• Berita
  • Warga Gunung Gede Pangrango Menolak Proyek Panas Bumi

Warga Gunung Gede Pangrango Menolak Proyek Panas Bumi

Warga petani mendapatkan surat undangan verifikasi dan pendataan lahan yang masuk wilayah proyek pembangkit listrik panas bumi di Gunung Gede Pangrango.

Unjuk rasa warga Gunung Gede Pangrango, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat menolak proyek panas bumi di Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGPP), Kamis, 17 Juli 2025. (Foto: Warga warga Gunung Gede Pangrango)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah21 Juli 2025


BandungBergerak.id - Warga Gunung Gede Pangrango dari tiga Desa Sukatani, Desa Cipendawa, dan Desa Sindangjaya, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat menolak proyek panas bumi. Melalui aksi unjuk rasa warga menuntut taman nasional membatalkan rencana sosialisasi verifikasi dan orientasi batas dan tata batas proyek di Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGPP), Kamis, 17 Juli 2025.

Salah seorang warga, Hilmi Kusuma menjelaskan, unjuk rasa ini sebagai respons terhadap surat Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan PTN Wilayah I Cianjur. Surat ditujukan kepada 79 orang petani penggarap lahan yang masuk rencana proyek pemanfaatan panas bumi. Warga menilai, ada maksud lain di balik pendataan dan verifikasi lahan.

“Masyarakat menangkap sinyal bahwa pendataan ini nantinya akan dijadikan dasar pemberian uang kerohiman. Jadi, kasarnya, kami merasa dipaksa untuk diam di lahan, didata, lalu nanti dipaksa menerima uang kerahiman,tanpa ada pilihan lain,” kata Hilmi, saat dihubungi BandungBergerak, Sabtu, 19 Juli 2025.

Warga baru menerima surat tersebut melalui Desa Sukatani 14 Juli 2025. Sementara tanggal surat 4 Juli 2025.

“Warga langsung meminta agar agenda itu dibatalkan. Aneh saja, surat keluar tanggal 4, tapi kepala desa Sukatani baru terima tanggal 14. Dan parahnya, para petani yang namanya tercantum tidak pernah menerima surat itu. Ini menunjukkan ketidakjelasan komunikasi dari pihak balai,” jelas Hilmi.

Warga juga menuntut pihak Desa Sukatani untuk membuka data kejelasan status lahan. Namun, pihak desa mengatakan wilayah lahan masuk ke Desa Sindangjaya. Warga kemudian mendapat penjelaskan dari Desa Sindangjaya bahwa mereka belum menerima surat tersebut.

Menurut Hilmi, para petani telah mendapatkan izin garapan dari Perhutani. Namun, setelah adanya perluasan kawasan taman nasional lahan dialihkan ke pihak taman nasional tanpa berkomunikasi langsung dengan masyarakat.

“Warga kecewa. Meski belum menerima surat, semestinya kepala desa tetap bisa bertindak atau mengkonfirmasi ke pihak terkait. Tapi yang terjadi justru seperti lepas tangan dan melempar tanggung jawab ke pihak taman nasional,” tutur Hilmi.

Warga kemudian membuka dialog dengan pihak kepala desa dan Forkopimda Kecamatan Cipanas. Agenda verifikasi lahan petani penggarap tanggal 15 Juli akhirnya ditunda. Padahal warga menginginkan agar agenda tersebut dibatalkan.

Warga juga kecewa dengan pernyataan pihak pemerintah yang memihak pada industri pengeboran panas bumi dan mengesampingkan dampak lingkungan hidup dan sosial.

Tidak Semua Petani Menerima Surat

Surat yang meminta 79 warga penggarap lahan kembali dilayangkan dalam undangan bertarikh 16 Juli 2025 dikeluarkan TNGGP dengan nomor bernomor UN.5/BT.20/WI.1/B/7/2025. Mereka diminta datang ke kantor yang berada di Cibodas, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur untuk Pemutakhiran Data Penggarap dan Orientasi Batas Area Kerja Eksplorasi Proyek Strategis Nasional (PSN) Pemanfaatan Panas Bumi di TNGGP Seluas 5,46 hektare. Surat ini diteken Kepala Balai Besar TNGGP Arief Mahmud.

Inti surat, kata Hilmi, meminta para petani yang tercantum di dalam surat agar datang ke kantor balai. “Dari 79 nama, kebanyakan tidak menerima surat resmi. Sekitar 200–300 warga akhirnya berangkat bersama ke kantor balai. Beberapa warga yang datang lebih awal melihat aparat bersenjata sudah berjaga,” beber Hilmi.

Di balai, warga berorasi dan membentangkan spanduk-spanduk protes. Saat aksi berlangsung beberapa petani diajak masuk oleh kepala Desa Sukatani tanpa sepengetahuan warga. Hal ini memicu reaksi warga.

“Para petani yang dipaksa masuk dikeluarkan. Untungnya belum sempat ada pembahasan detail, baru pembukaan acara. Dan benar, mereka ditarik masuk atas ajakan kepala desa,” ungkap Hilmi.

Hilmi menyebut, proyek pengeboran yang tengah direncanakan di lahan seluas 5,46 hektare ini tidak pernah melibatkan warga dalam proses perencanaan.. Saat mayoritas warga menolak, sejumlah pihak dari instansi pemerintah, taman nasional, serta perusahaan melakukan pendekatan dengan cara yang dianggap tidak sehat, seperti intimidasi dan manipulasi informasi.

Warga menilai proyek ini sebagai bentuk perampasan lahan secara terang-terangan. Mereka menuntut transparansi, kejelasan status lahan, dan penghentian segala bentuk pemaksaan terhadap masyarakat.

BandungBergerak mencoba menghubungi pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Pangrango ke Kepala SPTN Wilayah I Mugi Kurniawan untuk mengonfirmasi surat verifikasi yang dilayangkan pihaknya terhadap warga. Dalam pesan singkat yang dikirimkan, Mugi menjawab untuk menghubungi call center Balai Besar Taman Nasional. “Silahkan komunikasi dengan call center Balai besar TN GGP,” singkatnya, Sabtu, 19 Juli 2025.

Namun, call center tersebut tidak bisa dihubungi. Adapun isi surat menjelaskan tentang pemutakhiran data penggarap lahan pada Proyek Strategis Nasional.

“Dalam rangka pemutakhiran data penggarap lahan pada area Proyek Strategis Nasional (PSN) pemanfaatan panas bumi di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), pada wilayah Seksi PTN Wilayah I, Bidang PTN Wilayah I Cianjur,” demikian tulis surat undangan tersebut.

Baca Juga: Mereka yang Tersisih di Proyek Geotermal Gunung Salak
Warga yang Menolak Pertambangan Panas Bumi Tidak Bisa Dikriminalisasi

Dampak Ekologis Akibat Panas Bumi di Gunung Gede Pangrango

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan penggembangan dan eksplorasi untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di sejumlah daerah, di antaranya wilayah Kecamatan Cipanas dan Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur yang bertujuan untuk menjalankan peningkatan energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen yang ditargetkan tercapai 2025.

Pada 15 Februari 2023, dimulai kegiatan Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) Cipanas. PSPE Cipanas dilaksanakan oleh PT Daya Mas Geopatra Pangrango sesuai dengan Keputusan Menteri Investasi/Kepala BKPM a.n. Menteri ESDM tanggal 15 Juni 2022 dan berlaku selama tiga tahun. 

Sumber daya panas bumi di PSPE Cipanas diperkirakan sebesar 85 MW, dengan rencana pengembangan proyek PLTP Cipanas yakni 55 MW. PLTP Cipanas ditargetkan dapat beroperasi komersial pada tahun 2030. Diperkirakan PLTP Cipanas bisa menjadi sumber listrik bagi kurang lebih 61 ribu kepala keluarga.

PT Dian Swastika Sentosa atau Emite Sinarmas Group melalui anak usahanya, PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) menargetkan tahap eksplorasi proyek panas bumi selesai di akhir tahun 2024.

Diketahui, PSPE Cipanas memiliki luas lahan 3.180 hektare. PT DMGP ditetapkan sebagai pemenang lelang penawaran WPSPE Cipanas pada April 2022.

Melansir Bisnis.com, mengutip laporan tahunan DSSA 2023, DMGP telah mengincar peluang bisnis panas bumi sejak 2022. Perseroan sudah melakukan survei pendahuluan pada proyek panas bumi Cipanas dan akan berlanjut ke tahap eksplorasi pada kuartal III atau kuartal IV/2024.

Proyek yang dikelola oleh PT DMGP ini masuk dalam 10 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) di Jabar yang telah ditetapkan pemerintah.

Alfarhat Kasman dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan, nyaringnya suara penolakan warga terhadap geothermal karena mereka sadar akan dampak dan risiko industri kestraktif. Salah satunya metode fracking atau rekahan hidrolik yang digunakan dalam eksplorasi panas bumi.

Aktivis lingkungan hidup ini menyebut, metode ini melibatkan penyuntikan air ke dalam tanah untuk menghasilkan uap yang dapat memicu aktivitas seismik atawa gempa bumi. Alfa juga menyoroti, Gunung Gede Pangrango berada di kawasan rawan gempa.

Ia mengatakan, tidak hanya risiko gempa, proyek panas bumi juga dianggap mengancam ketersediaan air bersih. Operasional PLTP membutuhkan volume air yang sangat besar. Kawasan Gunung Gede Pangrango menjadi sumber air dengan 94 titik mata air yang menopang Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti Ciliwung, Cisadane, dan Cimandiri. “Kalau airnya disedot besar-besaran, pasti akan berdampak ke debit sungai dan kebutuhan masyarakat. Panas bumi ini rakus air,” jelas Alfa saat dihubungi BandungBergerak, Sabtu, 19 Juli 2025.

Selain dampak lingkungan, Alfa menyoroti dampak sosial dan ekonomi terutama sektor wisata yang kerap menjadi jalur pendakian gunung. Ia menyebut, apabila terjadi kebocoran gas beracun seperti H2S yang pernah terjadi di PLTP Sorik Merapi, Sumatera Utara, kawasan taman nasional bisa ditutup total. Hal ini bisa menghantam ekonomi warga yang bergantung pada aktivitas pendakian dan pariwisata alam.

Alfa juga mengkritik istilah transisi energi pada panas bumi. Menurutnya, panas bumi tetap merupakan penambangan yang tidak bebas risiko.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//