• Narasi
  • Cerita di Belakang Patjarmerah X BRF: Dari Krisis Venue hingga Titik Baru Kegiatan Literasi di Kota Bandung

Cerita di Belakang Patjarmerah X BRF: Dari Krisis Venue hingga Titik Baru Kegiatan Literasi di Kota Bandung

Menyatukan komunitas literasi di Bandung adalah tantangan besar. Titik-titiknya tersebar di berbagai wilayah, dari utara sampai selatan.

Zulkifli Songyanan

Penyair dan wartawan

Patjarkita, sebutan bagi voolunter yang menjadi panitia kegiatan literasi #patjarmerahXBRF yang berlangsung sembilan hari sejak 3 Desember hingga 11 Desember 2022 di Gedung PPAG Unpar Bandung. (Foto: Zukifli Songyanan)

15 Desember 2022


BandungBergerak.id—Beberapa menit setelah konser kecil IniReda selesai dan sebagian besar panitia #patjarmerahXBRF berjingkrak menari-nari dan bernyanyi di antara ribuan buku—dengan membuat lingkaran sambil memegangi bahu satu sama lain—saya berdiri di sudut aula Gedung PPAG Unpar, tak jauh dari pintu keluar.

Reda Gaudiamo, penyanyi yang menjadi penampil terakhir di gelaran #patjarmerahXBRF – festival literasi dan pasar buku keliling Patjarmerah yang menggandeng mitra lokal BRF, Bandung Readers Festival. Reda tampak masih meladeni beberapa pengunjung yang mengajaknya foto bersama di area selasar. Syahid Muhammad, penulis dan salah satu pengisi acara, kembali masuk ruangan dan berlari menuju panitia—#patjarkita, sebutannya—untuk sama-sama meluapkan kegembiraan. Tak jauh dari tempat saya berdiri, Denny Rachman dan teman-teman dari Pasar Rakyat terlihat tengah mengemasi buku-buku dagangannya.

“Aman, Kang?”

Denny tersenyum sambil mengacungkan kedua jempolnya.

Momen itu, momen ketika gelaran patjarmerahXBRF dinyatakan selesai—setelah digelar sembilan hari sejak 3 Desember hingga 11 Desember 2022—terasa sedikit sentimental buat saya pribadi. Sebabnya, sejak dihubungi oleh Galuh Pangestri pada 12 Juli 2022 dan diminta terlibat dalam kepanitiaan #patjarmerahXBRF, kegiatan ini sudah diundur lebih dari tiga kali.

Baca Juga: Jauhi Virusnya, Bukan Orangnya: Satu Langkah Memerangi HIV
MAS MARCO KARTODIKROMO SEORANG JURNALIS PERGERAKAN #3: Delik Pers dan Syair Sama Rasa dan Sama Rata
Menyelamatkan yang Hilang di Kota Tua Bandung

Dari GIM, Laswi Heritage, Bumi Silih Asih, hingga Kampus Unpar

Mulanya, #patjarmerahXBRF akan digelar pada 27 Agustus-6 September di Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Panitia sudah mengantongi izin namun di tengah persiapan pihak pengelola tiba-tiba membatalkan. Alasannya, di gedung yang dikelola oleh pemerintah tidak boleh ada kegiatan transaksional. “Tapi ini pameran buku. Tidak mungkin tidak ada kegiatan transaksional,” ungkap Windy Ariestanty, saat menyampaikan laporannya dalam sebuah rapat daring bersama teman-teman BRF, Bandung Readers Festival.

Terkait pernyataan Windy, pihak pengelola memberikan solusi, tapi sulit dipenuhi: semua aktivitas transaksi di area GIM musti dilakukan secara nontunai. “Kami perlu membuat infrastrukturnya, dan itu tidak murah,” ungkap Windy.

Sebelum memutuskan untuk mencari tempat lain, pihak pengelola sempat  memberi saran terakhir jika kami masih ingin menggunakan GIM: ganti nama kegiatan dengan patjarbiru atau patjar-apa-saja, asalkan jangan patjarmerah. Jelas, tak ada kompromi untuk permintaan seabsurd itu. Patjarmerah bukan sekadar kegiatan, tapi juga merek. Dan nama patjarmerah sudah digunakan sejak 2019, sejak pertama kali festival literasi dan pasar buku keliling itu digelar di Yogyakarta.

Berikutnya, pemilihan tempat beralih ke Laswi Heritage. Sebuah kawasan seluas 20 hektar yang dulunya merupakan gudang penyimpanan dan pendistribusian komponen kereta api. Dari segi karakter, Laswi Heritage tampak cocok dengan patjarmerah yang biasa menggunakan sekaligus mengaktivasi bangunan-bangunan tidak terpakai sebagai tempat kegiatan. Di gadang-gadang sebagai ikon baru, ongkos sewa Laswi Heritage terbilang tidak masuk akal. Memang, biaya sewa untuk sembilan hari kegiatan “hanya” 50 juta rupiah. Tapi angka itu belum termasuk lampu (sebab cuma ada satu lampu di gedung yang kami sasar), penambahan kapasitas listrik, penggunaan air yang dihitung harian, serta SDM (kami butuh orang lebih untuk menyiapkan semuanya). Bangunan dalam keadaan kurang terawat dan kurang layak pakai tapi tanggung jawab untuk membereskannya dibebankan kepada penyewa. Apa kata dunia?

“Jika dihitung-hitung, ongkos operasional untuk membuat bangunan siap dijadikan venue kegiatan bisa sampai 100 juta rupiah,” ungkap Windy. Alasan itu pula yang kemudian membuat kami sadar bahwa membuat event literasi berskala besar di kota Bandung bukanlah urusan mudah.

“Kalau gak dapat tempat, gimana?” Pertanyaan saya dijawab Yoga Palwaguna, penulis dan editor yang terlibat dengan BRF sejak BRF pertama kali digelar pada 2019. “Bisa jadi event-nya dibatalkan, Kang. Bandung gak jadi disinggahi patjarmerah.”

Di tengah ketidakpastian itulah kabar baik datang dari Bumi Silih Asih, Pusat Pastoral Keuskupan Bandung. Lewat Natalia Oetama, penulis yang juga terlibat sejak rapat pertama #patjarmerahXBRF, pengelola Bumi Silih Asih membuka tangannya lebar-lebar, menawarkan gedung yang berlokasi di Jalan Moch. Ramdan No. 18 itu dijadikan tempat kegiatan. Tim patjarmerah dan BRF sepakat menjadikan area basement sebagai venue—sekalipun pihak Bumi Silih Asih menawarkan hampir semua bangunan, terutama ruangan utama di lantai 1. Dalam rapat, jadwal patjarmerahXBRF pun diundur sebulan, menjadi akhir September-awal Oktober 2022.

“Bandung benar-benar menantang, yah. Ini yang membuat kami semakin penasaran menggelar patjarmerah di Kota Kembang,” ungkap Windy, saat mengabarkan bahwa dua orang pengurus Bumi Silih Asih terkena Covid. Dampaknya, pihak Bumi Silih Asih meminta kegiatan diundur lagi dua bulan. Permintaan itu terang saja sangat masuk akal. Bagaimanapun, langkah antisipasi semacam itu perlu dipertimbangkan, apalagi jika mengingat salah satu fungsi Bumi Silih Asih adalah rumah ibadah. Kegiatan literasi memang perlu, tapi keselamatan orang banyak adalah nomor satu.

Di atas kertas, bukan soal benar kalau #patjarmerahXBRF diundur dua bulan. Persiapan bisa lebih matang. Tapi secara teknis, hal itu ternyata tidak memungkinkan sebab beberapa hari sebelum jadwal baru, 26 November 2022, pihak Bumi Silih Asih menggelar kegiatan akbar. “Kami tidak mungkin melakukan loading in ketika di sana ada acara. Bandung benar-benar menantang, yah,” ujar Windy.

Saya percaya bahwa hasil selalu ada bagi mereka yang mau berikhtiar. Setelah nyaris putus asa sebab tak kunjung mendapatkan tempat, tawaran anyar datang dari program studi Integrated Arts Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar). Gedung PPAG Unpar yang baru diresmikan Joko Widodo di awal tahun akhirnya dipilih sebagai tempat diselenggarakannya #patjarmerahXBRF.

Peristiwa itu juga membuat #patjarmerah mencatat sejarah baru: menempati gedung bagus dan berkolaborasi dengan pihak kampus.

Di malam penutupan PatjarmerahxBRF, anak-anak muda yang terlibat dalam kegaitan berpelukan satu sama lain, saling meminta maaf seolah seolah malam itu adalah hari lebaran. (Foto: Zulkifli Songyanan)
Di malam penutupan PatjarmerahxBRF, anak-anak muda yang terlibat dalam kegaitan berpelukan satu sama lain, saling meminta maaf seolah seolah malam itu adalah hari lebaran. (Foto: Zulkifli Songyanan)

Memimpikan Kegiatan Literasi Monumental ala Bandung

Setelah Reda Gaudiamo kembali ke ruang panitia dan musik di area pasar buku dimatikan sebab sudah lewat jam 22.00, #patjarkita berkumpul. Saya bergeser ke tengah, mendekat ke arah riungan. Windy berada di tengah-tengah.

“Teman-teman, malam ini tidak ada lagi evaluasi. Jika sebelumnya kami mengevaluasi kerja teman-teman, sekarang silakan, mangga, teman-teman yang memberi evaluasi buat kami,” ungkap Windy.

Sebagaimana yang tampak pada postingan Instagram Story @patjarmerah_id, momen hari terakhir #patjarmerahXBRF boleh dibilang sarat melankolis. Teman-teman #patjarkita memberikan kesan mereka selama terlibat dalam kegiatan; dan kebanyakan isinya sangat emosional. Dalam situasi inilah saya percaya bahwa patjarmerah bagi #patjarkita Plat D bukan sekadar event atau ruang belajar—sebagian volunteer memang ingin terlibat di patjarmerah buat belajar menangani kegiatan pameran buku—tapi juga ruang baru untuk menjalin hubungan antar personal yang hangat dan segar.

Jafar Sidik Fauzi, misalnya. Mahasiswa Universitas Islam Nusantara ini didapuk menjadi divisi konsumsi selama kegiatan. Jafar memastikan kebutuhan makanan #patjarkita dan semua pengisi acara terpenuhi. Di ruang panitia, di jeda satu acara ke acara lain, Jafar  juga punya peran menghibur semua yang ada di ruang panitia dengan tingkah dan celetukannya.

“Mas Randy silakan kalau mau minum. Ini ada kopi, teh, susu, extra joss. Satu gelas 10 ribu, ya,” ungkap Jafar. Meski sekilas biasa saja, ungkapan seperti itu mudah mengundang tawa jika Anda tahu bahwa sosok yang dipanggil Mas Randy oleh Jafar justru merupakan sosok yang memberinya uang konsumsi. Uang yang kemudian dibelikan Jafar kopi, teh, susu, dan extra joss tadi.

Dan di malam penutupan, alih-alih cekikikan sebagaimana biasanya, Jafar (juga sebagian besar #patjarkita) tak kuasa membendung air matanya. Mereka berpelukan satu sama lain. Memohon maaf jika ada kesalahan, seolah malam itu adalah hari lebaran. Lebaran literasi yang belum tentu mereka alami lagi suatu saat nanti.

Saat diminta menyampaikan sesuatu, saya yang tak pandai meluapkan perasaan sentimental di depan umum bilang bahwa gelaran #patjarmerah di Bandung seperti membuka babak baru dalam konteks kegiatan literasi di ibu kota Jawa Barat ini.

Sebelum #patjarmerahXBRF digelar, setahu saya belum ada kegiatan literasi sebesar ini di kota Bandung yang di insiasi oleh komunitas. Kedua, sejak diajak Galuh untuk terlibat dalam #patjarmerahXBRF, saya sudah bilang bahwa menyatukan sejumlah komunitas di Bandung adalah tantangan besar. Titik-titik komunitas literasi di Kota Bandung tersebar di berbagai wilayah, dari Utara sampai Selatan, dari Barat hingga Timur. Dalam amatan saya, semua komunitas itu asyik sendiri-sendiri, jarang terhubung satu sama lain, entah karena akses atau karena tidak terpapar informasi.

Ahda Imran, penyair ber-KTP Bandung Barat yang baru mengikuti Payakumbuh Poetry Festival di kampung halamannya, bahkan sampai heran, mengapa kota kecil semacam Payakumbuh bisa bikin acara besar sedangkan Bandung yang notabene kota besar tak punya event literasi yang monumental? Saya sama penasarannya dengan Ahda.

Di #patjarmerahXBRF, pertanyaan Ahda sedikit terjawab. Anak-anak muda dari berbagai komunitas bertemu. Anak-anak Pasar Biru dan UIN yang biasa berkegiatan di Bandung Timur bisa terhubung dengan anak-anak Unpar atau UPI yang selama ini berkegiatan di Bandung Utara. Anak-anak ISBI dan Uninus dari Bandung Tengah bekerja sama dengan beberapa volunteer dari STKIP Siliwangi Cimahi di Bandung bagian Barat. Dan semuanya kompak. Dan semuanya punya gairah yang sama untuk menyukseskan acara. Bahkan seorang #patjarkita, Tina, sengaja datang dari Pangandaran untuk menjadi bagian dari kegiatan. Volunteer lain datang dari Majalaya dan Padalarang. Sungguh kenyataan yang bagi saya mengharukan. 

“Ketika dikabari Mbak Windy dua bulan sebelum kegiatan bahwa #patjarmerah bakal ada di Bandung, saya menganggap ini kegiatan gila. Tidak masuk akal. Semuanya serba mendadak, tapi akhirnya terlaksana juga,” ungkap Andy “Kiting” Waluya Wartja, mahasiswa ISBI yang dipercaya menjadi Koordinator Lapangan, dengan mata berkaca-kaca.

Berkat kerja-kerja Kiting dan tim, juga semua pihak di belakang layar (Pasar Biru, CSWC yang banyak membantu program acara, juga Kreasi Jabar, dan Unpar), kegiatan #patjarmerahXBRF berakhir menggembirakan. Saya percaya, di masa depan, urang Bandung punya potensi untuk menyelenggarakan event literasi sendiri.

Pertanyaannya sekarang, adakah urang Bandung yang punya kemauan besar dan bekerja nyata dengan mengetuk berbagai pintu demi mewujudkan acara yang diinginkannya—sebagaimana yang ditunjukkan oleh Windy Ariestanty selama lima bulan ini?

Jika ada, hubungi saya. Kita bikin acara yang lebih besar lagi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//