• Berita
  • Melaporkan Kasus Dugaan Korupsi, Mantan Auditor Baznas Jabar Mendapat Perlindungan LPSK

Melaporkan Kasus Dugaan Korupsi, Mantan Auditor Baznas Jabar Mendapat Perlindungan LPSK

Koalisi Lawan Kriminalisasi Whistleblower (Koliber) menuntut pencabutan status tersangka pada Mantan Auditor Baznas Jabar Tri Yanto yang telah dilindungi LPSK.

Ilustrasi. Korupsi merusak masa depan bangsa. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah23 Juli 2025


BandungBergerak.id -  Koalisi Lawan Kriminalisasi Whistleblower (Koliber) mengapresiasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang telah memberikan status Terlindung terhadap saksi pelapor (whistleblower) Tri Yanto, mantan pekerja Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Jabar. Mantan kepala auditor internal Baznas Jabar ini melaporkan dugaan tindak pidana korupsi dana zakat dan dana hibah sebesar 13,3 miliar rupiah di lembaga zakat milik negara.

Sebelumnya, setelah melaporakan kasus dugaan korupsi, Tri Yanto dilaporkan oleh pimpinan Baznas Jabar dengan Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman pidana hingga 9 tahun penjara. Ia telah ditetapkan tersangka oleh polisi.

Anggota Koliber, Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan LBH Bandung, M Rafi Saiful Islam mengatakan, dengan status Terlindungi oleh LPSK, Tri Yanto telah memiliki posisi hukum yang diperkuat oleh Pasal 10 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan pasal tersebut Tri sebagai saksi pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata selama laporan diberikan dengan itikad baik.

Polisi yang menyidik kasus ini pun mesti menghentikan proses hukumnya. Rafi menegaskan, tindakan melaporkan dugaan korupsi di Baznas Jabar merupakan bentuk partisipasi publik yang dilindungi undang-undang. 

“Pada saat penyelidikan dan penyidikan kami telah mengingatkan penyidik Polda (Jabar) terkait hal ini. Juga LPSK secara resmi akan berkoordinasi dengan kejaksaan tinggi dan Polda Jabar untuk memastikan perlindungan hukum bagi Tri Yanto,” jelas Rafi saat dihubungi BandungBergerak, Selasa, 22 Juli 2025.

Apabila pemberitahuan resmi dari LPSK sudah dilakukan, sementara proses hukum masih berjalan menunjukkan ketidakpatuhan aparat penegarak hukum terhadap putusan LPSK dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.

Selain mendesak aparat hukum agar menindaklanjuti perlindungan dan menghentikan penyidikan, Rafi juga meminta agar proses hukum beralih fokus pada penyelidikan dugaan korupsi 13,3 miliar rupiah yang dilaporkan Tri Yanto.

Baca Juga: Koalisi Sipil Mengecam Kriminalisasi Dugaan Korupsi di Lembaga Publik Pengumpul Zakat, Baznas Jabar Membantah
Duduk Perkara Kasus yang Menyeret Mantan Auditor Baznas Jabar, Menjadi Tersangka Setelah Melaporkan Dugaan Korupsi

Kriminalisasi Saksi Pelapor Menciderai Komitmen Peritifikasi Konvesi Antikorupsi PBB

Koliber yang terdiri dari 20 organisasi masyarakat sipil menilai bahwa kriminalisasi terhadap Tri Yanto akan memicu reaksi masyarakat internasional tentang sejauh mana komitmen Indonesia sebagai salah satu negara peratifikasi Konvesi Antikorupsi Perserikatan Bangsa Bangsa (UNCAC). Pasal 33 UNCAC menyatakan:

“Setiap negara wajib mempertimbangkan untuk memasukkan ke dalam sistem hukum nasionalnya langkah-langkah yang tepat untuk memberikan perlindungan terhadap perlakuan yang tidak adil bagi setiap orang yang melaporkan dengan itikad baik dan atas dasar yang wajar kepada otoritas yang berwenang setiap fakta mengenai tindak pidana yang ditetapkan sesuai Konvensi”.

Menurut Koliber, jaminan perlindungan Tri Yanto sebagai pelapor dalam kasus dugaan korupsi telah diatur di Pasal 41 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Koliber mengingatkan, pemberantasan korupsi membutuhkan partisipasi masyarakat.

Pasal 41 (2) huruf e UU Tipikor menyatakan, masyarakat yang melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi harus mendapatkan perlindungan hukum dari tahap penyelidikan sampai pemeriksaan di pengadilan.

Selain mendesak penyidik kepolisian untuk menghentikan pengusutan terhadap Tri Yanto, Koliber juga meminta Kejaksaan Tinggi Jabar untuk segera menginvestigasi laporan dugaan korupsi secara transparan. Mereka juga mendesak pemerintah untuk melakukan reformasi terhadap pengelolaan zakat yang selama ini terpusat di Baznas RI.

“Negara tidak boleh memberikan ruang dan impunitas bagi koruptor hanya karena sibuk menangani kriminalisasi terhadap pelapor. Fokus utama harus tetap pada substansi laporan dugaan korupsi di Baznas Jawa Barat,” demikian pernyataan resmi Koliber.

Bantahan dari Baznas Jabar

Wakil Ketua IV Baznas Jabar Bidang SDM, Administrasi, Umum, dan Humas, Achmad Faisal pernah memberikan klarifikasi pada 27 Mei 2025 di kantor Baznas Jabar, Jalan Soekarno Hatta, Bandung terkait kasus ini. Ia menegaskan bahwa lembaga yang dipimpinnya telah menjalani audit investigatif secara menyeluruh, baik oleh Inspektorat Provinsi Jawa Barat maupun oleh Divisi Audit dan Kepatuhan Baznas RI.

"Hasil audit menyimpulkan bahwa tidak ada pelanggaran syariah sebagaimana dituduhkan oleh yang bersangkutan," ujarnya.

Achmad juga menjelaskan bahwa pemberhentian Tri Yanto bukan disebabkan oleh laporan-laporannya, melainkan karena alasan rasionalisasi dan tindakan indisipliner. Tri bahkan telah menerima dua kali surat peringatan sebelum akhirnya diberhentikan.

Ia menambahkan bahwa proses pemecatan telah diuji secara hukum melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan diputuskan sah. Tri juga telah menerima pesangon senilai 123 juta rupiah sesuai putusan pengadilan, meskipun awalnya Baznas Jabar hanya menetapkan kompensasi sebesar 46 juta rupiah. Bahkan, keputusan kasasi di Mahkamah Agung pun telah dijalankan sepenuhnya.

Terkait tuduhan bahwa Tri merupakan whistleblower, Achmad menolak anggapan tersebut. Menurutnya, Tri tidak melaporkan pelanggaran kepada lembaga resmi, tetapi justru menyebarkan dokumen internal ke pihak-pihak eksternal yang tidak memiliki kepentingan, termasuk LSM, ormas, dan grup-grup media sosial.

“Dia melaporkan kami ke berbagai media, termasuk LSM dan ormas. Bahkan kami didatangi dengan ancaman. Tapi kami menghadapi itu dengan menyampaikan fakta bahwa tidak ada pelanggaran hukum seperti yang dituduhkan,” tutur Achmad.

Karena itulah, lanjutnya, Baznas Jabar akhirnya melaporkan Tri ke polisi dengan tuduhan pencurian dan penyebaran data institusi. “Ada niat jahat karena data yang diambil diframing dan disebarkan ke pihak yang tidak kompeten. Itu yang membuat kami mengambil langkah hukum,” tegasnya.

Meskipun demikian, Achmad menegaskan bahwa Baznas Jabar tidak pernah menghalangi Tri untuk menyampaikan laporan atau mengambil jalur hukum. Ia menyatakan bahwa lembaganya siap menghadapi tuduhan secara terbuka dan transparan.

“Silakan buktikan kalau memang tidak bersalah. Bahkan, proses praperadilan pun bisa ditempuh dengan baik,” tutupnya.

Diketahui, kasus pelaporan Tri Yanto mulai mengemuka sejak awal 2023. Menurut keterangan resmi dari Polda Jawa Barat, persoalan ini bermula setelah Tri diberhentikan dari jabatannya pada 21 Januari 2023. Pemecatan tersebut dituangkan dalam Surat PHK Nomor 025 Tahun 2023.

Meski sudah tidak lagi menjabat, Tri diduga tetap mengakses perangkat kerja milik Baznas Jabar dan menyimpan berbagai dokumen internal yang bersifat rahasia. Ia kemudian dituduh menyebarluaskan informasi yang dikategorikan sebagai "informasi yang dikecualikan" berdasarkan Surat Keputusan Baznas Jabar. Dokumen-dokumen itu, menurut pihak kepolisian, tidak semestinya dipublikasikan kepada pihak luar.

“Modus operandi tersangka adalah memanfaatkan akses terhadap perangkat kerja Baznas sebelum resmi diberhentikan,” jelas Kabid Humas Polda Jawa Barat Hendra Rochmawan, dalam pernyataan resminya.

Setelah itu, Tri dianggap memindahkan dan menyebarluaskan data ke perangkat pribadinya. Beberapa barang bukti yang diamankan antara lain laptop MacBook Pro 13 tahun 2017 dan printer Epson L360.

Atas dugaan perbuatannya, Tri Yanto dijerat dengan Pasal 48 jo Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU ITE, yang mengatur tentang akses ilegal dan penyebaran data elektronik tanpa izin.

Sejarah Singkat Kriminalisasi Kasus Whistleblower di Indonesia

Istilah whistleblower pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 2005, saat Transpransi Internasional Indonesia yang diwakili Todung Mulya Lubis memberikan penghargaan kepada Khiransyah Salman atas keterlibatannya mengungkapkan kasus korupsi di KPU. Hal ini diungkapkan oleh Muji Kartika Rahayu, Muh. Affan R. Tojeng, Reza Syawawi dalam naskah akademik berjudul Melindungi Para Pengungkap Korupsi Refleksi atas Sistem Perlindungan terhadap Pelapor (2017) diterbitkan Transparency International Indonesia

Kasus kriminalisasi terhadap saksi pelapor atawa wshitleblower di Indonesia bukan hal baru, yang menunjukkan bahwa partisipasi pemberantasan korupsi dari masyarakat dalam posisi rentan. Indonesia Corruption Watch (ICW) memaparkan bahwa pelemahan terhadap saksi pelapor telah berlangsung sejak 2009-2011.

Dalam artikel Kematian Whistleblower” oleh Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia ICW Febri Diansyah disebutkan, menjadi whistleblower di Indonesia sudah mati sejak ia mengambil keputusan untuk menjadi peniup peluit.

Febri Diansyah mencontohkan, upaya Endin Wahyudin yang membongkar suap terhadap Hakim Agung berujung pidana pencemaran nama baik. Vicentius Amin Sutanto, mantan financial controller di AAG mmbongkar dugaan skandal pajak 1,3 triliun rupiah di perusahaannya berujung vonis 11 tahun karena dituduh membobol dana milik PT Asian Agri Oil and Fats Ltd di Singapura.

Kemudian, ada kasus Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Susno Duadji yang mengungkapkan tiga kasus yang tidak main-main, mulai dari kasus dugaan tindak pidana pencucian uang yang melibatkan Gayus HP Tambunan, dugaan korupsi PT Salmah Arwana Lestari (SAL), dan penggunaan anggaran di Mabes Polri dan Kepolisian Daerah se-Indonesia.

Namun setelah kasus-kasus dugaan korupsi itu diungkap, Susno ditetapkan sebagai tersangka di salah satu kasus yang hendak dibongkarnya, PT SAL pada 11 Mei 2010. Dia juga ditetapkan sebagai tersangka untuk kasus dana hibah 2008 saat menjabat sebagai Kapolda Jabar.

Selain kriminalisasi, whistleblower juga rentan terhadap ancaman dan serangan seperti yang dialami oleh penyidik senior KPK Novel Baswedan yang menjadi target kekerasan penyiraman air keras. Novel menyakini teror yang diterima oleh dirinya berkaitan dengan pekerjaanya di KPK yang sebelumnya ia menangani kasus korupsi besar seperti skandal e-KTP. 

Kasus Tri Yanto yang dilaporkan setelah melaporkan dugaan korupsi di lembaga zakat milik negara menambah riwayat kriminalisasi whistleblower di Indonesia.

*Kawan-kawan yang baik silakan membaca tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah atau artikel-artikel tentang Kasus Korupsi

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//