Perang, Batas, dan Bhinneka Tunggal Ika
Indonesia merupakan negara yang mengalami secara langsung dampak dari eksploitasi, penindasan, dan pembunuhan atas nama perbedaan.

Rizki Mohammad Kalimi
Mahasiswa Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung
17 Juli 2025
BandungBergerak.id – Saya tak pernah tahu pasti, tentang apa yang menjadi sifat alamiah manusia. Tapi jika saya melihat kekacauan di masa kini, juga lebih jauh ke dalam sejarah panjang umat manusia. Agaknya, seperti apa yang dikatakan oleh Plautus dalam Asinaria, manusia adalah “Homo Homini Lupus”; serigala untuk manusia lainnya (Plautus, 1833). Senada dengan itu, Sartre juga melihat bahwa yang di luar dirinya, dalam hal ini adalah orang lain, merupakan neraka.
Tentu bukan tanpa alasan mengapa Palutus dan Sartre memiliki pandangan demikian, ini berhubungan dengan situasi bahwa sejauh ini. Manusia selalu saja menjadi ancaman untuk manusia lain, bukti kongkret daripada itu, seperti pemerkosaan, pembunuhan, perang, juga hasrat untuk berkuasa. Sudah cukup untuk menjadi landasan argumen di atas.
Kita tahu bahwa dalam sejarah, memang tidak selalu, tapi sebagian besar, merupakan potret tentang peperangan, atau setidaknya pertikaian. Pertikaian ini bahkan di mulai dari cakupan paling kecil sampai besar, dari mulai atas nama suku, ras, bahkan agama. Fakta sejarah itu, seakan-akan ingin memberitahu bahwa manusia sejauh ini adalah entitas yang gemar berperang. Akan tetapi jika dipertanyakan tentang apa yang didapat, atau yang ingin didapat dari sebuah peperangan? Jawabannya selalu bermuara pada ambiguitas.
Jelas bahwa manusia selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Oleh karena itu, ia akan sebisa mungkin menghalau segala hal yang mungkin akan merenggut kebahagiaannya, bahkan jika pun cara menghalaunya adalah dengan merenggut kebahagiaan orang lain. Titik inilah yang menjadi alasan utama mengapa manusia gemar berperang. Walaupun sebenarnya, perang adalah jalan yang keliru. Sebab apa yang kemudian menjadi keinginan manusia untuk menjadi ia yang bahagia, dengan perang justru akan membawanya pada titik sebaliknya. Perang, tidak akan memberikan apa pun selain dari kepedihan, baik pihak yang menang ataupun yang kalah akan mendapatkan kesakitan, seperti dalam pribahasa “Menang jadi arang, kalah jadi abu”.
Paradoks manusia, tak berhenti sampai di situ. Situasi ketidakmendapatan sesuatu, membawa dirinya pada kebosanan. Oleh karenanya, hal-hal yang mungkin utopis, tapi tak mustahil, sering sekali muncul menjadi angan-angan. Shakespeare dalam lakon The Tempest yang dibuatnya, menciptakan karakter Gonzalo. Ia memiliki bayangan tentang dunia, meminjam istilah Jawa, “gemah ripah loh jinawi, thukul kang sarwo tinandur”. Dunia dalam bayangan Gonzalo, adalah dunia Sorga, di mana manusia tak kekurangan apa pun karena alam sudah menyediakannya. Dan karena tak ada kekurangan, manusia tak perlu bekerja, tak perlu bersengketa. Oleh karenanya, tak perlu ada pemerintah untuk menjaga keadilan seperti yang Hobes usulkan dalam kontrak sosial-nya (Fink, 2003).
Baca Juga: Pendidikan Indonesia dan yang Mungkin Telah Luput darinya
Menimbang Kebijakan Pendidikan sebagai Basis Perkembangan Peradaban
Membangun Dasar Peradaban dengan Pendidikan Pesantren Ramah Anak
Batas yang Membedakan
Tak ada pemerintah, itu artinya juga tak ada negara. Dalam hal ini, Marx menyebutnya “Deer Staat stib ab”, negara melapuk-lenyap (Marx, 2018). Tapi baik Gonzalo atau Marx tak benar-benar selesai, keduanya tak mengantarkan manusia pada resep atau metode untuk sampai pada angan-angan itu. Tapi kita bisa menerka, bahwa untuk sampai pada angan-angan utopis itu. Dunia perlu menghapus batas.
Batas adalah satu hal yang tak selalu bisa terlihat, tapi ia selalu memisahkan. Dengan batas, artinya di situ ada liyan. Konflik, juga lebih jauhnya peperangan. Sejauh ini juga disebabkan karena ke-liyan-nan itu. Oleh karenanya, Lenon dalam imagine memimpikan dunia tanpa liyan. Dalam pandangan Lenon, negara menjadi batas yang menyebabkan manusia dibunuh dan berkorban, imagine there’s no countries, nothing to kill or die for. Pun begitu dengan agama.
Tapi apakah mungkin ada dunia tanpa batas? Sedangkan, meminjam perkataan Aan Mansyur dalam salah satu sajaknya “Semua prihal diciptakan sebagai batas, membelah sesuatu dari sesuatu yang lain” (Mansyur, 2016). Lebih jauhnya, Aan dalam sajaknya itu, memberikan contoh bahwa yang sederhana pun, itu adalah batas, “Hari ini membatasi besok dan kemarin. Besok, adalah batas hari ini dan lusa. Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota” (Mansyur, 2016).
Pada akhirnya, jika kita bertolak pada pikiran Aan. Sepertinya, apa yang disebut sebagai batas yang membedakan. Itu merupakan satu keniscayaan. Saya teringat satu kisah dalam Al-kitab tentang Menara Babel. Konon, manusia bersatu untuk membangun sebuah menara yang sangat tinggi yang mencapai langit. Mereka ingin membuat nama mereka terkenal dan mencegah agar mereka tidak tersebar ke seluruh Bumi. Namun, Tuhan melihat rencana itu dan memutuskan untuk menghentikannya.
Tuhan membuat mereka berbicara dalam berbagai bahasa sehingga mereka tidak dapat lagi memahami satu sama lain. Ini menyebabkan kekacauan dan memaksa proyek pembangunan Menara Babel dihentikan. Setelah itu setiap kelompok etnis kemudian pergi ke berbagai belahan dunia sesuai dengan bahasa yang mereka dapat mengerti.
Kisah tentang Menara Babel, tampil menjadi alegori bahwa jangan-jangan, Tuhan memang menghendaki perbedaan. Jika seperti itu, lalu bagaimana perdamaian yang berangkat dari sesuatu yang beda bisa digapai?
Sains, dengan semangat renaissance. Sebenarnya hadir untuk mencoba menjawab permasalahan konflik manusia. Yufal Noah Harari dalam Homo Deus menerangkan, bahwa konflik antar manusia, atau masalah yang dihadapi manusia selain wabah dan peperangan. Pada mulanya disebabkan oleh urusan perut. Kita tahu bahwa dulu, sumber makanan sangat terbatas, tidak banyak sumber alam yang bisa diolah. Situasi ini menciptakan konflik perebutan sumber makanan, dan dari itu terciptalah konflik yang disebut perang. Peperangan antar suku, dalam hal ini kelompok yang berkonflik. Sebenarnya hanya untuk mencari sumber makanan lebih di wilayah lain. Kepentingan yang sama antar suku yang berbeda ini yang kemudian melahirkan perang (Harari, 2016).
Lebih jauhnya, dalam analisis Yufal, sains bisa menjawab permasalahan itu. Melalui kemajuan dalam bidang pertanian, teknologi pangan, dan pengelolaan sumber daya alam, manusia dapat mengurangi tekanan atas sumber makanan dan mengatasi akar penyebab konflik ekonomi. Setelah teknologi nuklir ditemukan, manusia juga masuk pada fase baru. Di mana peperangan tidak lagi terjadi sesering dahulu. Ini disebabkan karena jika negara, khususnya yang mempunyai teknologi nuklir berperang satu dengan yang lain. Akan memicu kerusakan Bumi secara global. Untuk sementara, sains mampu meredam konflik peperangan (Harari, 2016).
Kendati kita saat ini ada di fase damai. Tapi damai yang seperti diterangkan di atas, merupakan perdamaian semu dan naif. Untuk itu, perlu ada satu gagasan tentang perdamaian hakiki, gagasan yang mampu menyatukan perbedaan. Sehingga manusia tidak masuk pada ambiguitas yang membingungkan, di mana manusia sejauh ini terjebak pada lingkaran setan yang menginginkan perdamaian tapi justru menciptakan ketidakdamaian. Paradoks itu, juga ditentang oleh Einstein, ia berpendapat bahwa “Perdamaian tidak dapat dijaga dengan kekerasan, perdamaian hanya mampu di raih oleh saling pengertian” (Nathan, 1981).
Perdamaian
Gandhi membuat satu gerakan yang menggebrak, bernama ahimsa. Gerakan ini sebenarnya hasil pengadopsian dari prinsip etika dan filosofis dari tradisi agama India, terutama dalam agama Hindu, Jainisme, dan Buddhisme. Prinsip ini mengajarkan pentingnya tidak menyakiti atau tidak melakukan kekerasan terhadap makhluk hidup. Dalam ajaran Hindu, ahimsa dianggap sebagai salah satu dari lima Yama atau prinsip moral dalam praktik yoga. Pada tataran ini, sederhananya ahimsa merujuk pada sikap tanpa kekerasan, bukan hanya dalam tindakan fisik tetapi juga dalam pikiran dan perkataan (Budi & Ferdinant, 2016).
Gandhi dengan ahimsanya ini, meloncat dan mengarah pada satu kedewasaan berpikir. Pola hidup keras, seperti peperangan, di mana yang kuatlah yang berkuasa. Itu hanya menandakan degradasi nilai esensial manusia. Karena sikap itu adalah satu sikap yang dipraktikkan oleh hewan. Kendati manusia juga merupakan hewan, tapi manusia adalah hewan yang memiliki akal. Dengan akal, manusia naik pada satu tingkat yang lebih tinggi dari sekedar hewan. Oleh karenanya, ketika manusia berlaku layaknya hewan –yang buas; yang membunuh. Maka di situ manusia mengalami degradasi.
Syahdan, ketika perbedaan menjadi satu keniscayaan, dan atas nama perbedaan itu manusia berkonflik. Maka manusia harus menilik persamaan untuk bisa menciptakan perdamaian. Jika perdamaian adalah tujuan, maka persamaan inilah yang harus menjadi landasan kebersatuan manusia. Bukan untuk membuka borok lama, Indonesia merupakan negara yang mengalami secara langsung dampak dari eksploitasi, penindasan, dan pembunuhan atas nama perbedaan. Tapi dengan tujuan yang sama, yaitu merdeka, Indonesia mampu keluar dari situasi yang menyakitkan itu.
Konsep perbedaan untuk menggapai apa yang sama, pada prinsipnya terumus dalam semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Berbeda-beda tapi tetap satu tujuan. Jika tak ada lagi alasan untuk bersatu menggapai perdamaian, maka satu-satunya alasan adalah asas manusia itu sendiri.
Kembali lagi pada esensi manusia adalah hewan yang berakal –alhayawanun natiq. Natiq pada akhirnya menjadi esensi dari manusia, dalam logika, esensi adalah satu hal dasar yang membuat konsep tertentu bisa dikatakan sebagai konsep itu. Jika esensi dari konsep tertentu musnah, maka konsep itu pun menjadi gugur. Contoh, esensi dari segi tiga adalah sisinya yang ada tiga, jika sisinya tidak berjumlah tiga. Maka kesegitigaannya gugur. Begitu pun dengan manusia, esensi dari manusia adalah akal, jika akal ini hilang. Maka, manusia tidak bisa lagi disebut sebagai manusia.
Selain esensi, ada juga satu term dalam logika yang disebut sebagai aksiden. Aksiden sederhananya adalah satu hal yang kendatipun tidak ada, tidak otomatis menggugurkan satu konsep. Contoh dalam konsep segitiga, yang menjadi aksidennya adalah bentuk segitiga itu sendiri. Ada yang berbentuk sama kaki, sama sisi, juga sama kaki. Kendati bentuknya berbeda, sejauh mana segitiga memiliki sisi berjumlah tiga, maka segitiga tetaplah segitiga.
Hal yang sama juga ada pada konsep manusia, yang menjadi aksiden dari manusia salah satunya adalah bentuk tubuh. Ada yang pendek, tinggi, berhidung mancung, bermata biru. Sejauh mana manusia memiliki akal, maka manusia adalah manusia.
Atas dasar persamaan esensi itulah, maka lahir apa yang disebut sebagai kemanusiaan. Oleh karenanya, manusia tidak boleh lagi berkonflik atas nama perbedaan suku, ras, agama, dan antargolongan. Dengan demikian, bayangan Gobzalo, Marx, bahkan Lenon yang sebenarnya menjadi keinginan manusia yang manipurba tentang kedamaian hidup, akan bisa diraih bahkan tanpa menghapus batas.
Selain itu, seperti yang dikatakan Soe Hok Gie, “Kita berbeda dalam semua hal, kecuali satu, yaitu cinta”. Dalam hidup, cinta menjadi perekat atas keterceraiberaian yang ada. Seperti apa yang disampaikan oleh Empedhokles “Kebencian memisahkan semuanya, dan cinta menyatukan segalanya”.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB