Menyelamatkan yang Hilang di Kota Tua Bandung
Dari sekian banyak potensi sejarah yang dimiliki Bandung, penulis merasa tertarik untuk membahas wujud kebudayaan fisik berupa bangunan cagar budaya.
Erlangga Agung Putra
Guru SMAN 5 Bandung, dapat dihubungi via surel [email protected]
18 November 2022
BandungBergerak.id - Sejak dahulu Kota Bandung selalu memiliki daya tariknya tersendiri, bahkan Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand memilih untuk menghibur dirinya ketika ia kehilangan putrinya. Sebagai penawar rasa sakitnya, ia memutuskan untuk berlibur ke Bandung pada tahun 1896. Memilih Bandung adalah keputusan terbaiknya, ia bahkan menghabiskan beberapa hari di Bandung dengan menikmati keindahan alam, ia menyaksikan pacuan kuda di Tegalega, berdiskusi dengan bupati mengenai cerita panji dan ia kagum melihat bangunan bergaya Eropa di Bragaweg (Jalan Braga). Ya, Bandung dengan budayanya memang mampu memikat siapa pun untuk kembali.
Bandung memiliki banyak potensi, terutama nilai sejarahnya yang dapat dijadikan sebagai nilai jual daerah. Mulai dari kuliner kuno yang masih bertahan sampai saat ini. Kemudian peninggalan geologi, yaitu taman terumbu karang diatas gunung yang hanya terdapat dua di dunia. Selain itu terdapat pula lokasi penemuan manusia purba di Gua Pawon dan menjadi temuan yang menjawab mata rantai yang hilang mengenai manusia purba Jawa Barat.
Dari sekian banyak potensi sejarah yang dimiliki Bandung, penulis merasa tertarik untuk membahas mengenai wujud kebudayaan fisik berupa bangunan cagar budaya. Bangunan tersebut berlanggam Art Deco yang merupakan perpaduan seni bangunan Eropa dan nusantara. Tempat yang pada masanya merupakan tujuan bagi golongan elite kolonial dan bangsawan lokal menghabiskan waktunya. Tempat ini pula yang menjadikan Bandung pada akhirnya diberi julukan Paris Van Java. Tempat tersebut dikenal sebagai Jalan Braga.
Braga ternyata menyimpan sejarah yang ‘mewah’ yang mengiringi sejarah perkotaan Bandung. Braga merupakan representasi yang dapat mewakili perkembangan Kota Bandung sejak adanya pembangunan besar-besaran pada abad ke-19. Bagaimana tidak, di Braga sejak abad ke-19 merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi paling komersil pada saat itu, bahkan Braga seakan mendahului pembangunan pusat pemerintahan Bandung yang baru dilaksanakan pada awal abad ke-20.
Oleh sebab itu, tidak sembarang orang dapat memasuki Jalan Braga, hanya mereka yang merupakan bangsawan Eropa dan golongan menak bumiputra saja yang dapat berkunjung ke Braga. Istilah yang muncul saat itu adalah “Verboden voor honden en inlander” artinya anjing dan pribumi dilarang masuk, dari kalimat tersebut dapat dibayangkan betapa sulitnya bagi kaum pribumi untuk dapat memasuki kawasan paling elite di kota Bandung.
Seiring perkembangan zaman, sedikit demi sedikit bangunan Braga telah menjadi bangunan cagar budaya yang kosong dan ditinggalkan bahkan tergantikan dengan gedung baru yang lebih modern. Banyak bangunan-bangunan bersejarah itu sekarang tidak terawat dan beberapa dihancurkan untuk dijadikan bangunan baru. Toko-toko seperti N.V. Luyks, Hellerman, dan Gedung Gas yang merupakan penyalur gas di Kota Bandung masa kolonial Belanda sekarang terkunci rapat dan tidak terurus.
Nasib lebih buruk telah menimpa Hotel Braga (dahulu dikenal sebagai Hotel Wilhemina) di mana bangunan cagar budaya tersebut mengalami perombakan total dan dijadikan hotel baru berlantai tiga belas. Hal paling baru yang terjadi adalah bangunan nomor 68 gedung LKBN karya arsitektur A.F Aalbeurs dengan ciri khas bangunan Art Deco akhirnya harus diratakan dengan tanah dan dibangun menjadi bentuk yang berbeda dari sebelumnya.
Selayaknya bangunan-bangunan yang merupakan bangunan cagar budaya yang menurut peraturan daerah harus dilindungi dan dikonservasi. Seperti yang tercantum pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya seharusnya menjadi kekuatan dan jangan sampai seperti macan ompong, tidak memiliki nilai. Selain itu, Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pun harus ditegakkan. Faktanya, satu per satu bangunan cagar budaya di Kota Bandung mulai hilang dengan mudah. Sejak 2009, sudah lebih dari 20 bangunan cagar budaya yang lenyap, dan lebih dari 500 bangunan tua lainnya menanti penyelamatan pemerintah.
Hal tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan, mengapa hal ini sampai terjadi? Padahal pemerintah pusat dan daerah telah mengeluarkan peraturan mengenai upaya pengelolaan dan konservasi Bangunan Cagar Budaya. Ataukah kita hanya bisa menunggu sampai semuanya terjadi dan kita hanya bisa menceritakan Bandung sebagai labolatorium arsitektur Art Deco kepada anak cucu kita tanpa ada sesuatu yang ditinggalkan. Di negara Eropa seperti Italia, Inggris, Jerman, dan negara maju lainnya sangat memperhatikan bangunan bersejarahnya karena mereka paham kota yang memiliki peninggalan sejarah justru akan memiliki daya tarik kepariwisataan.
Revitalisasi Kota Tua Jakarta merupakan contoh ideal bagi Braga. Sebelum direvitalisasi, kawasan Kota Tua Jakarta dalam taraf memprihatinkan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Radika yang merupakan manager Historia Food and Bar Jakarta, “Beberapa gedung seperti Darmaniaga, Jasindo, Rotterdam Llyod dan Kertaniaga tidak terawat dan nyaris ambruk”.
Namun setelah Revitalisasi Kota Tua Jakarta yang dimulai tahun 1972 digagaskan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, maka wajah dari kota tua berubah total. Kepala UPK Kota Tua Norviandi Setio Husodo mengatakan, “Dalam waktu tiga hari semenjak 15 Juni 2018 tercatat jumlah pengunjung Kota Tua Jakarta sebanyak 220 ribu orang”. Hal ini tentu membuktikan bahwa potensi wisata sejarah dapat menjadi nilai jual daerah. Lalu bagaimana dengan bangunan cagar budaya di Braga? Apakah pemerintah sudah melalukan hal yang seharusnya dilakukan terhadap bangunan cagar budaya di Braga?
Pemerintah Kota Bandung harus tegas dan melakukan Moratorium yakni menghentikan izin pembongkaran dan pembangunan terhadap bangunan-bangunan heritage, pemerintah harus mulai menyadari arti penting dari Bangunan Cagar Budaya. Memang di satu sisi perubahan fungsi bangunan tidak dapat dihindari untuk mengikuti perkembangan zaman. Akan tetapi, pelestarian bangunan bersejarah masih sangat penting dilakukan agar identitas kota tetap terjaga.
Selain itu, pemerintah harus memberi keringanan terhadap Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk gedung cagar budaya. Menurut anggota DPRD Kota Bandung Tedy Rusmawan, di Gedung DPRD Kota Bandung, yang dilaporkan oleh wartawan Pikiran Rakyat, Muhammad Fikry Mauludy boleh jadi di Bandung terdapat permasalahan pemilik gedung kesulitan dengan nilai PBB yang harus dibayarkan. Oleh karena itu, pemerintah harus membantu keringanan biaya PBB khusus bangunan cagar budaya.
Baca Juga: Jatuh Bangun Pusparita Tedjasari Merawat Bangunan Cagar Budaya dengan Hasil Berjualan Kue
RS Dustira dan Lemasmil II Cimahi Sah sebagai Bangunan Cagar Budaya
Sahabat Heritage Indonesia: Mencintai Cagar Budaya dengan Berkomunitas
Peran Generasi Muda
Sebagai generasi muda kita memiliki tanggung jawab untuk turut berpartisipasi dalam melestarikan bangunan cagar budaya. Partisipasi tersebut dapat diwujudkan dengan cara menyebarluaskan gagasan agar upaya penyelamatan cagar budaya Braga menjadi perhatian bersama.
Menulis memang merupakan ciri khas perlawanan golongan intelektual pada awal abad ke-20. Hal serupa seperti yang dilakukan oleh tokoh terpelajar seperti Sukarno, Suwardi Suryaningrat, dan tokoh-tokoh intelektual lainnya. Melalui tulisan ini, penulis berharap masyarakat menjadi paham akan arti penting Braga dan pengaruhnya terhadap Kota Bandung.
Sebagai generasi yang hidup di era digital, memanfaatkan media sosial untuk menyebarluaskan gagasan dapat menjadi salah satu cara. Kesadaran terhadap masalah ini dapat menjadi kunci perubahan bukan hanya untuk warga Bandung saja, tetapi untuk Braga itu sendiri dan sejarahnya yang masih tersembunyi menunggu untuk ditemukan.
Manusia tanpa sejarah akan kehilangan identitasnya. Begitu juga dengan sebuah kota. Menghilangnya kekayaan heritage di Bandung juga merupakan bagian dari proses hilangnya rentetan peristiwa yang menghubungkan sejarah pembangunan budaya masa lalu, masa kini, dengan masa depan yang dapat bermanfaat dan akan menjadi kebanggaan generasi penerus.