Aktivis Neni Nur Hayati Somasi Pemprov Jabar karena Mengunggah Foto Pribadi Tanpa Izin dan Memicu Serangan Digital
Data diri termasuk foto dilindungi Undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi. Pemprov Jabar dituntut meminta maaf dan menurunkan konten yang memuat foto Neni.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah22 Juli 2025
BandungBergerak.id - Aktivis prodemokrasi dan Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (Deep) Neni Nur Hayati melayangkan somasi kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat. Somasi resmi yang dikirimkan Senin, 21 Juli 2025 itu diajukan karena Pemprov Jabar memasang foto dirinya tanpa izin di akun-akun media sosial resmi, yang menurut Neni memicu serangan digital terhadap dirinya.
Neni yang didampingi kuasa hukum, datang langsung ke Gedung Sate, pusat pemerintahaan Provinsi Jawa Barat di bawah pimpinan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi. Unggahan akun-akun resmi Pemprov Jabar muncul tak lama setelah Neni mengkritik penggunaan pendengung (buzzer) oleh kepala daerah. Ia menyebut praktik ini membahayakan ruang demokrasi.
“Selama ini kita juga menyadari penggunaan buzzer ini cukup berbahaya dan mengancam demokrasi kita di Indonesia bahkan, menurut saya ini bisa mematikan demokrasi di Indonesia,” kata Neni kepada wartawan di Gedung Sate.
Dalam unggahan video di TikTok tanggal 5 Mei 2025, Neni menyuarakan keprihatinan terhadap penggunaan pendengung dan pentingnya partisipasi publik yang harus dijamin pemerintah daerah. Ia menegaskan bahwa dalam konten tersebut tidak menyebutkan nama Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi secara langsung.
Setelah video itu beredar, Neni mendapat informasi dari temannya bahwa dirinya disinggung oleh Gubernur Dedi Mulyadi dalam klarifikasi yang tayang di berbagai akun resmi milik Pemprov Jabar, seperti @diskominfojabar, @sapawargajabar, @jabarsabehoaks, dan @jabarprov.go.id. Tak lama setelahnya, akun Instagram Neni diserang, disusul dengan gangguan pada akun TikTok dan WhatsApp-nya.
“Yang paling mengerikan adalah ancaman penyiksaan. Bukan lagi sekadar hinaan seperti ‘bodoh’, ‘enggak berguna buat bangsa,’ atau fitnah politik. Tapi sampai ke ancaman fisik dan nyawa,” ujar Neni.
Neni menyebut serangan paling masif terjadi pada 15, 16, dan 17 Juli 2025. TikTok miliknya tak bisa diakses hingga saat ini, sementara akun Instagram sempat dipulihkan dengan bantuan tim SAFEnet. WhatsApp-nya juga sempat diretas usai menerima telepon dari nomor tak dikenal.
Untuk melindungi diri dan keluarganya, Neni menutup kolom komentar di media sosialnya. Ia mendapati akun-akun yang menyerangnya tidak memiliki pengikut dan tak pernah memposting, namun menyerang secara massif.
“Serangan digital ini berdampak besar pada psikologis saya. Sekarang serangannya pindah ke DM, setelah komentar saya tutup. Isinya tetap ancaman yang menakutkan, seperti ‘kalau ketemu, saya akan lakukan ini dan itu.’ Semua sudah saya screenshot dan serahkan ke kuasa hukum,” tutur Neni.
Ia menyebut awalnya tidak mempermasalahkan video klarifikasi Gubernur Dedi Mulyadi yang menyebut “salam untuk mbak-mbak yang pakai kerudung,” namun unggahan foto dirinya oleh akun resmi pemerintah dirasanya sebagai bentuk represi.
“Sebagai warga negara, saya berhak menyuarakan pendapat. Dan yang saya sampaikan bukan untuk Kang Dedi secara personal, tapi untuk seluruh kepala daerah,” jelas Neni.
Neni meminta Pemprov Jabar menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan menurunkan seluruh konten yang memuat foto dirinya dari akun resmi.
“Pemerintah membuka ruang dialog yang nyata, bukan hanya datang untuk konten. Setiap kebijakan harus berbasis kajian, bukan sekadar respons dari konten media sosial,” jelasnya.
Sebelumnya, Dedi Mulyadi di akun media sosial resmi yang dikelola Pemprov Jabar membantah kritikan Neni. KDM—begitu ia dikenal, menyebut tidak ada dana untuk belanja iklan media yang dialihkan untuk membiayai buzzer dan pemolesan citra dirinya. Dia menantang untuk mengecek Dinas Informasi dan Komunikasi Pemprov Jawa Barat terkait anggaran tersebut.
“Datanya terbuka kok, tinggal diambil saja. Silakan datangi Dinas Informasi Komunikasi, menanyakan anggarannya (untuk bayar buzzer),” ungkap Dedi Mulyadi, di akun media sosial resmi, dengan latar belakang sawah dan memajang foto Neni.
Dugaan Pelanggaran UU Perlindungan Data Pribadi
Kuasa hukum Neni, Ikhwan Fahrozi, menyebut unggahan foto kliennya tanpa izin melanggar Undang-undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
“Pemasangan foto klien kami tanpa izin di dalam konten klarifikasi yang diunggah ke akun-akun resmi Pemprov Jabar telah memicu praktik doxxing dan serangan digital terhadap beliau (Neni Nur Hayati),” kata Ikhwan.
Ia menambahkan bahwa yang disampaikan oleh kliennya adalah kritik produktif, bukan serangan personal. “Justru kritik semacam itu seharusnya mendapatkan perlindungan konstitusional, bukan dibalas dengan serangan digital,” kata Ikhwan.
Somasi kepada Pemprov Jabar dan Diskominfo Jabar berisi dua tuntutan: permintaan maaf terbuka dalam waktu lima hari dan penurunan semua konten yang memuat foto Neni dalam dua kali dua puluh empat jam. Jika tuntutan tidak dipenuhi, tim hukum akan mengambil langkah hukum lanjutan, termasuk jalur pidana.
“Tindakan ini telah merugikan secara moral dan psikologis. Maka penting bagi pemerintah menunjukkan sikap bijak dan bertanggung jawab,” ujar Ikhwan. “Kami ingin membangun ruang berekspresi yang sehat dan tidak represif. Ruang kritik harus dijamin keberadaannya oleh negara, bukan justru dibungkam,” tambahnya.
Baca Juga: Dukungan Publik Mengalir untuk Neni Nur Hayati usai Foto Pribadinya Dipajang Pemprov Jabar
Mengkritik Politisi Populer di Indonesia, antara Fanatisme dan Demokrasi
Tambah Deretan Kasus Serangan Digital terhadap Pembela HAM
Kasus yang menimpa Neni Nur Hayati menambah daftar serangan digital terhadap pembela hak asasi manusia di Indonesia. Amnesty International Indonesia mencatat, sejak Januari hingga Juli 2025, terdapat 16 kasus serangan digital terhadap 17 pembela HAM.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut serangan terhadap Neni sebagai bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi.
“Kritik yang sah dibalas dengan serangan adalah suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi di Indonesia. Ini harus segera dihentikan,” kata Usman dalam keterangan resmi.
Ia mengingatkan bahwa negara wajib melindungi hak atas kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ICCPR. Hak ini berlaku untuk segala jenis informasi dan gagasan, termasuk yang dianggap mengejutkan, menyerang, atau mengganggu.
“Negara seharusnya hadir untuk melindungi, bukan membiarkan — apalagi berperan dalam — pembungkaman suara-suara kritis yang sah dari warga negara,” jelas Usman.
Ia menegaskan, perlindungan hak atas kebebasan berekspresi diatur di Pasal 19 ICCPR berlaku untuk segala jenis informasi dan gagasan termasuk informasi serta gagasan yang dianggap mengejutkan, menyerang, atau menganggu, terlepas dari apakah konten informasi atau gagasan tersebut benar atau salah.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB