TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Perkebunan Baroe Adjak, dari Situ hingga Gedung-gedungnya #2
Di kompleks perkebunan Baroe Adjak terdapat situ, peternakan sapi perah serta hewan-hewan peliharaan lainnya, hingga gedung-gedung cantik.

Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
19 Juli 2025
BandungBergerak.id – Minggu ini mari kita mulai dulu dengan ekologi kawasan Baroe Adjak, di sebelah utara dan timur Baroe Adjak terdapat dua buah situ di sepanjang lembah yang indah dan selalu berkabut. Pada awalnya hanya terdapat satu buah situ saja, namun akhirnya terbagi dua, yaitu Situ Umar (sekarang Floating Market Lembang) dan Situ PPI yang merupakan kepanjangan dari Persatuan Pedagang Ikan (sekarang menjadi kompleks perumahan warga).
Menurut penuturan Abah Ayi yang lahir di Baroe Adjak pada 1954, Situ PPI awalnya adalah bagian dari Situ Umar, namun dipinjam oleh Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat pada pasca kemerdekaan untuk perkembangan pengelolaan ikan air tawar di Jawa Barat. Luas masing-masing situ tersebut adalah Situ Umar 6 hektare dan Situ PPI 9 hektar. Kedua situ tersebut panen ikan setiap 6 bulan sekali. Situ Umar menghasilkan 5 ton ikan dan Situ PPI 8 ton ikan.
Jadi hasil panen dari dua situ tersebut setiap tahunnya rata-rata 26 ton. Adapun ikan yang ditanam di dua situ tersebut adalah ikan mas, ikan tawes, mujair, dan nila. Ketika tahun 1960-an harga ikan langsung dari dua situ tersebut adalah Rp 20/kg untuk ikan yang kecil-kecil dan Rp 40/kg untuk ikan yang besar-besar (data dari Pak Ayi, Pak Ujang, dan Pak Harun –ketiganya adalah mantan pegawai Baroe Adjak; dan tertulis juga di dalam skripsi dari R. A. Ma’soem Prawira Soebardjah).
Ketika akhir pekan tiba, banyak sekali pelancong yang berasal dari Bandung kota untuk sekedar memancing atau bermain rakit di kawasan Situ Umar. Saat itu di Situ Umar terdapat sebuah rumah makan sederhana yang memiliki kursi-kursi di bawah pohon atau menggelar tikar. Di samping Situ Umar terdapat 11 rumah keluarga Mama Umar yang merupakan pemilik situ tersebut.
Di dalam kawasan Baroe Adjak ternyata bukan hanya sapi perah saja, namun banyak ditemui domba (kambing gibas) yang nantinya bulunya akan diolah menjadi benang wol. Juga banyak ditemui rusa totol, angsa (soang), ayam-ayam hias, dan babi. Konon dahulu para tuan Eropa yang tinggal di Lembang selalu memesan daging rusa dari Baroe Adjak dan dimasak menjadi steak. Pelanggannya adalah Tuan Boer yang bermukim di barat Lembang, Tuan Albert (warga memanggilnya dengan Tuan Abeu) pewaris perkebunan kina Jayagiri, keluarga Walter di selatan Jayagiri dan pemilik awal Sunny Home Karmel, Grand Hotel Lembang, Hotel Tangkuban Prau (Tuan Elman), para petinggi pabrik pengolahan susu kental manis (Tonamelk), dan Tuan Monteiro yang terkenal sebagai pengusaha selai stroberi legendaris sebagai Onbij Walanda Bandoeng.
Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Belajar dari Sejarah, Petani Gen Z di Koloni Soerja-Soemirat Lembang
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Ketiban FOMO Wisata Kekinian
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Perkebunan Baroe Adjak, Masa-masa Tahun 1960-an #1
Riwayat dan Status Perkebunan dan Peternakan Baroe Adjak
Mungkin ini adalah hal yang paling ditunggu-tunggu banyak orang, riwayat atau status dari Baroe Adjak. Sekali lagi saya hanya membahas sejarahnya. Kisah-kisah pelik dan sengketanya sama sekali tidak akan saya bahas.
Perkebunan dan peternakan ini dahulu bernama N.V. Baroe Adjak yang dipelopori oleh Ursone bersaudara pada 1877 (perkebunan kina dan teh) dan 1880 (peternakan sapi perah). Saat itu para narasumber saya masih memiliki atasan yang bernama De Biasi (suami dari Martha Ursone). Pada tahun 1960, De Biasi menjabat sebagai wakil direktur yang mengatakan bahwa luas keseluruhan N.V. Baroe Adjak adalah 360 bau atau 257 hektar.
Status tanah dibagi tiga bagian. Yakni tanah Eigendom, Espacht (tanah pemerintah yang disewa secara kontrak kurang lebih 75 tahun), serta tanah milik pribadi para pribumi. Keterangan ini saya dapat dari belasan narasumber dan tertulis juga dalam skripsi R. A. Ma’soem Prawira Soebardjah (1960).
Denah Kompleks Baroe Adjak
Perumahan di Baroe Adjak dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu gedung atau setengah gedung bagi pegawai tinggi dan pegawai menengah, bedeng yaitu perumahan bagi para pegawai kasar/buruh. Sementara pegawai tidak tetap atau buruh harian tinggal di perkampungan di sekitar Baroe Adjak, kebanyakan tersebar di Kampung Pangjebolan, Sinapeul, Batu Reok, Pencut, dan Cijeruk.
Gedung-gedung di Baroe Adjak ada 3 buah yang dinomori, yakni Gedung A, B, dan C. Gedung A ditempati para pengurus ternak. Gedung B oleh kantor serikat buruh (Serikat Buruh Kebun dan Ternak Indonesia) dan juga sebagai poliklinik yang dilengkapi seorang mantri dan satu orang dokter wanita yang bernama ibu Momi. Pada bagian belakang Gedung B dipakai sebagai gereja Pondok Gembala (gedung ini adalah yang sekarang dipakai sebagai Piknik Kopi Lembang, gedung yang paling ikonik di Baroe Adjak). Selanjutnya Gedung C digunakan oleh wakil direktur perusahaan. Gedung C berada tepat di samping gedung ikonik Piknik Kopi Lembang, namun sekarang telah rata dengan tanah. Gedung C tersebut adalah gedung permanen pertama yang di bangun di Baroe Adjak pada tahun 1877.
Lalu saya bertanya-tanya, lantas di manakah gedung utama Baroe Adjak yang dipakai direktur atau keluarga besar Ursone? Semua narasumber mengatakan bahwa gedung tersebut adalah gedung yang berada di kompleks farmasi Baroe Adjak (cikal bakal Carlo Erba Farmintalia, yang nanti akan dibahas sejarahnya terpisah). Jadi, apabila ada pertanyaan di manakah rumah keluarga Ursone di Lembang, jawabannya sekarang adalah di lahan yang telah berubah fungsi menjadi McD, Gacoan, dan pom bensin Shell.
Terakhir kali saya memasuki kawasan kediaman keluarga Ursone di komplek Carlo Erba Farmintalia adalah 11 Juni 2023, beberapa saat sebelum saya memandu tur sejarah Cimahi Walking Tour ke sana. Rumah indah itu masih berdiri tegak dengan perapian cantiknya. Rumah itu terakhir kali dihuni oleh dokter Pino Ursone, seorang keponakan dari tiga Ursone bersaudara. Namun rumah tersebut kini telah beralih fungsi dan telah hilang, yang paling beruntung adalah para peserta Cimahi Walking Tour tersebut karena sempat masuk dan mengabadikan semua sudut rumah.
Minggu depan kita akan bahas tentang kondisi pasar kaget, hari-hari gajian dan hal-hal remeh temeh lainnya yang terjadi di kawasan Baroe Adjak.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang