Berteman dengan Derasnya Air, Mereka yang Tak lagi Mengenal Keheningan
Salon motor San Wash di Jatinangor, Sumedang, menjadi tempat bekerja sekaligus rumah bagi teman Tuli.
Maulida Hasna Haniifa
Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
15 Juli 2025
BandungBergerak.id – Gemercik air mengalun merdu, mengiringi irama ramainya jalanan Jatinangor, Selasa 20 Mei 2025. Siang hari yang sangat terik. Tentu mustahil jika air berasal dari langit-langit yang murung. Air ini justru menjadi sumber kehidupan bagi beberapa teman Tuli. Nyaris tak pernah berhenti mengalir, air itu berasal dari sebuah bangunan kecil salon motor San Wash yang berada di pinggir Jalan Hegarmanah, Jatinangor, Sumedang. Di sana, teman tuli tak mengenal keheningan, yang ada justru alunan deras air yang menyejukkan mereka.
San Wash memiliki keunggulannya tersendiri dibandingkan salon motor umumnya. Tak hanya bergelut pada jasa pencucian motor, tapi sekaligus menjadi bengkel. San Wash juga bukan sembarang salon motor, tempat itu juga merupakan rumah bagi sebagian teman Tuli. Mereka adalah Ilsan, Egi, Rizky, Farid, Aldi, Saiful, Rey, dan Mario. Delapan teman Tuli, usianya berkisar 19-24 tahun, mereka meneduh bersama di sana bersama derai air untuk menyambung hidup. Tidak hanya berasal dari Sumedang, beberapa dari mereka juga berlayar dari beberapa daerah tetangga, yakni Cimahi, Cipadung, dan Bandung. Komunitas dan sekolah, membuat mereka bermuara di sana.
San Wash hadir dari inisiatif pemilik San Wash H. Dadang Kosasih bersama Wahyu dan teman-temannya untuk memberikan ruang kerja yang aman bagi teman Tuli. “Awalnya kan kita kasihan sama anak disabilitas, awalnya mereka tuh nyari kerja juga. Kesusahan kerja juga ada yang jadi ojek, kasir, kerja. Enggak lama dari keluar itu timbullah rasa iba,” kata Wahyu.
Tak melirik keuntungan, San Wash memegang prinsip agar tidak membatasi ruang gerak mereka dalam mencari pekerjaan. Bagi teman Tuli, San Wash jauh lebih seperti rumah, dibandingkan sebuah tempat mencari nafkah.
“Yang penting selama mereka enggak kerja, selama mereka nganggur di sini aja dulu. Tapi, setelah ada profesi yang lebih baik ya silakan gitu, jadi kita gak maksa mereka selamanya di sini tuh enggak,” kata Wahyu.
Bahkan, San Wash tidak memiliki pembagian kerja tetap bagi teman Tuli. Salon motor ini hanya berorientasi pada kenyamanan dan keamanan bagi mereka. Hal ini membuat sebagian dari mereka ada yang juga sedang bekerja di tempat lain, ada pula yang masih duduk di bangku SMA. Namun, San Wash, akan selalu menjadi tempat untuk “pulang” entah di mana mereka berpetualang.

Baca Juga: Kisah A’ Onong, Mantan Ojol yang Sukses dengan Usaha Kuliner Viral di Jatinangor
Menyelami Sunyinya HOWL, Sudut Literasi Baru di Kota Bandung
Rumah Cinta Insani, untuk Mereka yang Berjuang namun Terlupakan
Harapan di Balik Nama San Wash
Ia adalah Ilsan. Ia anak sulung H. Dadang Kosasih, pemilik San Wash. Ilsan yang juga merupakan teman tuli, menjadi motivasi H. Dadang dalam membangun San Wash,
“Kenapa Bapak menampung anak-anak disabilitas? Karena salah satunya itu, anak Bapak juga sama,” tuturnya.
Ilsan selalu menjadi motivasi di balik kehidupan H. Dadang. Semasa hidupnya, ia selalu bergelut dengan bisnis. Tak hanya salon motor, nama Ilsan juga tersimpan dalam bisnisnya yang lain. Seperti usaha air mineral yang diberi nama Sankey (Ilsan dan Keyla), juga CV Alpaiji yang diambil dari nama lengkap Ilsan.
“Saya angkat pokoknya. Pengen mengangkat harga derajat beliaulah. Biar dia itu, enggak dipandang sebelah mata. Saya gak mau anak saya itu disepelekan sama orang,” kata H. Dadang.
Ia sangat berharap, agar nama Ilsan yang terus diselipkan dalam kehidupannya akan menjadi berkah, baik untuk Ilsan maupun keluarganya. Ilsan juga yang membawa teman-temannya bernaung di San Wash. SLBN Cicendo serta komunitas teman Tuli menjadi awal pertemuan mereka.
“Dulu juga cita-cita Bapak, mau berdayakan anak-anak disabilitas,” ucap H. Dadang.
Ilsan menyarankan agar H. Dadang turut mempekerjakan adik kelasnya. Ada pula dari mereka yang akhirnya ikut tinggal bersama keluarganya. “Termasuk ada temennya, orang Sumedang baru kemarin pulang. Dia tidur di sini,” kata dia.
Selain karena anak sulungnya, H. Dadang, Wahyu, dan teman-temannya membuka San Wash sebagai harapan awal setelah usahanya diterpa badai Covid-19.
“Awalnya dulu bengkel, cuman selama dua tahun berhenti (pasca Covid-19). Baru setelah itu kita aktifin lagi dengan cucian motor. Nah, awalnya ini bengkel, awal dulu emang dulu bengkel. Cuman selama 2 tahun lah berhenti. Kita aktifin lagi dengan pencucian motor. Akhirnya mereka mau (kerja) anak-anak disabilitas gitu kan,” kata Wahyu.

Autentik dan Unik
San Wash, bukan sekadar tempat cuci motor biasa. H. Dadang dan kawan-kawannya mengedepankan konsep salon motor untuk tempat usaha baru mereka. Target utama pasarnya adalah mahasiswa dan ojek online. San Wash resmi dibuka pada 1 Juli 2024 silam.
“Beda dari yang lain, mau enggak saya bilang. Jangan umum kayak orang lain cuci motornya. Mau, konsepnya apa? Salon. Tapi kita anggap pencucian motor,” Wahyu mengungkapkan idenya kala itu.
Sebagai pembeda, San Wash memiliki empat tahapan dalam mencuci sekaligus memoles kendaraan beroda dua.
“Pertama sabun, yang kedua pembersih log mesin, finishing buat ngelapin, keempatnya semir. Kenapa di sini banyak masuk karena konsepnya salon, kalo pencucian biasanya kan banyak tempat lain,” lanjut Wahyu menjelaskan.
Selain menghadirkan pemberdayaan penyandang disabilitas, San Wash juga mengutamakan kepuasan pelanggan. Dengan modal Rp 700 ribu/bulan, mereka sudah bisa meraup keuntungan 10 kali lipatnya. Rahasia di baliknya adalah sabun dan pembersih blok mesin yang mereka produksi sendiri.
“Mulai dari sabun, pembersih blok mesin kita bikin sendiri. Awalnya saya RnD dari pabrik, jadi saya bikin sendiri aja daripada beli. Lebih murah,” jelas Wahyu.
Inovasi ini menyelamatkan mereka dari kerugian. Padahal, beberapa kali mereka mencatat pemasukan sangat minim, terutama saat hujan turun sejak pagi hari. Kebiasaan mereka dalam mencatat juga masih sangat dilestarikan.
“Manual gini kan jadi jujur,” kata Wahyu.

Dalam era digital ini, mereka masih mengedepankan catatan tulis. Saat sebagian besar pelaku usaha mengadaptasi teknologi digital dalam merekap keuangannya, San Wash tetap setiap pada buku tebal bergaris yang sudah mulai menguning di tepinya.
Buku yang mencatat setiap pendapatan yang diperoleh menjadi saksi bisu pemasukan mereka setiap harinya. Dalam catatan di buku tersebut misalnya terlihat bahwa pemasukan hari itu baru menghasilkan Rp 237 ribu karena hujan turun jam 10 pagi. “Kita dari pagi sampe sore kita ngelamun,” kata Wahyu.
Jika hari cerah seharian, mereka dapat meraup hingga Rp 900 ribu.
San Wash memang tidak lazim disebut sebagai salon motor pada umumnya. Teknologi berhenti di ujung selang air dan mesin cuci steam. Sisanya adalah kehangatan yang tak dapat kalian rasakan di salon motor biasa. Kehangatan dari teman-teman Tuli yang akan meneduhkan pelanggan dengan pelayanan yang tak kalah apik. Mereka yang bekerja dengan ulet dan teliti, demi terwujudnya kepuasan pelanggan.
San Wash mungkin hanya sebatas ruang kecil di sudut Jalan Hegarmanah. Menjadi saksi bahwa H. Dadang, Wahyu, dan teman-temannya berhasil memberdayakan para teman Tuli. Di dalamnya mengalun suara paling nyaring, dari mereka yang tak bersuara. Tak peduli bahwa bagaimana semua orang dilahirkan, mereka mempunyai hak yang sama untuk dihargai, untuk bekerja, untuk dimanusiakan. Dengan uluran tangan dan dengan hati.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB