Menyulam Ruang Aman untuk ODHA di Bandung
Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) menjadi ruang aman bagi ODHA untuk saling menguatkan, berbagi kisah, dan menumbuhkan rasa percaya.

Bunga Adelia Haramain
Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad)
24 Juli 2025
BandungBergerak.id – Di balik hiruk-pikuk ramainya Bandung, nyatanya ada ruang-ruang yang tak kasat mata –ruang yang dirajut dari rasa percaya, dari peluk yang tak menghakimi, dari harapan yang senantiasa dipupuk. Di sanalah, komunitas dan LSM menenun asa bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), yang kerap hidup dalam sunyi dan stigma tersendiri.
Bagi ODHA di Bandung, ruang aman bukan hanya persoalan sederhana. Eksistensinya hadir sebagai oase di mana mereka bisa menjadi diri sendiri, tanpa takut sebuah penghakiman. “Ruang aman itu, ya, tempat di mana mereka bisa jadi diri sendiri, tanpa takut dihakimi,” ucap Kang Abe, salah seorang perwakilan dari LSM Bandung Aids Coalition.
Bandung AIDS Coalition, berdiri sebagai koalisi dua belas organisasi LSM yang bergerak di isu HIV & Aids. “BAC itu sebuah koalisi yang dibentuk dari 12 organisasi LSM yang sudah tervalidasi dari Kemenkumham, Kesbangpol, yang memang bergerak di isu HIV. Termasuk Female Plus, Rumah Cemara, Puzzle, Perwadi, PKBI Kota Bandung, Grafik, Serikandi Pasundan. Kemudian PPKN, khusus untuk pengguna napza suntik. Terus ada juga Kelompok Dukungan Sebaya yang belum tervalidasi secara hukum,” jelasnya lebih lanjut.
Namun, ruang aman sejati tumbuh di Kelompok Dukungan Sebaya (KDS). Di sanalah ODHA saling menguatkan, berbagi kisah, dan menumbuhkan rasa percaya.
“Kalau Kelompok Dukungan Sebaya memang tidak secara legalitas. Jadi dia memang secara supporting group saja, Kelompok dukungan saja. Nah, yang kamu bahas soal ruang aman, ruang aman kita ada di Kelompok Dukungan Sebaya,” ungkapnya.
Di KDS, tidak ada campur tangan orang luar baik itu penggiat ataupun pengurus. “Kalau di supporting group, di Kelompok Dukungan Sebaya, itu mereka yang hanya ada di sana adalah orang-orang yang positif HIV.” Sehingga ada rasa kesamaan dan sehati saling memahami.
Bandung sendiri memiliki sembilan hingga sepuluh KDS, dibagi sesuai kelompok risiko: untuk pekerja seks, anak-anak, transpuan, pengguna napza suntik, hingga gay, biseksual, dan LSL. “Makanya kenapa dibilang safe place, ya di situ. Mereka sangat merasa aman, mereka punya ruang sendiri, berekspresi, berpendapat di sana.”
Namun, ada juga ruang yang berwujud bangunan nyata, tersembunyi, dan penuh tersimpan dari riuhnya bising –yakni safe house. Di balik pintu yang hanya diketahui oleh beberapa orang, safe house kokoh berdiri sebagai oase bernaung bagi ODHA yang kehilangan tempat pulang akibat stigma yang konsisten menikam.
Baca Juga: Rumah Cinta Insani, untuk Mereka yang Berjuang namun Terlupakan
Berteman dengan Derasnya Air, Mereka yang Tak lagi Mengenal Keheningan
Warung Batu Api yang Tak Lelah Berdiri Sendiri di Jatinangor
Rumah Aman
Safe house di Bandung dikelola oleh PKBI Jawa Barat. Lokasinya dirahasiakan, hanya diketahui oleh pengguna dan pengelola. “Kalau fisik, kita ada di PKBI Jawa Barat, kita punya safe house. Tapi yang namanya safe house kan tidak ada yang tahu kecuali pengguna sama yang mengelola. Kita usahakan safe house itu, siapa pun tidak boleh mengetahui tempatnya di mana,” jelas Kang Abe.
Atap untuk bernaung ini menjadi pelarian bagi mereka yang mengalami kekerasan, baik fisik maupun seksual, atau mereka yang tiba-tiba kehilangan rumah karena stigma. Di sana, ODHA bisa bersandar, menata ulang harapan, dan mencari kembali pijakan untuk melanjutkan hidup.
Namun, menjaga keberadaan safe house bukan perkara mudah. Mencari lokasi yang benar-benar aman adalah tantangan tersendiri bagi LSM. “Cuman hambatannya ya itu tadi kita cari lokasi yang benar-benar tepat itu susah, sulit gitu ya. Ketika kita mau coba ngobrol sama Pemkot, otomatis Pemkot tahu rumah amannya, jadi kan jadi enggak aman gitu kan,” ujar Kang Abe.
Ada dilema yang sulit diredakan, di satu sisi, dukungan pemerintah bisa memperkuat fasilitas, tapi disisi lain, jika terlalu banyak pihak yang tahu, rasa aman pun seolah terkikis. Maka, kepercayaan yang menjadi kunci utama, rasanya sulit digenggam erat. Tanpa kepercayaan dari ODHA, safe house hanya akan menjadi bangunan kosong tanpa fungsi semestinya.
Selain itu, safe house juga harus digunakan dengan bijak. Ada kekhawatiran jika ruang ini dimanfaatkan tidak semestinya, dan hanya memanfaatkan situasi semata. Maka, komunitas berupaya menata skema, memastikan safe house benar-benar menjadi pelindung bagi yang paling membutuhkan.
Fondasi Utamanya Kepercayaan
Kepercayaan adalah fondasi utama dalam membangun ruang aman. Banyak ODHA yang masih takut terbuka, bahkan pada komunitas sendiri.
“Kedua adalah kendalanya di teman-teman ODIV sendiri tadi itu, teman-teman orang dengan HIV itu butuh kepercayaan yang sangat mendalam buat mereka untuk percaya sama kita nih petugas-petugas, entah pendukung sebaya, entah di bagian program, karena mereka merasa bahwa mereka enggak mau dijadikan objek.” lanjut Kang Abe.
Namun, banyak ODHA yang tiba-tiba menghilang dari proses pengobatan. “Lost to follow up, jadi memang ketika dia akses, terus dia merasa bahwa, mungkin ketika dia mengakses dia masih sakit, tapi ketika dia sudah akses 1-2 tahun, udah sembuh, menurut dia udah sembuh, sehat, maksudnya sakitnya udah gak ada keluhan, jadi ngerasa bahwa ya udah lah, gak perlu minum lagi, sedangkan orang yang hidup dengan HIV itu, harus mengakses obat ARV itu kan seumur hidup kan, selama dia hidup kan.”
Penghuni yang tiba-tiba hilang ini pun menjadi perhatian khusus komunitas. “Dan ini jadi concern-nya teman-teman, teman-teman di Female Plus, teman-teman di LSM lain, yang memang akhirnya jadi penelusuran. Karena memang banyak sekali kasus di Kota Bandung.”
Penelusuran ini, juga dapat diartikan adanya konsistensi para LSM dan penggiat lainnya untuk terus menyalurkan kasih dan pedulinya pada ODHA. Meskipun, belum seluruhnya terdata dan memiliki angka pasti. terungkap bahwa sudah berbagai upaya dilakukan oleh para LSM, hingga menyambangi langsung.
Artinya di Bandung, ruang aman bagi ODHA bukan hanya sesederhana istilah. Ia nyata, dibangun di antara dinding-dinding kepercayaan atas uluran ramahnya pelukan komunitas yang senantiasa membersamai.
Komunitas dan LSM di kota ini terus menyalakan lilin harapan, menepis stigma, dan membuktikan, bahwa di balik dinding kota, selalu ada ruang untuk bangkit, untuk tumbuh, dan untuk bermimpi kembali. Dan pada akhirnya, setiap ruang aman yang berhasil dibangun adalah bukti bahwa kasih, peduli, dan harap masih hidup di tengah hiruk pikuknya Bandung untuk setiap ODHA yang pernah merasa terpinggir.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB