• Berita
  • Mata Air Cikendi, Dibangun Belanda dan Kini Telantar

Mata Air Cikendi, Dibangun Belanda dan Kini Telantar

Mata air Cikendi dan Gedong Cai Cibadak dibangun sejak zaman Belanda. Pemberitaan media di masa lalu menunjukkan bahwa Bandung pernah mengalami krisis air bersih.

Gedung penangkap air Cikendi buatan tahun 1921 tampak kumuh di tengah hutan kawasan Hegarmanah, Kota Bandung, Rabu (29/12/2021). Kondisinya berlawanan dengan gempita peringatan 100 tahun Gedong Cai Cibadak yang juga dibangun 1921 di Kampung Cidadap Girang, 29 Desember 2021 lalu. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman14 Januari 2022


BandungBergerak.id – Mata air Cikendi yang kini telantar dan memprihatinkan, sebenarnya sudah tercantum dalam daftar situs cagar budaya pada Peraturan Daerah Kota Bandung nomor 7 tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya dengan nama Benteng Pelindung Mata Air Cikendi. Namun status ini belum cukup jika semua pihak, pemerintah maupun warga, tidak paham tentang pentingnya posisi Cikendi baik sebagai situs maupun sumber mata air.

Benteng Pelindung Mata Air Cikendi yang terletak di wilayah Hegarmanah, kawasan Bandung utara, itu diperkirakan usianya lebih tua dari pada Gedong Cai Cibadak yang dirayakan Pemkot Bandung akhir tahun kemarin. BandungBergerak.id mengetahui hal ini dari pemberitaan media massa zaman kompeni Belanda, Kaoem-Moeda, Januari 1921 No. 16/20, dan De Preangerbode pada 28 Desember 1920, kiriman dari Sekertaris Kampoeng Tjibarani, Aqli Syahbana.

Kaoem-Moeda mengabarkan bahwa redaksi majalah mereka turut hadir ke dalam peresmian sumur Cikendi. Disebutkan bahwa Direktur Jenderal Cipta Karya meyakinkan masyarakat Kota Bandung tidak akan mengalami krisis air bersih.

Namun kenyataan menyalahi apa yang dikatakan Dirjen Cipta Karya, sebab mata air Cikendi belum cukup untuk untuk mensuplai air ke Kota Bandung. Pada saat itu banyak orang mengeluh tentang kekurang air, bahkan lebih dari pada kasus sebelumnya. Orang ada yang tidak mendapat suplai air selama beberapa hari lamanya.

Sementara De Preangerbode menyampaikan keluhan seorang insinyur, Tn. F. T. Mesdag terkait permasalahan air yang dihasilkan Cikendi. Ia mengabarkan bahwa pasokan air Cikendi terus menurun setiap harinya. Kejadian itu tidak sesuai dengan harapannya yang indah terkait air yang dihasilkan oleh koneksi sumber Cikendi. Selain itu kuantitas dan kualitas airnya menurun, ia mengadu jika air dari Cikendi itu kotor dan berbau hidrogen sulfida.

Baca Juga: Mata Air Cikendi tidak Terawat, Beda Nasib dengan Gedong Cai Cibadak
Kemacetan dan Krisis Lingkungan di Balik Pembangunan Tol Gedebage (Cigatas)

Pemberitaan media massa di zaman Belanda tentang mata air Cikendi. (Dokumen sumber melalui Sekertaris Kampoeng Tjibarani, Aqli Syahbana)
Pemberitaan media massa De Preangerbode di zaman Belanda tentang mata air Cikendi. (Dokumen sumber melalui Sekertaris Kampoeng Tjibarani, Aqli Syahbana)

Seabad Kemudian

Satu abad berlalu sejak pemberitaan oleh Kaoem-Moeda dan De Preangerbode, krisis air bersih masih menghantui Kota Bandung. Mata Air Cikendi hingga kini masih dimanfaatkan baik oleh warga sekitar maupun sebagai sumber air baku Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtawening Kota Bandung, dengan kondisi kurang terawat dan memprihatinkan.

PDAM Tirtawening Kota Bandung menjadi harapan utama di bidang layanan air bersih bagi sekitar 2,5 juta jiwa penduduk Bandung. Data termutakhir yang diperbarui 7 September 2020 dari Open Data Kota Bandung Diskominfo mengungkap, mayoritas dari rumah tangga di Kota Bandung memilih untuk menggunakan sarana perpipaan PDAM untuk memenuhi kebutuhan minum sehari-hari. Masyarakat beranggapan air yang diolah PDAM memiliki kualitas yang bagus.

Namun data tersebut menunjukkan belum semua warga Bandung terlayani pipanisasi PDAM. Rinciannya, warga yang terjangkau sarana perpipaan PDAM Tirtawening Kota Bandung sejumlah 906.639 orang. Selebihnya, kebutuhan warga dilayani terminal air 54.005 orang, mata air terlindungi 57.488 orang, dan sumur gali terlindungi 215.112 orang.

Total warga yang terlayani sarana penyedia air bersih di Kota Bandung mencapai 1.333.244 jiwa. Artinya, jika penduduk Kota Bandung 2,5 juta, maka masih ada 1.166.756 warga yang tidak tercantum dalam data Open Data Kota Bandung Diskominfo dan tidak diketahui dari mana mereka mendapatkan air bersih.

Kembali ke Cikendi, tampaknya statusnya sebagai cagar budaya, tidak banyak berpengaruh jika tak dibarengi dengan usaha pelestarian. Deni Sugandi, Ketua Asosiasi Profesi Pemandu Geowisata Indonesia (PGWI), mengatakan bahwa pelestarian tidak cukup jika sasarannya pada bangunan saja. Sebab, pelestarian juga harus menyasar pada kawasan sekitar bangunan.

“Kalau yang dilestarikan gedongnya saja, nanti bentuknya hanya sebagai simbol saja, hanya berupa bentuk struktur saja. Orang hanya tahu bahwa ini adalah bentuk hasil kerja kompeni Belanda,” ucap Deni Sugandi, saat dihubungi BandungBergerak.id, Rabu (1/12/2022).

Pelestarian pada bangunan saja tidak memberikan dampak yang baik kepada masyarakat luas, khususnya Kota Bandung. Berbeda dengan pelestarian kawasan yang akan melingkupi bangunan cagar budayanya, sumber mata airnya, serta lingkungan pendukung mata air itu.

Sementara itu, Fajar Lubis, peneliti di Pusat Riset Geoteknologi BRIN, mengingatkan bahwa mata air Cikendi lebih dari sekadar bangunan peninggalan Belanda, tapi juga menyimpan mata air dan dan air tanah. Sehingga kawasan ini termasuk sebagai geoheritage.

Pemberitaan media massa zaman Belanda tentang mata air Cikendi. (Dokumen sumber melalui Sekertaris Kampoeng Tjibarani, Aqli Syahbana)
Pemberitaan media massa Kaoem-Moeda zaman Belanda tentang mata air Cikendi. (Dokumen sumber melalui Sekertaris Kampoeng Tjibarani, Aqli Syahbana)

Cikendi sebagai Geowisata

Menjadikan alam sebagai objek edukasi dan wisata merupakan salah satu kegiatan PGWI yang rutin dilakukan. Sudah beberapa kegaiatan yang objeknya alam dijadikan sebagai media edukasi dan wisata, seperti Geourban, susur sungai Cikapundung dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan alam.

PGWI berencana mecancang kegiatan geowisata di Gedong Cai Cibadak, cagar budaya sekaligus sumber air yang lokasinya masih satu wilayah dengan Cikendi, yakni di Kecamatan Cidadap, Kota Bandung. Namun saat ditanya terkait kemungkinan geowisata di Cikendi, PGWI mengaku akan segera merancangnya.

­Tujuan kegiatan geowisata adalah edukasi dan wisata, dengan menggunakan alam sebagai medianya. “Jadi nantinya bukan hanya berwisata saja, kemudian datang, berfoto, dan pulang. Tapi kami berikan edukasi dan informasi terkait kebumian, agar nantinya bisa dikembangkan lebih luas di luaran sana,” tutur Deni Sugandi.

Nantinya jika Cikendi dijadikan objek geowisata, PGWI akan menjelaskan dari mana dan bagaimana air ini mengalir, kenapa perlu menjaga kelestarian Cikendi, dan lain-lain.

Menurutnya, dampak edukasi geowisata tidak bisa langsung dirasakan. Sebab edukasi merupakan proses jangka panjang. Tujuan sederhananya mengajak teman-teman untuk belajar bersama dengan mengikuti kegiatan PGWI, dan menyadarkan terhadap pentingnya menjaga alam.

Dari tujuan sederhana tersebut, diharapkan muncul kesadaran tentang pentingnya pelestarian alam. Dari situ tumbuh kesadaran antar individu, keluarga, teman, dan terus meluas jangkauannya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//