MULUNG TANJUNG #3: Merajut dan Merenda, Hobi dengan Banyak Manfaat
Merajut ataupun merenda kini bukan lagi kegiatan nenek. Banyak laki-laki dan perempuan muda yang tidak sungkan menjalankan hobi merajutnya, bahkan di tempat umum.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
16 Juli 2025
BandungBergerak.id - "Kamu merajut? Ngapain? Kaya nenek-nenek!", begitu komentar seorang teman di media sosial pada postingan saya tentang hobi merajut yang saya lakukan. Tentu saja hal itu menarik beberapa teman perajut untuk berkomentar.
Lalu benarkah merajut adalah kegiatan yang identik dengan sosok nenek-nenek? Eh... jangan salah, sekarang banyak perajut muda laki-laki dan perempuan yang ganteng dan cantik yang tidak sungkan melakukan hobi merajutnya bahkan di tempat umum sekalipun.
Lalu bagaimana awal mula munculnya seni merajut di dunia?
Antara Merajut dan Merenda
Merajut (knitting) adalah satu kegiatan menjalin benang menjadi satu benda baru dengan menggunakan dua jarum runcing.
Merenda (crochet) adalah kegiatan menjalin benang menjadi satu benda baru dengan menggunakan satu jarum yang mempunyai kait di ujungnya.
Alat untuk merenda disebut hakpen. Hakpen yang banyak ditemukan pada saat ini terbuat dari bahan logam seperti alumunium, baja nirkarat (stainless), dan baja, padahal banyak bahan lain yang juga bisa digunakan sebagai bahan pembuat hakpen, di antaranya: kayu, bambu, tulang, dan banyak lagi.
Merenda disebut juga croche dalam bahasa Prancis, crochet dalam bahasa ,Inggris dan hakken dalam bahasa Belanda. Lalu dari mana asal seni merajut yang kita kenal sekarang ini?
Sejarah Merajut dan Merenda
Dari mana asalnya kegiatan merajut dan merenda ini tidak diketahui secara pasti, karena banyak pihak yang mengklaim menjadi pihak yang pertama kali menemukan seni menjalin benang ini, sebutan saja Arab dan Timur Tengah, Eropa, Amerika, juga Tiongkok. Namun orang-orang Timur Tengah yang terkenal dengan rute perdagangan yang mendunia diperkirakan membawa seni kait benang ini di dalam jalur perdagangan mereka.
Mademoiselle Reigo De la Branchardiere seorang perempuan yang lahir di Inggris pada tahun 1828 dari seorang ibu Irlandia dan ayah Prancis, menulis pola rajutan pertamanya. Dan pada usia 18 tahun, di tahun 1846, Mademoiselle Reigo menerbitkan sebuah buku pola rajutan yang berjudul Knitting, Crochet, and Netting, yang membuatnya dikenal sebagai seorang pelopor rajutan (Kate Curry).
Merenda dan merajut, konon keduanya lahir dari teknik yang disebut dengan Nålebinding, bahasa Denmark, yang secara harfiah artinya mengikat dengan jarum. Nålebinding tertua yang diketahui diyakini berasal dari tahun 6500 SM.
Pada tahun 1823, sebuah majalah Belanda yang bernama Penelope, menerbitkan pola pertama untuk tiga buah tas rajutan. Terdapat tiga macam tusukan pada pola tersebut, tusuk dasar rajutan terbuka sederhana, tusuk dasar rajutan setengah terbuka, dan tusuk rajutan ganda.
Baca Juga: MULUNG TANJUNG #1: Senandung Kembang Liar di Bandung Baheula
MULUNG TANJUNG #2: Makna Mendalam dari Sebuah Lagu
Popularitas Rajutan
Pada era Victoria, yaitu antara tahun 1837 sampai dengan 1901, rajutan mengalami peningkatan popularitas, di mana pada saat itu banyak pakaian, aksesoris, dan barang-barang untuk dekorasi rumah yang menggunakan teknik rajutan dalam pembuatannya. Selain itu banyak pola rajutan serta buku-buku tentang rajutan yang diterbitkan, sehingga memudahkan siapa pun untuk belajar merajut. Ratu Victoria pun dikenal sebagai seorang perajut. Dan rajutan pun menjadi makin dikenal di dunia.
Sejarah Merajut di Indonesia
Seperti di belahan dunia lain, perkembangan seni merajut di Indonesia cukup pesat. Banyak benda pakai, aksesoris serta benda dekoratif yang berasal dari benang yang dirajut; misalnya pakaian, taplak meja, topi, peci, gantungan kunci, bahkan bed cover, dan sepatu. Peminat kegiatan dan barang-barang rajutan pun berkembang sangat pesat.
Hadirnya kegiatan merajut di Indonesia sangat erat kaitannya dengan kehadiran bangsa Belanda pada masa penjajahan. Ada kemungkinan, walaupun belum ditemukan literasi yang menguatkan, seni merajut dikenalkan oleh para perempuan Belanda yang mengajarkan kepada para pembantunya yang merupakan warga Hindia Belanda. Berawal dari menggunakan benang wol sebagai bahan rajutan, lambat laun menggunakan benang yang lebih nyaman untuk dipakai, misalnya benang katun dan sutra.
Pada saat ini akses untuk mempelajari seni merajut, baik crochet ataupun knitting sangat mudah didapatkan. Di media sosial banyak ditemukan model-model rajutan terbaru, beserta teknik pembuatannya. Pola-pola pun bisa didapatkan baik yang gratis ataupun berbayar. Komunitas-komunitas rajut pun hadir untuk memberikan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan para pegiat rajut.
Manfaat Merajut
Selain memenuhi kebutuhan konsumsi pribadi, banyak sekali manfaat dari merajut, selain sekadar hobi. Salah satunya tentu saja mendapatkan penghasilan tambahan.
Elin Nilawati, seorang perajut yang tinggal di Bogor menyebutkan bahwa merajut baginya berkontribusi baik untuk kesehatan asal tetap mengatur waktu. Selain itu merajut juga mampu mengasah otak karena banyak kegiatan ini memerlukan teknik menghitung.
Ada tantangan tersendiri jika ada yang memesan barang rajutan dengan hanya mengirim foto, dan minta dibuatkan barang persis dengan foto tersebut, yang menuntut seorang perajut untuk melakukan "bedah pola", rangsangan demikian membuat otak bekerja, dan “insya allah gak akan pikun,” tutur Elin.
"Refreshing dari rutinitas pekerjaan dan bisa jadi healing buat Ambu mah..," tambah perempuan yang akrab disapa Ambu Elin.
Selain itu merajut juga menjadi salah satu cara untuk melatih kesabaran, dan tentu saja menghasilkan uang. Hadirnya banyak komunitas juga membantu Ambu Elin untuk bertemu dengan teman yang mempunyai hobi yang sama.
Di tempat lain, Dewi Nurmayati seorang perajut dari kota Bandung menyampaikan pengalaman seru mengikuti tantangan yang didapatkannya di media sosial, dari para perajut di berbagai negara. Tantangan itu memberikan banyak keuntungan berupa teknik-teknik baru dalam merajut, juga pola-pola rajutan gratis.
Banyaknya kegiatan CAL (Crochet along), yaitu kegiatan merajut bersama dengan tema yang sama, membantu para perajut untuk menyelesaikan satu proyek rajutan dengan waktu yang lebih terencana, juga mendapatkan ide dan teknik baru untuk dikembangkan kemudian.
Menurut Dewi yang mempelajari merajut dengan cara otodidak, mempelajari teknik merajut melalui media sosial membuatnya mampu mendapatkan perbandingan tentang teknik merajut yang dia pelajari. Dewi lebih memilih mempelajari membuat rajutan yang dia minati dengan berusaha sendiri atau bertanya langsung pada perajut yang dianggapnya lebih mahir.
Banyak hal positif yang didapatkan dari merajut selain kita mendapatkan barang-barang yang bisa kita gunakan sendiri atau kita jual. Merajut juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan mental, di antaranya mengurangi stres dan kecemasan, meningkatkan suasana hati, dan membantu fokus dan konsentrasi. Merajut juga bisa meningkatkan rasa percaya diri, dan memperlambat kepikunan, serta merangsang kreativitas. Bagaimana sudah tertarik untuk belajar merajut?
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung