• Opini
  • Festival Literasi di Bandung Luput, Jangan-jangan tidak Perlu

Festival Literasi di Bandung Luput, Jangan-jangan tidak Perlu

Di tengah semarak literasi di Bandung, keinginan adanya sebuah festival sastra Asia Afrika mengemuka. Terlepas apakah orang Bandung perlu tidak festival ini.

Zulkifli Songyanan

Penyair dan wartawan

Mang Pepep DW (kiri) dan Teh Ulu (kanan) pada sesi diskusi Ngobrolin Bandung dalam festival buku Patjar Merah X Bandung Readers Festival di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, (6/12/2022). (Foto: M. Raihan Dani M. Raihan Dani/BandungBergerak.id )

24 Juli 2025


BandungBergerak.idDalam sebuah obrolan di Magelang, November 2015, Hawe Setiawan melemparkan pertanyaan, “Iraha Bandung boga nu kieu?” Kapan Bandung punya yang beginian? 

Konteks “nu kieu” dalam pertanyaan di atas adalah Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF). Kala itu, BWCF memasuki gelaran kelima, pertama kali diselenggarakan pada 2012. Tema BWCF 2015 adalah “Gunung, Bencana, dan Mitos di Nusantara”. Kang Hawe didapuk menjadi salah satu pembicara, sedangkan saya datang sebagai peserta. 

Seperti tahun-tahun sebelumnya, BWCF 2015 diselenggarakan di Hotel Manohara Borobudur, satu-satunya akomodasi di dalam area Candi Borobudur. Sepanjang tiga hari kegiatan, BWCF 2015 diramaikan oleh serangkaian diskusi perihal peradaban gunung, pertunjukan teater, musik, pembacaan puisi, pameran foto, pemutaran film, serta pemberian penghargaan.

Selain di Hotel Manohara, kegiatan BWCF 2015 juga digelar di Krandegan, “Swiss van Java”, dusun terakhir sebelum puncak Gunung Sumbing. Dari Hotel Manohara, peserta dan pengisi acara diangkut panitia menggunakan bus menempuh perjalanan kurang lebih 35 kilometer. 

Sesampainya di lokasi, menjelang magrib, rombongan dijamu aneka makanan dan minuman tradisional di rumah-rumah penduduk. Selepas isya, rombongan dan penduduk berbaur di halaman kantor desa, menyaksikan pertunjukan seni–antara lain wayang kulit dan keroncong–serta pembacaan puisi. Panitia BWCF 2015 menggandeng Komunitas Lima Gunung menyelenggarakan agenda ini.  

Di sela-sela obrolan soal kesan serta kekaguman terhadap BWCF 2015, terutama program dan pelayanannya, pertanyaan yang menjadi pembuka tulisan ini mengemuka. “Iraha Bandung boga nu kieu?” 

Festival Literasi Asia Afrika, Sebuah Tawaran

Awal tahun ini, saya kepikiran membuat–atau mengangankan adanya–semacam festival literasi di Bandung. Tajuknya: Festival Sastra Asia Afrika. Gagasan itu muncul begitu saja mengingat momentum 70 Tahun Konferensi Asia Afrika di depan mata, April 2025. 

Saya bayangkan dalam festival tersebut ada serangkaian diskusi mengenai karya-karya para penulis dari negara-negara Asia Afrika, lokakarya ke sekolah-sekolah dan warga, pertunjukan musik, pameran, pasar buku dan kuliner, hingga kuliah umum dari para pemenang Nobel asal Asia Afrika–Han Kang, misalnya.

Saya bayangkan juga lokasi utama kegiatannya membentang dari Dalem Kaum, Gedung Merdeka, Braga Pendek, dan Braga Panjang, hingga Gedung Indonesia Menggugat. Selain di tengah kota, kegiatan juga disebar di banyak tempat, terutama toko buku, perpustakaan, dan ruang publik, melibatkan komunitas-komunitas. 

Sebagai kegiatan akbar, Festival Sastra Asia Afrika dalam bayangan saya berlangsung semarak dan mengikutsertakan semasif mungkin orang banyak.

“Pidato peraih Nobel di Bandung adalah program yang membedakan festival ini dari festival sastra lainnya di Indonesia,” saya bergumam.

Sejumlah teman saya kabari soal gagasan ini. Responsnya beragam. “Itu proyek mercusuar, Bung,” ungkap penyair Zen Hae, saat kami berkomunikasi via WhatsApp. Sisanya, kebanyakan bilang, “Mantap! Mantap!”

Kang Hawe Setiawan tentu tak luput dikabari. Komentarnya rada bikin saya tercengang. “Itu gagasan lama. Dari dulu banyak yang kepikiran bikin Festival Asia Afrika, tapi gak kejadian. Isa Perkasa juga punya ide yang sama membuat Pameran Seni Rupa Asia Afrika.”

Fariq Al Faruqi, kawan di Jakarta yang berpengalaman merancang festival, menyebut ide ini bisa saja terlaksana, asalkan disampaikan kepada orang-orang yang tepat. “Kalau yang diajak bicara kebanyakan–lima orang saja sudah kebanyakan–aku yakin gak bakal jadi itu barang,” ungkap Fariq.

Persoalannya, saya tidak tahu mana orang yang tepat diajak bicara dan mana yang tidak. Saya menganggap orang-orang yang diajak bicara tentang ide bikin festival literasi di Bandung adalah orang yang tepat.

Sebagai pendengar, mungkin semuanya adalah orang yang tepat, tetapi untuk sampai kepada aksi, tampaknya saya harus mencari orang yang lebih meyakinkan lagi. Untuk itulah tulisan ini dibuat, semacam proposal terbuka sekaligus tawaran kepada pembaca. 

Gagasan mengenai Festival Sastra Asia Afrika sebetulnya tidak sepenuhnya berakhir sebagai omon-omon belaka. Seorang kawan yang punya akses ke Pemerintah Kota Bandung pernah menjembatani ide ini dengan Pemerintah Kota Bandung. Obrolan dibuat, demikian juga proposal dan grup WhatsApp. Audiensi dilangsungkan, saya menunggu di kejauhan. 

Belakangan, kawan satu ini menyampaikan bahwa jalan terbaik jika Festival Sastra Asia Afrika benar-benar hendak direalisasikan adalah dengan tidak melibatkan Pemerintah Kota Bandung. “Rudet,” katanya. 

“Selain Festival Sastra Asia Afrika, bikin Festival Sastra Bandung Rudet boleh juga,” saya membatin, akhirnya. 

Festival Antipenindasan

Keterangan bahwa menyelenggarakan Festival (Sastra) Asia Afrika menjadi impian banyak pihak sejak dulu tentu beralasan. Konferensi Asia Afrika digelar di Bandung pada 1955, dan dampaknya pada dunia tidak bisa dipandang sebelah mata. Salah satunya, melahirkan Konferensi Pengarang Asia Afrika. 

Circa 2023, Johary Ravaloson, novelis Madagaskar yang bermukim di Perancis, datang ke Bandung. Saya dan Pradewi Tri Chatami bertemu dengannya di kawasan alun-alun, sebelum mengajaknya makan siang di Bu Imas. Johary bercerita, ia baru keluar dari Gedung Merdeka dan menitikkan air mata. 

“Seperti mimpi,” kata Johary. “Ini adalah bangunan yang dulu saya saksikan di buku sekolah, bangunan yang menginspirasi kemerdekaan sejumlah negara di Afrika, termasuk negeri saya. Seperti mimpi, saya baru saja menginjakkan kaki di gedung yang dulu hanya bisa saya lihat gambarnya saja.” 

Johary datang ke Bandung untuk kepentingan promosi bukunya, Perburuan (2023) terbitan Marjin Kiri. Agenda tur buku Johary hanya berlangsung di dua kota, Jakarta dan Yogyakarta, tetapi ia mengalokasikan waktu khusus datang ke Bandung untuk melihat langsung Gedung Merdeka.

Sehabis mengisi perut, Johary kami ajak berjalan kaki kembali ke Dalem Kaum, kemudian menuju Braga lewat Banceuy, Pasar Cikapundung, dan Kampung Braga. Sepanjang jalan, Johary berkomentar bahwa suasana dan nama-nama plang yang tampak di area komersial Banceuy tak jauh berbeda dengan suasana dan nama-nama yang ada di Madagaskar.

“Jika saya upload foto-foto tentang ini di media sosial, kerabat saya akan protes– kenapa kamu pulang kemari, tetapi tidak mengunjungi rumah-rumah kami?” kata Johary.

(Aktivitas jalan kaki dari Bu Imas menuju Braga, saya kira, bisa menjadi semacam trial tentang bagaimana salah satu kegiatan Festival Asia Afrika ini dikemas: jalan-jalan).

Selain Johary, karya penulis Afrika kiwari lainnya yang bisa dinikmati pembaca Indonesia antara lain Murambi: Buku tentang Tulang Belulang (Shira Media, 2023) karya Boubacar Boris Diop serta Paradise karya Abdulrazak Gurnah (Mizan, 2023). Penerbit Haru di Ponorogo juga punya fokus menerbitkan buku-buku dari penulis Asia. Selain Haru, tentu ada juga Penerbit Baca, Marjin Kiri, dan Moooi Pustaka yang konsisten menerbitkan karya-karya berkualitas dari berbagai negara, termasuk negara-negara Asia dan Afrika.

Maksud saya mendata buku-buku di atas tentu dalam konteks pengayaan Festival Asia Afrika. Jika ide itu akhirnya terlaksana, sekecil apa pun kegiatannya, akses membicarakan karya-karya penulis dari benua Asia dan Afrika sangat terbuka. Perkara penulisnya datang atau tidak biarlah diurus belakangan.

Konferensi Asia Afrika 1955 diselenggarakan dengan tujuan, salah satunya, melawan segala bentuk kolonialisme. Dari 29 negara peserta, hanya Palestina yang sampai saat ini belum merdeka. Pada saat bersamaan, berbagai bentuk penindasan juga masih berlangsung di banyak tempat, tak terkecuali di Bandung sendiri. Konflik lahan yang disertai kekerasan pernah dan masih terjadi di Tamansari, Dago Elos, Sukahaji, hingga Cicalengka.

Hemat saya, menggelar Festival Sastra Asia Afrika dengan tagline Festival Antipenindasan cukup relevan untuk menyuarakan sekaligus menyikapi fenomena di Bandung. Selain di toko buku dan perpustakaan, program festival juga bisa dilangsungkan di tempat-tempat berlangsungnya penindasan dengan tujuan menyatakan sikap dan dukungan bagi orang-orang yang terdampak konflik lahan.

Maret 2025, istri saya melahirkan anak pertama kami. Seiring rutinitas baru menyambangi rumah sakit dan mengerjakan hal-hal domestik, ide mengenai adanya satu festival literasi berkelanjutan di Kota Kembang pun surut pelan-pelan, tetapi tidak sepenuhnya tenggelam. 

Benarkah tidak Ada Kaki-Kaki?

Saat menghadiri pembukaan pameran tunggal Iwan Yusuf “Tujuh Layar Menyisir Langit” di Selasar Pavilion, 25 April 2025, Heri Pemad ditanya perupa Sunaryo, “Apakah mungkin event seni rupa seperti Art Jog bisa diselenggarakan di Bandung?” 

Jawaban Pemad, “Susah. Di sini kebanyakan kepala, kaki-kakinya gak ada. Kalau di Yogya, kaki-kakinya banyak, kepalanya sedikit.”

Maksud pernyataan Pemad: untuk sebuah perhelatan akbar seni rupa, Bandung sarat kurator, konseptor, sementara eksekutornya nyaris tak ada–jika bukan sama sekali tidak ada.

Sekilas, pernyataan Pemad bisa juga berlaku bagi ekosistem sastra atau literasi. Bandung kesulitan menyelenggarakan festival berkelanjutan seperti BWCF, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), atau Makassar International Writers Festival (MIWF) lantaran kaki-kakinya, tim teknisnya, tidak ada. (Jika kaki-kakinya tidak ada, memang kepalanya ada, ya?)

Saya beranggapan, kaki-kaki festival sastra tidak ada di Bandung lantaran festivalnya sendiri tidak ada. Ketika Galuh Pangestri dkk membuat Bandung Readers Festival (BRF) pada 2019 silam, kaki-kaki itu muncul. Demikian juga ketika Festival Literasi Keliling patjarmerah menyambangi Bandung pada 2022 dan menggandeng BRF sebagai kolaborator, kaki-kaki itu kelihatan–kompak dan keren.

Belakangan, kegiatan-kegiatan literasi di Bandung berlangsung semarak, demikian juga event-event seni rupa. Nyaris setiap minggu ada saja pembukaan pameran, diskusi buku, lapakan bacaan, lokakarya menulis, hingga baca puisi di sejumlah titik di Kota Bandung.

Menyebut beberapa nama: Museum Asia Afrika di kawasan Braga, perpustakaan jalanan di Cikapayang, Toko Buku Bandung dan Kedai Jante di Jalan Garut, Perpustakaan Bunga di Tembok serta Kedai & Perpustakaan Rasia Bandung di Pasirluyu, TB Pelagia di Kebon Jati, Halaman Ganjil di Sukarasa, The Room 19 di Dipatiukur, Kopi Poka di Kanayakan, The Howl di Cisatu, ITB Press di Jalan Ganesha.

Demikian juga komunitas seperti Bandung Book Party, CouchSurfing Writing Club (CSWC), Teman Baca Ibu, Salman Reading Corner, Kumbang Book Club, Baca di Bandung, Read Aloud Bandung, Berpuisi, Nyarita Bandung, dan lain sebagainya. Semunya bertebaran di Kota Kembang dengan agenda rutinnya sendiri-sendiri.

(Sila periksa konten #AgendaKomunitas Bandung Bergerak untuk mengetahui betapa bejibunnya agenda sobat-sobat komunitas di Bandung ini).

Jika semua komponen tersebut serentak membuat kegiatan bersama, saya percaya sebuah festival bisa terselenggara. Namun, pertanyaan saya kemudian, benarkah Bandung perlu festival? Jangan-jangan tidak.

Baca Juga: Cerita di Belakang Patjarmerah X BRF: Dari Krisis Venue hingga Titik Baru Kegiatan Literasi di Kota Bandung
FESTIVAL BANDUNG MENGGUGAT: Napas Perlawanan dari Pinggiran Utara Kota

Pembukaan Pameran Buku Bung Karno di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan No 5 Bandung, 6 - 11 Juni 2022. Pameran ini memamerkan 80 buku pidato, reportase, roman, autobiografi dan biografi terbitan 1950-2017 tentang Bung Karno. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Pembukaan Pameran Buku Bung Karno di Gedung Indonesia Menggugat, Jalan Perintis Kemerdekaan No 5 Bandung, 6 - 11 Juni 2022. Pameran ini memamerkan 80 buku pidato, reportase, roman, autobiografi dan biografi terbitan 1950-2017 tentang Bung Karno. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Becermin dari Kota Lain, Melacak Jejak di Kota Sendiri

Sejumlah festival sastra atau literasi di sejumlah daerah bertolak dari kebutuhan daerah itu sendiri. Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), misalnya, digelar untuk menghidupkan kembali aktivitas pariwisata di Ubud pascaperistiwa Bom Bali.

Makassar International Writers Festival (MIWF) mula-mula diselenggarakan dengan tujuan mengubah citra Makassar sebagai kota yang identik dengan kekerasan–paling tidak, demikianlah yang terlihat di mesin pencari. Seiring waktu, MIWF lebih dari sekadar event literasi. Ia menjelma menjadi festival publik atau festival warga. Tahun 2020, London Book Fair di Inggris menobatkan MIWF sebagai festival sastra terbaik di dunia.

Di Bali Utara, Singaraja Literary Festival (SLF) dibuat dengan maksud menjadi wahana produksi pengetahuan. Singajara adalah “gudang lontar” dan salah satu cara mendekatkan naskah-naskah lontar kepada publik hari ini dilakukan melalui festival.

Festival Sastra Santarang di Kupang mula-mula diadakan untuk mendekatkan publik terhadap buku–akses terhadap buku di Kupang sukarnya bukan main, dan harganya mahal.

Microfest di Lombok terselenggara sebagai “ruang tandingan” bagi kegiatan-kegiatan yang selama ini terpusat di Gedung Kesenian, didominasi orang-orang tua. Selain itu, Microfest juga menjadi perayaan atas kerja keci-kecilan diselenggarakan Komunitas Akarpohon–terutama agenda rutin bikin kelas dan diskusi. 

Di Bandung, saya kira, semua problem atau kebutuhan semacam itu tidak ada. Saban pekan nyaris selalu ada kegiatan, aktivitas pariwisata ramai lancar–bahkan sudah sampai di titik yang menjemukan–toko buku dan perpustakaan melimpah, citra kota sebagai sarang geng motor bisa diimbangi dengan sebaris kalimat monumental: Bumi Priangan diciptakan Tuhan ketika sedang tersenyum.

Pendek kata, jangan-jangan Bandung tidak butuh festival, atau pola gerakan yang besar dan monumental semacam itu tidak perlu-perlu amat di Bandung.

“Gerakannya rizomatik,” ungkap Tri Joko Her Riadi, saat saya melontarkan gagasan yang kemudian menjadi tulisan ini.

Bandung tidak perlu festival boleh jadi benar, meski perlu kajian lebih lanjut. Namun, jika Bandung dinilai tidak punya festival sastra, jelas-jelas keliru.

Pada 2019, BRF eksis dan meriah. Jauh sebelumnya, dalam skala kampus, ASAS dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) beberapa kali menyelenggarakan Fokus Sastra—terakhir 2013. Dengan modal dan kemampuan alakadarnya, sejumlah pegiat sastra dari berbagai tempat di Indonesia tercatat pernah menjadi peserta, antara lain Radhar Panca Dahana, Faisal Kamandobat, Aan Mansyur, Esha Tegar Putra, Heru Joni Putra, Dea Anugrah, Indian Koto, Mutia Sukma, Bode Riswandi, hingga Felix Nesi.

Mundur ke belakang, circa 1990-an, ada Festival Puisi Bulan Desember. Saban Desember, para penyair mengirimkan puisinya ke panitia, kemudian yang terpilih karyanya dicetak dalam stensil dan diundang membacakan puisinya di Gedung Kesenian Rumentang Siang. Salah satu event bersejarah di skena sastra Indonesia juga pernah dan hanya terjadi di Bandung: Pengadilan Puisi (1974). Selain itu, beberapa tahun lalu ada juga Festival Indonesia Menggugat yang diinisiasi Ultimus Bandung dan komunitas lainnya.

Dengan kata lain, kaki-kaki festival di kota ini sebetulnya tersedia, demikian juga kepalanya, asalkan terhubung oleh “tulang punggung dan tulang selangka” yang kokoh. Dan, jangan lupa, Bandung Zine Fest yang cool itu masih eksis–event satu ini mestilah menjadi cermin jika pegiat sastra atau literasi di Bandung ingin menggelar perayaan serupa.

Di tengah semaraknya berbagai kegiatan perbukuan di Bandung akhir-akhir ini, keinginan melihat adanya sebuah festival di Bandung kembali mengemuka–terlepas dari asumsi butuh tidaknya orang Bandung terhadap festival ini.

Dalam taraf yang paling minimal, saya kira, festival sastra atau literasi atau perbukuan–apa pun kelak namanya–bisa menjadi semacam perayaan bersama atas hal-hal yang sudah dilakukan sendiri-sendiri selama ini. Harapan yang tidak terlalu muluk-muluk atau berlebihan, bukan? 

Dengan kata kata lain, kapan kita mulai ini barang?

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//