• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Tanpa Pendekatan Demokratis, Penulisan Ulang Sejarah Nasional Hanya akan Melahirkan Figur Mitis Baru yang Sarat Manipulatif

MAHASISWA BERSUARA: Tanpa Pendekatan Demokratis, Penulisan Ulang Sejarah Nasional Hanya akan Melahirkan Figur Mitis Baru yang Sarat Manipulatif

Historiografi kita harus lebih demokratis agar suara-suara pinggiran tetap dapat didengar.

Rizqy Saiful Amar

Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta. Dapat dihubungi di akun Instagram @rizqyamar_

Penulisan ulang sejarah dikhawatirkan menjadi alat legitimasi kekuasaan politik (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

24 Juli 2025


BandungBergerak.id – Wacana penulisan ulang sejarah yang digagas Kementerian Kebudayaan sangat kontroversial. Proyek yang didanai dengan dana fantastis tersebut diagendakan terbit saat peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 17 Agustus 2025.

Dalam sejarah “baru” itu nantinya ada beberapa tone peristiwa yang akan menggunakan nada positif. Banyak pihak dari kalangan akademisi dan aktivis menduga terdapat indikasi bahwa proyek ini sarat paksaan dari penguasa.

Dari narasi yang beredar terdapat beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang luput dalam naskah. Hal itu tentunya menambah kuatnya pengaruh kuasa kendati pihak sejarawan dan ahli yang dilibatkan cukup banyak.

Pasca polemik ini Menteri Kebudayaan, Fadly Zon, juga membuat publik geger dengan pernyataan bahwa di peristiwa 98 tidak ada pemerkosaan massal. Mengetahui pernyataan tersebut Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayati, menangis. Ia menilai sekelas menteri pun tidak memiliki kepekaan terhadap hal sensitif seperti itu.

Gebrakannya tak berhenti di situ. Melalui Keputusan Menteri Kebudayaan Nomor 162/M/2025 Fadly Zon menetapkan 17 Oktober sebagai hari kebudayaan. Tentu hal itu menambahkan kontroversi karena 17 Oktober adalah hari ulang tahun Presiden Prabowo Subianto.

Rangkaian peristiwa di atas mengingatkan saya pada analisis Sindhunata dalam bukunya Bayang-Bayang Ratu Adil (1999). Ia menjelaskan pola semacam ini sama seperti pola politik sejarah Jawa. 

Mengagungkan ketokohan seseorang dan memolesnya dengan narasi sejarah sangat khas dengan penulisan kakawin dan babad di Jawa. Selain itu pengagungan peristiwa masa lampau, yang oleh kementerian disebut tone positif  itu telah digunakan pula oleh politikus masa revolusi.

Sindhunata menceritakan bagaimana Moh. Yamin, Soekarno, dkk, yang membakar massa rakyat dan merumuskan dasar negara dengan metode demikian. Mereka sering menggunakan narasi kejayaan Majapahit, Sultan Agung dan gambaran bangsa Indonesia dahulu. Para aktor dari peristiwa masa lampau seperti Gajah Mada, Jaya Baya, Ken Arok, bahkan Sultan Agung dipanggil lagi dalam pidato dan diskursus mereka.

Lalu motif penulisan sejarah itu menurut Sindhunata hidup lagi dari bagaimana Orde Baru menggambarkan Serangan Umum 1 Maret di Jogja. Narasi sejarah berkaitan peristiwa tersebut menurutnya sarat akan pemitosan terhadap tokoh dan figur tertentu.

Dalam bukunya tersebut ia menjelaskan dasar dari pengaruh sebuah bangsa adalah pengolahan bersama atas pengalaman kolektif baik di masa lalu maupun kini. Termasuk pengenangan akan ketokohan-ketokohan besar. Bisa jadi kecenderungan Kementerian Kebudayaan untuk menyenangkan penguasa akan mengembalikan praktik demikian itu dalam penulisan sejarah “baru” Indonesia.

Kita tidak tahu apa yang ada di benak pemangku kekuasaan sekarang. Namun, dengan adanya wacana penulisan sejarah baru itu tentunya ada ambisi yang tidak main-main.

Penggelontoran dana milyaran demi sejarah versi mereka apabila tidak dilaksanakan dengan bijak hanya akan membawa pada utopia. Utopia mengenai kejayaan masa lampau yang akan terulang, dan kemunculan figur-figur pahlawan.

Bukankah yang demikian hanya akan membuat rakyat semakin malas dan berpangku tangan? Hemat saya, narasi  demikian itu hanya akan membuat rakyat menuju fatalisme.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Sikap Pengecut Sejarawan Kampus
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Bandung Hanya Jadi Unggahan Estetik Instagram
MAHASISWA BERSUARA: Haruskah Setiap Hari Bertaruh Nyawa di Jalan Raya Jatinangor?

Pentingnya Melibatkan Kaum Pinggiran dan Wong Cilik dalam Sejarah

Salah satu artikel di tirto.id mengingatkan saya pada ulasan Sindhunata. Dalam artikel tersebut ditegaskan historiografi kita masih sentralistik.

Demikian itu apa yang disebut Sindhunata sebagai pengaruh kejawen dalam politik nasional. Pola penulisan sejarah kita meniru pola dalam kakawin dan babad di masa Jawa klasik.

Dalam pola yang demikian itu kejayaan sebuah bangsa diletakkan pada pusat yakni keraton. Sehingga kejayaan itu sebagai bagian dari falsafah padang obore dari kekuasaan keraton.

Imbas dari hal tersebut adalah aktor-aktor sejarah kita dipenuhi tokoh-tokoh penuh pemitosan. Dalam sebuah peristiwa sejarah hanya satu nama yang paling diingat dan dielu-elukan.

Katakanlah bila kita membahas Majapahit yang terlintas adalah Gajah Mada, Mataram dengan Sultan Agung, dan kemerdekaan dengan Soekarno. Kendati tokoh-tokoh di atas memang benar adanya, namun sifat sentralistik tersebut membuat adanya tokoh lain yang terpinggirkan bahkan tak disebutkan.

Dalam hal ini Sindhunata menyebutnya adalah wong cilik. Dalam buku terbarunya mengenai gerakan Ratu Adil (2024), wong cilik sebagai kaum tak bernama dan beraksara dalam sejarah ternyata adalah pejuang, petarung, berani berkonflik, dan mampu melakukan perubahan.

Mereka ini bisa jadi salah satu pasukan Raden Wijaya yang ikut membantai tentara Mongol, bisa juga tentara pelajar yang membendung sekutu. Mereka-mereka itu bisa saja adalah tokoh yang terlibat dalam setiap peristiwa genting namun jasanya dinafikan.

Penulisan sejarah versi penguasa sekarang bisa jadi hanya berfokus pada pemerintahan Jawa terutama Jakarta. Hal itu memperbesar dinihilkannya suara-suara dari pinggiran seperti di Papua dan lain-lain.

Menurut Sindhunata akan lebih baik bila historiografi tadi dimulai dari pinggiran lalu menjalar menuju pusat, bukan sebaliknya. Keberadaan sejarah versi penguasa yang sentralistik akan membumihanguskan suara-suara pinggiran.

Dalam sejarah itu hanya ada mitos-mitos dan heroisme semu yang ditonjolkan dengan penuh kemunafikan.  Selanjutnya seperti dalam alur yang sudah-sudah, akan ada sejarah versi wong cilik yang akan menandingi kemunafikan itu.

Suara-suara yang jarang didengar dalam sejarah selalu menggema di kalbu, mengkristal menjadi harapan. Dalam hal inilah menurut Sindhunata mitos Ratu Adil tumbuh. Mitos akan datangnya zaman keemasan di mana hanya ada kemakmuran dan kebajikan bagi wong cilik.

Gerakan milenaris Ratu Adil seolah membantah bahwa kerajaan, keraton, dan penguasa adalah pusat sejarah. Gerakan rakyat yang buta huruf dan melarat itu tumbuh melintasi zaman.

Menurut Sindhunata bahkan gerakan reformasi 98 itu juga perwujudan dari gerakan Ratu Adil. Hal itu menguatkan alasan bahwa historiografi kita harus lebih demokratis agar suara-suara pinggiran tetap dapat didengar.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel menarik lain Mahasiswa Bersuara

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//