan akses pekerjaan, permukiman, peningkatan kapasitas SDM, peningkatan akses terhadap aset produktif dan pinjaman sosial hingga pengembangan dan penjaminan keberlanjutan usaha.

"Untuk meminimalkan kantong kemiskinan dengan upaya peningkatan akses dan layanan infrastruktur dan peningkatan konektivitas antar wilayah," ujar Penjabat Wali Kota Bandung Bambang Tirtoyuliono, dalam keterangan resmi, diakses Jumat, 5 Juli 2024.

Bagaimana data berbicara tentang kemiskinan Kota Bandung? Jumlah penduduk miskin tahun 2023 memang turun menjadi 102.80 ribu jiwa. Tahun 2022 jumlah kemiskinan 109.82 ribu jiwa, dan sebanyak 112.50 ribu jiwa di tahun 2021.

Garis kemiskinan penduduk miskin Kota Bandung tahun 2023 sebesar 591.124 rupiah per bulan per kapita. Angka ini meningkat, dari tahun 2022 sebesar 545.675 rupiah, dan tahun 2021 sebesar 515.936 rupiah per bulan per kapita.

Peningkatan tersebut bukan berarti penghasilan penduduk miskin Kota Bandung meningkat, karena ada faktor inflasi yang membuat nilai tukar rupiah merosot. Sebagai gambaran, dalam penelitian berjudul “Perkampungan di Perkotaan Sebagai Wujud Proses Adaptasi Sosial Daerah Jawa Barat” yang ditulis Dasum Muanas, Surachman, Nia Masnia, dan Tisna Sopandi (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), membeberkan tolok ukur kemiskinan di masa lalu.

“Tolok ukur yang telah dibuat pada tahun I 976/1977 dan digunakan di Indonesia untuk memasukkan orang ke dalam golongan miskin adalah pendapatan sebuah rumah tangga/ bulan sebesar 30.000 rupiah atau kurang,” tulis Nia Masnia dkk.

Tolok ukur lainnya untuk mengukur kemiskinan tahun 70-an tersebut adalah batas menimal jumlah kalori yang dikonsumsi yang diambil persamaannya dalam beras, yakni mereka mengkonsumsi kurang dari 320 kilogram beras di desa dan 480 kilogram beras di kota perorangan per tahun.

Berkaca dari sejarah tersebut, tolok ukur kemiskinan sekarang sudah jauh berubah dengan nilai rupah yang berubah pula. Menurut data terkini, garis kemiskinan jauh mengalami kenaikan. Tetapi nilai tukar rupiahnya jauh lebih merosot dan membuat warga miskin tetap berada di bawah garis kemiskinan.

Baca Juga: Menanti Optimalisasi Program Pemkot Bandung dan Pemprov Jabar untuk Menurunkan Angka Kemiskinan
Menghindari Euforia Kemerdekaan, Mengentaskan Kemiskinan
Konser Kemiskinan dan Kelaparan KPJ untuk DPRD dan Pemkot Bandung

Prioritas untuk Kantong Padat Penduduk

Warga miskin kota umumnya tinggal di kantong-kantong padat penduduk yang sulit mendapatkan akses pelayanan publik dari Pemkot Bandung. Ada banyak faktor yang meningkatkan kantong-kantong padat penduduk, di antaranya urbanisasi.

Arif Budiyanto, dalam penelitian Studi Tingkat Kekumuhan Permukiman di Sempadan Cikapundung dan Sempadan Jalur Kereta Api Kota Bandung (Universitas Pendidikan Indonesia, 2010) menjelaskan, arus urbanisasi yang mengalir ke daerah perkotaan menyebabkan pertumbuhan penduduk kota meningkat dengan pesat. Akibatnya, terjadi persaingan ketat dalam penggunaan ruang dalam kota.

“Dampak negatif urbanisasi yang telah berlangsung selama ini lebih disebabkan oleh tidak seimbangnya peluang untuk mencari nafkah di daerah perdesaan dan perkotaan, sehingga memunculkan adanya daya tarik kota yang dianggap mampu memberikan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat perdesaan atau luar kota,” terang Arif Budiyanto.

Di sisi lain, latar belakang modal para pendatang sangat terbatas. Modal ini dalam bentuk uang, pendidikan, maupun keterampilan. Maka, lapangan pekerjaan yang dapat mereka akses sangat terbatas. “Sehingga tingkat pengangguran baik itu pengangguran terbuka, setengah pengangguran, pengangguran terselubung semakin tinggi yang berdampak pada tingginya tingkat kemiskinan di perkotaan,” tulis Arif.

Arif juga memotret laju pertumbuhan penduduk Kota Bandung dari tahun ke tahun yang terus meningkat. Kepadatan penduduk antara tahun 2004-2008 yang meningkat signifikan. Tahun 2004 sebanyak 13.346 jiwa per kilometer persegi, tahun 2018 menjadi 14.192,11 jiwa per kilometer persegi.

Berdasarkan Rencana Kerja Pembangunan Daerah 2009, ada beberapa daerah yang dikenal kantong-kantong padat penduduk di Kota Bandung, yaitu Bandung Kulon 120.733 jiwa, Batununggal (117.753 jiwa), Kiaracondong (115.305 jiwa), Babakan Ciparay (108.725 jiwa), Bojongloa Kaler (106.867 jiwa), Cibeunying Kidul (100.927 jiwa).

Menurut Arif, penduduk yang hidup di lingkungan permukiman padat pada umumnya tidak memiliki cukup uang untuk membeli dan mendirikan rumah tinggal layak, sehingga mereka tinggal di sembarang tempat termasuk di daerah-daerah marginal.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain tentang Kemiskinan Kota Bandung dalam tautan berikut ini

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//